Rabu, 31 Desember 2014

Hikayat Negeri Peusangan

13779627001766370378
Menara Mesjid Besar Peusangan (Foto: Dok. Pribadi)

Sebagai putra asli Peusangan, saya banyak mengalami romantika sejarah. Terutama bagaimana sejarah Tgk. Syik Awe Geutah dan sejarah Ampoen Chik Peusangan. Tentu banyak romantika sejarah lainnya yang pantas dibagi.
Peusangan adalah sebuah Kecamatan yang terletak di wilayah timur Kabupaten Bireuen, Propinsi Aceh. Kabupaten Bireuen sendiri dulunya merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Aceh Utara. Sejarah Aceh Utara sendiri tidak dapat dilepaskan dari sejarah perkembangan Kerajaan Islam di pesisir Sumatera yaitu Samudera Pasai yang terletak di Kecamatan Samudera Geudong yang merupakan tempat pertama kehadiran Agama Islam di kawasan Asia Tenggara.
Kerajaan-kerajaan Islam di Aceh mengalami pasang surut, mulai dari zaman Kerajaan Sriwijaya, Majapahit, kedatangan Portugis ke Malaka pada tahun 1511 sehingga 10 tahun kemudian Samudera Pasai turut diduduki, hingga masa penjajahan Belanda.
Secara de facto Belanda menguasai Aceh pada tahun 1904, yaitu ketika Belanda dapat menguasai benteng pertahanan terakhir pejuang Aceh Kuta Glee di Batee Iliek di Samalanga. Dengan surat Keputusan Vander Geuvemement General Van Nederland Indie tanggal 7 September 1934.
Pemerintah Hindia Belanda membagi Daerah Aceh atas 6 (enam) Afdeeling (Kabupaten) yang dipimpin seorang Asistent Resident, salah satunya adalah Affleefing Noord Kust Van Aceh (Kabupaten Aceh Utara) yang meliputi Aceh Utara sekarang ditambah Kecamatan Bandar Dua yang kini telah termasuk Kabupaten Pidie (Monografi Aceh Utara tahun 1986, BPS dan BAPPEDA Aceh Utara). Afdeeling Noord Kust Aceh dibagi dalam 3 (tiga) Onder Afdeeling (Kewedanaan) yang dikepalai seorang Countroleur (Wedana) yaitu, Onder Afdeeling Bireuen, Onder Afdeeling Lhokseumawe, dan Onder Afdeeling Lhoksukon
Selain Onder Afdeeling tersebut terdapat juga beberapa Daerah Ulee Balang (Zelf Bestuur) yang dapat memerintah sendiri terhadap daerah dan rakyatnya yaitu Wee Balang Keuretoe, Geurogok, Jeumpa, dan Peusangan yang diketuai oleh Ampon Chik.
Pada masa pendudukan Jepang istilah Afdeeling diganti dengan Bun, Onder Afdeeling disebut Gun, Zelf Bestuur disebut Sun, Mukim disebut Kun dan Gampong disebut Kumi. Sesudah Indonesia diproklamirkan sebagai Negara Merdeka, Aceh Utara disebut Luhak yang dikepalai oleh seorang Kepala Luhak sampai dengan tahun 1949.
Melalui Konfrensi Meja Bundar, pada 27 Desember 1949 Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia dalam bentuk Negara Republik Indonesia Serikat yang terdiri dari beberapa negara bagian. Salah satunya adalah Negara Bagian Sumatera Timur. Tokoh-tokoh Aceh saat itu tidak mengakui dan tidak tunduk pada RIS tetapi tetap tunduk pada Negara Republik Indonesia yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945.Dengan Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor I/ Missi / 1957, lahirlah Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Dengan sendirinya Kabupaten Aceh Utara masuk dalam wilayah Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Berdasarkan Undang Undang Nomor I tahun 1957 dan Keputusan Presiden Nomor 6 tahun 1959. Kabupaten Daerah Tingkat II Aceh Utara terbagi dalam 3 (tiga) Kewedanaan yaitu, Kewedanaan Bireuen terdiri atas 7 kecamatan, Kewedanan Lhokseumawe terdiri atas 8 Kecamatan, dan Kewedanaan Lhoksukon terdiri atas 8 kecamatan
Dua tahun kemudian keluar Undang Undang Nomor 18 tahun 1959 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Berdasarkan UU tersebut wilayah kewedanaan dihapuskan dan wilayah kecamatan langsung di bawah Kabupaten Daerah Tingkat II. Dengan surat keputusan Gubemur Kepala Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor: 07 / SK / 11 / Des/ 1969 tanggal 6 Juni 1969, wilayah bekas kewedanaan Bireuen ditetapkan menjadi daerah perwakilan Kabupaten Daerah Tingkat II Aceh Utara yang dikepalai seorang kepala perwakilan yang kini sudah menjadi Kabupaten Bireun.
Hampir dua dasawarsa kemudian dikeluarkan Undang Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, sebutan Kepala Perwakilan diganti dengan Pembantu Bupati Kepala Daerah Tingkat II, sehingga daerah perwakilan Bireuen berubah menjadi Pembantu Bupati Kepala Daerah Tingkat II Aceh Utara di Bireuen.
Peran Peusangan dalam pergerakan dan perubahan di Indonesia juga tidak boleh dinafikan yaitu pada tanggal 5 Mei 1939 diadakan rapat di sebuah gedung yang sekarang dikenal dengan Universitas Almuslim oleh sekelompok ulama-ulama yang ada di Aceh, yang kemudian lahirlah Organisasi PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh), yang diketuai oleh Tengku Muhammad Daud Beureuh. PUSA berusaha meningkatkan syi’ar Islam, dengan meningkatkan pendidikan agar terlaksana syi’ar Islam dalam masyarakat. Dalam perjuangannya, organisasi ini bergabung dalam MIAI.
Menceritakan Negeri Peusangan ingatan kita tidak terlepas dari romatika sejarah hikayat Malem Dewa, dan hubungannya dengan ”Negeri Di Atas Angin” atau negeri ”Antara”. Mungkin kalau sekarang termasuk wilayah Tanah Gayo Aceh Tengah dengan ibukotanya Takengon.
Kata Leuser, adalah nama gunung di tengahnya. Sedangkan kata “Antara” ini mungkin bisa diartikan letaknya di antara kedua kabupaten Tanah Gayo ini. Tetapi, di Aceh, Tanah Gayo Kabupaten Aceh Tengah juga sering disebut sebagai negeri “Antara” atau “Negeri di Atas Angin”. Nama ini erat kaitannya dengan legenda rakyat Aceh Tengah, Malem Dewa yang mengisahkan tentang percintaan Malem Dewa dengan Peteri Bensu (Putri Bungsu) yakni seorang bidadari yang nyasar ke Kerajaan Antara dan sayapnya untuk terbang disembunyikan Malem Dewa yang jatuh cinta kepadanya.
Kisah Malem Dewa dan Peteri Bensu, adalah kisah cinta abadi tiada taranya. Indah dan penuh dengan pengalaman suka duka serta rintangan berat yang hampir saja berakhir karena ayah dan ibu Peteri Bensu berupaya mengembalikan anaknya ke Kerajaannya di langit. “Negeri Antara” dalam legenda Malem Dewa rakyat Aceh Tengah berada di sebuah gunung di atas Danau Laut Tawar.
Malem Dewa adalah putra seorang Raja Peusangan yang sekarang masuk dalam wilayah Kabupaten Bireun. Malem Dewa sedang mandi di sungai dan tiba-tiba ia mendapatkan sehelai rambut panjang hanyut di sungai. Dan ia menelusuri Sungai Krueng Peusangan untuk mencari pemilik rambut yang ternyata adalah milik Puteri Bensu.
Kisah di atas, entah benar atau sekedar mitos, yang pasti hikayat tersebut sudah melagenda di dalam kultur masyarakat Peusangan, tetapi hampir setiap orang Peusangan meyakini tentang kebenaran hikayat tersebut.
Sampai-sampai dulu dikisahkan oleh beberapa orang tua yang ada di Peusangan setiap orang yang ingin menutur atau menceritakan tentang hikayat Malem Dewa terlebih dahulu harus mengadakan kenduri untuk anak yatim.
Yang paling terkenal dan ahli dalam hal menceritakan hikayat Malem Dewa ini adalah almarhum Tgk. Adnan PMTOH, konon kabarnya seniman tutur ini dalam menceritakan hikayat Melem Dewa bisa memakan waktu tiga malam pertunjukan yang dihadiri oleh masyarakat.
Walaupun hikayat Malem Dewa ini menurut beberapa orang hanya sekedar mitos, tapi masyarakat sangat meyakini itu adalah cerita yang benar-benar terjadi, sehingga di daerah Awe Geutah yang terletak kurang lebih 10 kilometer arah selatan Kota Matangglumpangdua sebagai ibukota Kecamatan Peusangan, sampai sekarang orang meyakini ada tupai peliharaan Malem Dewa, orang-orang di sana menyebutnya ”Tupai Teungku Malem”.
Menurut cerita turun temurun, dahulu semasa Ampon Chiek Peusangan masih ada setiap penduduk diwajibkan untuk menanam pohon buah-buahan di depan rumahnya, terutama giri (jeruk bali), sehingga tidak heran sampai sekarang jeruk bali telah menjadi komoditas khas. Buah ini hanya terdapat di Matang, ibu kota Kecamatan Peusangan yang berjarak 10 kilometer dari Bireuen arah ke Medan. Dari luas lahan tanam 675 hektar, masyarakat di kecamatan ini memperoleh 3.584 ton giri matang. Di pasar kecamatan, dijual satuan dengan harga Rp 5.000. Pemerintah kabupaten menyediakan lahan 1.500 hektar untuk pengembangan buah khas Bireun ini.
Selain jeruk bali, di Kecamatan Peusangan juga terkenal dengan keripik pisang. Di Kecamatan Peusangan dan Juli masing-masing terdapat 40 dan 10 sentra produksi. Masing-masing sentra rata-rata memiliki empat tenaga kerja, sehingga pembuatan keripik pisang setidaknya menyerap 500 tenaga kerja. Keripik pisang Bireuen menjadi buah tangan para pendatang dengan harga terjangkau dan relatif murah.[]
Catatan Penulis :
Tulisan di atas adalah asli hasil karya saya, yang terpublikasi saat ini telah saya edit sesuai kebutuhan dan kondisi kekinian, supaya tetap aktual untuk bahan bacaan. Sebelumnya keseluruhan dan juga sebagian dari isi tulisan tersebut di atas sudah pernah dipublikasikan di Tabloid MODUS ACEH.

Hamdani 

Lenceng Revolusi Sejarah Walisongo Agus Sunyoto

Bahkan menurut Siwi Sang, Agus Sunyoto belum dapat membedakan antara kedatangan Islam, perkembangan Islam, dan kemunculan kekuasaan Islam di Nusantara. Kiranya sebagian banyak sejarawan negeri ini juga masih sebingung Agus Sunyoto.

_____________________________-

Sebelum mahakarya Atlas Wali Songo, sejarawan Islam Agus Sunyoto menulis buku sejarah berjudul ‘Wali Songo: Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan’. Buku ini berakhir di halaman 282, memiliki daftar pustaka 15 halaman. Sungguh daftar pustaka yang bukan main. Menurut penerbit, ini buku ilmiah tentang Wali Songo dengan pendekatan multi disiplin: histories-arkeologis-aetilogis-etnohistoris dan kajian budaya.

Pada ketika mulai membaca, saya, Siwi Sang, berharap banyak menemukan rekonstruksi sejarah walisanga. Saya juga berharap Agus Sunyoto bakal gagah menghantam serat Darmagandhul karena sangat menghina keluhuran sunan Bonang dan sunan Giri.

Tetapi kecele. Saya tidak banyak menemukan pemikiran gemilang seorang Agus Sunyoto dalam buku sejarah berjudul keren ini. Saya tidak banyak menemukan rekonstruksi sejarah Walisanga. Sebagian banyak isi buku ini menyuplik atau menyadur karya penulis lain. Serat Darmagandhul tidak disodok, malah dijadikan reverensi.

Saya merasa lebih kecele ketika membaca sealinea pengantar Said Aqil Siraj: ”Memang, untuk menjadi sejarawan Islam Nusantara dibutuhkan kemampuan lebih; selain menguasai bahasa kitab kuning juga menguasai bahasa Jawa Kuno. Dengan demikian, sumber-sumber sejarah bisa diambil dari naskah dan bahasa aslinya, bukan mengais-ngais berbagai opini yang dibuat para orientalis, yang tentunya banyak yang mengyimpang dari pengertian dan maksud sebenarnya dari naskah dan sejarah yang ada. Kemampuan membaca dan kemampuan menafsirkan secara kreatif itulah yang dimiliki oleh sejarawan Agus Sunyoto, sehingga mampu menghadirkan Wali Songo sebagai tokoh sejarah yang layak diteladani perilaku pribadinya, semangat juangnya, serta strategi dakwahnya”.

Siwi Sang sepakat bahwa sumber sejarah yang sahih atau terkokoh adalah prasasti-prasasti, yaitu sumber sejarah tertulis di atas batu atau tembaga maupun perunggu. Beritanya sangat dapat dipercaya, asalkan tidak keliru pembacaannya. Selain prasasti-prasasti, sumber sejarah yang banyak membantu penyusunan dan penulisan sejarah Nusantara adalah catatan para musafir asing, utamanya Tiongkok, Arab, dan Eropah. Berita-berita asing itu merupakan sumber sejarah yang dapat dipercaya lantaran kaum musafir menyaksikan secara langsung keadaan negeri-negeri di Nusantara. Uraian-uraian mereka boleh dikatakan sumber berita dari saksi mata pertama.

Sementara Siwi Sang juga sepakat bahwa cerita-cerita rakyat seperti hikayat, babad, dan karya sastra lainnya, merupakan sumber sejarah kurang kuat, lantaran banyak dicampuri dongeng mitos. Kebenarannya masih harus disangkut tandingkan dengan sumber sejarah yang lebih kuat. Meski demikian, cerita-cerita rakyat itu tetap merupakan sumber sejarah. Hakikatnya cerita-cerita rakyat itu disusun berdasarkan peristiwa sejarah yang pernah terjadi. Tugas menyaring mana bukti sejarah dan mana yang mitos, serahkan saja pada ahlinya, yaitu mereka para pakar sejarah.

Tetapi dalam buku Walisongo ini, Agus Sunyoto belum secara patriot berani memisahkan sejarah dengan mitos, utamanya terkait Walisanga.

Bahkan menurut Siwi Sang, Agus Sunyoto belum dapat membedakan antara kedatangan Islam, perkembangan Islam, dan kemunculan kekuasaan Islam di Nusantara. Kiranya sebagian banyak sejarawan negeri ini juga masih sebingung Agus Sunyoto.

Ini terjadi karena para sejarawan berpendapat bahwa tokoh Walisanga dipandang sebagai penyebar pertama agama Islam di tanah Jawa. Adanya agama Islam di tanah Jawa berkat perjuangan tokoh Walisanga, bukan lainnya! Jika tidak ada Walisanga, maka tidak ada Islam di tanah Jawa! Begitulah pemahaman yang selama ini dianuti para sejarawan utamanya sejarawan Islam yang terlalu memahadewakan para tokoh Walisanga.

Abdul Mun’im, editor buku yang sedang kita bicarakan ini, menyebutkan kalau langkah yang dilakukan Agus Sunyoto untuk mementaskan para wali dalam panggung sedjarah Nusantara ini berhasil, maka pelan-pelan cara pandang ahistoris dan diskriminatif terhadap para wali akan hilang. Tetapi sekali lagi, tugas ini berat sebelum ada revolusi historiografi lanjutan yang mengubah orientasi istana sentries menjadi rakyat sentries. Sebab sejarah wali adalah bagian dari sejarah rakyat. Dengan langkah yang ditempuhnya, menurut editor, sebenarnya Agus Sunyoto sendiri telah melangkah menuju revolusi histotiografi lanjutan, karena memang revolusi historiografi ternyata belum selesai, cara pandang colonial masih sangat dominant. Terhadap dominasi itulah, Agus Sunyoto melakukan revolusi dan pemberontakan.

Tetapi Siwi Sang menilai buku Walisongo karya Agus Sunyoto sangat sedikit sekali upaya perevolusian sejarah atau perekonstruksian sejarah Islam Walisanga.

Padahal editor sudah mewanti-wanti bahwa pemikiran revolusioner terhadap sejarah memang diperlukan, dan buku sejenis ini perlu terus disebarluaskan untuk membebaskan masyarakat dari kesesatan sejarah yang sengaja disebarluaskan oleh kolonialisme purba maupun kolonialisme moderen. Dan celakanya, masih menurut Abdul Mun’im, sekolah dan universitas yang semestinya menjadi forum emansipasi bangsa dari kesesatan colonial, malah menjadi agen penjajahan bangsa, hanya karena kehilangan daya kritis terhadap realitas sejarah bangsanya.

Karena revolusi historiografi merupakan kelanjutan dari revolusi politik, maka revolusi historiografi ini juga merupakan bagian dari emansipasi social dari cengkeraman penjajahan pemikiran yang tgernyata hingga kini masih membelenggu kesadaran dan pemikiran kita. Di sinilah letak dan arti strategi penerbitan buku ini, demikian pungkar editor dalam pengantarnya.

Hanya sekali lagi sayang, setelah membaca bolak-balik buku berjudul ‘Walisongo: Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan’ karya Agus Sunyoto, saya, Siwi Sang, masih sangat haus dan lapar akan kesegaran sejarah Islam utamanya Walisanga.

Judulnya saja sudah keliru penulisan. Bagi yang memahami penulisan Jawa, tentu bakal menulis Walisanga, bukannya Walisongo. Salah kaprah ini juga berlaku seperti penulisan iklannya mbah Marijan. Harusnya Mbah Marijan Rosa-Rosa, bukannya Roso-Roso!

Menurut Siwi Sang, hampir sebagian besar alinea dalam buku ‘Walisongo: Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan’ karya Agus Sunyoto, merupakan kutipan, menyuplik karya penulis lain, dan sebagian besar penulis luar negeri, beberapa menyadur dari tokoh orientalis. Padahal, sekali lagi, kata Said Aqil Siraj, untuk menjadi sejarawan Islam Nusantara dibutuhkan kemampuan lebih, selain menguasai bahasa kitab kuning juga menguasai bahasa Jawakuna. Dengan demikian sumber-sumber sejarah bisa diambil dari naskah dan bahasa aslinya, bukan mengais-ngais berbagai opini yang dibuat para orientalis, yang tentunya banyak yang menyimpang dari pengertian dan maksud sebenarnya dari naskah dan sejarah yang ada.

Tetapi Agus Sunyoto terlalu memercayai pendapat para pakar sejarah luar negeri, ketimbang pemikirannya sendiri atau tokoh sejarawan Islam Nusantara. Padahal, sebagai Jawa muslim, Agus Sunyoto memiliki kemampuan menafsirkan sumber sejarah seperti serat, babad, yang bersangkutan dengan Islam Jawa. Untuk menafsirkan dan menerjemahkan kalimat dalam makam Maulana Malik Ibrahim misalnya, Agus Sunyoto dapat membaca sendiri, tidak perlu menyadur atau berdasarkan pembacaan tokoh orientalis. Sebagai catatan, dalam pengantarnya, Said Aqil Siraj telanjur memuji Agus Sunyoto sebagai sejarawan Islam yang memiliki kemampuan membaca dan kemampuan menafsirkan sejarah secara kreatif.

Kedatangan Islam di Nusantara

Pada halaman 35, Agus Sunyoto menulis alinea sangat menyesatkan:

”Fakta sejarah terkait belum dianutnya agama Islam oleh penduduk pribumi Nusantara, terlihat pada bukti factual pada dasawarsa akhir abad ke-13, sewaktu Marcopolo kembali ke Italia lewat laut dan sempat singgah di negeri Perlak. Saat itu Marcopolo mencatat bahwa penduduk Perlak terbagi atas tiga golongan masyarakat sebagai pemukim yaitu kaum muslim Cina, kaum muslim Persia-Arab, dan peduduk pribumi yang masih memuja roh-roh dan kanibal. Bahkan dua pelabuhan dagang di dekatnya, yaitu Basma dan Samara, menurut Marcopolo, bukanlah kota Islam.”

Kalimat ‘belum dianutnya agama Islam oleh penduduk pribumi Nusantara pada akhir abad ke-13’ sangat patut direvolusi. Agus Sunyoto jelas sangat gegabah menulis itu. Agus Sunyoto meresahkan sejarah Islam Nusantara. Siwi Sang bersaksi bahwa sejarawan Islam Agus Sunyoto telak menyesatkan sejarah.

Jelas Perlak adalah kerajaan atau kesultanan Islam. Memang benar, beberapa kota banyak yang menganut agama bukan Islam, seperti Budha dan Trimurti. Sumatera adalah bekas kekuasaan Sriwijaya yang menganut Budha Mahayana. Tetapi sangat keliru jika Agus Sunyoto menulis agama Islam belum dianut penduduk pribumi Nusantara. Meski perkembangan Islam di Perlak atau tanah Malayu disebarkan kaum pedagang Arab atau Persia, juga muslim Cina, penduduk pribumi utamanya Perlak jelas sudah banyak yang menganut Islam. Berdirinya kekuasaan Perlak menjadi fakta sejarah tak terbantahkan.

Mengapa pula Agus Sunyoto tidak berani merevolusi pernyataan subyektif Venesia sentries ala Markopolo?

Maulana Malik Ibrahim

Pada hal. 51, Agus Sunyoto, mengutip tulisan G.W.J. Drewes dalam New Light on the coming of Islam to Indonesia, menyebutkan bahwa Maulana Malik Ibrahim dianggap sebagai salah seorang tokoh yang pertama-tama menyebarkan agama Islam di tanah Jawa dan merupakan wali senior di antara para wali lainnya. Ini juga penyesatan sejarah yang dilakukan Agus Sunyoto!

Menurut Babad ing Gresik, yang awal datang ke Gresik adalah dua bersaudara keturunan Arab, Maulana Mahpur dan Maulana Malik Ibrahim dengan tetuanya Sayyid Yusuf Mahrabi beserta 40 orang pengiring. Maulana Mahpur dan Maulana Malik Ibrahim masih bersaudara dengan raja Gedah. Mereka berlayar ke Jawa untuk menyebarkan agama Islam sambil berdagang. Mereka berlabuh di Gerwarasi atau Gresik pada tahjun saka 1293 atau 1371M. Rombongan menghadap raja Majapait Brawijaya, menyampaikan kebenaran Islam. Sang raja menyambut baik kedatangan mereka tetapi belum berkenan memeluk Islam. Lalu Maulana Malik Ibrahim diangkat oleh raja Majapait sebagai sahbandar atau pemimpin pelabuhan di Gresik dan diperbolehkan menyebarkan agama Islam kepada orang Jawa dengan catatan tidak ada pemaksaan.

Sementara sumber cerita local menuturkan bahwa daerah yang pertama kali dituju Maulana Malik Ibrahim adalah desa Sembalo, dekat desa Leran kecamatan Manyar, sekitar 9 km utara Gresik, tidak jauh dari makam Fatimah binti Maimun yang sohor itu. Maulana Malik Ibrahim kemudian menyiarkan agama Islam dengan mendirikan masjid pertama di desa Pasucian, Manyar. Kegiatan yang dirintisnya adalah berdagang di dekat pelabuhan., mendirikan pasar di desa Rumo, yang menurut cerita setempat berkaitan dengan kata Rum [Persia], kediaman orang Rum. Setelah dakwahnya berhasil di Sembalo, Maulana Malik Ibrahim pindah ke kota Gresik tinggal di desa Sawo. Setelah itu datang ke kutaraja Majapait, menghadap raja dan mendakwahkan agama Islam kepada raja. Namun raja Majapait belum berkenan tetapi menerima kedatangan maulana Malik Ibrahim sangat baik dan bahkan sang raja menganugerahi sebidang tanah di pinggir kota Gresik yang kelak dikenal sebagai desa Gapura. Di desa Gapura itulah Maulana Malik Ibrahim mendirikan pesantren mendidik kader-kader pemimpin umat dan penyebar Islam yang diharapkan melanjutkan misi perjuangannya, menyampaikan kebenaran Islam kepada masyarakat di wilayah Majapait yang sedang ditimpa kemerosotan akibat perang saudara.

Syaikh Maulana Malik Ibrahim makamnya terletak di kampung Gapura di dalam kota Gresik, Jawatimur, tidak jauh dari pelabuhan. Inskripsi makamnya menunjuk angka 882H/1419M. Berdasarkan tahun wafatnya itu, Agus Sunyoto menempatkan Maulana Malik Ibrahim sebagai salah seorang tokoh penyebar Islam tertua di Jawa. [hal.49]. Ini juga kesesatan sejarah Agus Sunyoto.

Maulana Malik Ibrahin sebagai wali senior di antara para wali sanga, memang benar. Beliau tergolong yang pertama datang ke tanah Jawa, ini jika dibanding dengan anggota wali sanga lainnya.

Tetapi jika dibanding dengan orang muslim lainnya, jelas beliau bukanlah yang pertama. Jauh sebelumnya telah berbondong-bondong kaum pedagang Arab, Persia, India, Tiongkok, Campa, datang ke Jawa, tentu saja sembari menyebarkan ajaran Islam. Dalam ajaran Islam, setiap muslim berkewajiban menyampaikan kebenaran Islam walau satu ayat.

Jika mengikuti pemikiran Agus Sunyoto ini, berarti masa sebelum kedatangan Maulana Malik Ibrahim, agama Islam belum muncul di tanah Jawa! Ini sungguh sangat menyesatkan, bertentangan dengan bukti sejarah lain dan beberapa sumber berita dari Cina yang menyatakan bahwa pada masa Panjalu, Islam sudah berkembang di tanah Jawa. Bahkan Sri Jayabhaya memiliki seorang guru bernama Seh Ali Samsuddin. Maulana Malik Ibrahim jelas kalah tua ketimbang Seh Ali Samsuddin yang makamnya ada di kota Kadiri atau Setana gedong. Bahkan kalah tua ketimbang Fatimah binti Maimun yang makamnya ada di Leran bertarikh 1082M.

S.Q Fatimi dalam Islam come to Malaysia mencatat pada abad 10M terjadi migrasi besar-besaran keluarga-keluarga Persia ke Nusantara. Yang terbesar di antaranya: Keluarga Lor yang datang pada jaman raja Nasiruddin bin Badr, memerintah wilayah Lor di Persia tahun 300H/912M. Keluarga ini tinggal di Jawa dan mendirikan kampung bernama Loran atau Leran, artinya kediaman orang-orang Lor.

Agus Sunyoto Gagal merekonstruksi Perang Demak-Majapait

Agus Sunyoto memiliki keberanian yang patut mendapat acungan jempol, yaitu ketika menampilkan teori baru tentang riwayat Arya Damar dan Raden Patah. Sosok Raden Patah memang merupakan salah satu kunci membuka sejarah Islam Jawa Nusantara, membersihkan propaganda kaum orientalis Belanda.

Tetapi di sini Agus Sunyoto masih gagal merekonstruksi sejarah Demak dan keruntuhan Majapait. Agus Sunyoto belum peka menyadari bahwa kisah keruntuhan Majapait pada 1478M atau tahun saka 1400 atau yang dalam berita serat dan babad terkenal sebagai sirna ilang kertaning bhumi, adalah bentuk propaganda sejarah kaum orientalis colonial Belanda dan krucu-krucunya, yang tujuan utamanya menanamkan pemahaman kepada orang Nusantara bahwa Islam datang ke tanah Jawa dengan Pedang, bahwa Majapait runtuh akibat serbuan Islam Demak. Bahwa Islam penghancur peradaban Majapait luhung. Bahwa Islam penghancur peradaban Jawa. Karenanya bagi yang berjiwa Jawa Majapait, harus melawan kekuatan Islam. Inilah upaya orientalis colonial Belanda memecah belah Nusantara melalui penyesatan sejarah keruntuhan Majapait.

Dalam buku Walisongo, Agus Sunyoto belum mantap merekonstruksi sejarah akhir Majapait. Beliau masih bersetia dengan analisa pakar sejarawan seperti Hasan Jafar, yang menyimpulkan Majapait runtuh pada tahun 1478M. Sesungguhnya tidak demikian. Perang antara Majapait dengan Demak juga berlangsung beberapa kali, setidaknya setelah Majapait mengadakan kerjasama dengan Portugis di Malaka. Terkait perang antara Majapait dengan Demak atau masa akhir Majapait, akan Siwi Sang paparkan dalam judul tersendiri.

Dan jika ingin merevolusi sejarah Walisanga, Agus Sunyoto harus merevolusi pula Babad Tanah Jawa dan turunannya yaitu beberapa sumber sejarah berbentuk karya sastra, seperti Babad Daha-Kadiri yang menjadi babon penulisan Serat Darmagandul.

Sunan Bonang Takluk Melawan Buta Locaya

Terkait sejarah Walisanga, Siwi Sang melihat bahwa Babad Daha-Kadiri dan Serat Darmagandul jangan dilupakan, tetapi dibaca secara cerdas dan arif, memahami makna siningit atau yang tersembunyi dalam narasi sejarah dua karya sastra itu.

Sekali lagi, jika ingin merekonstruksi sejarah para Walisanga, seharusnya Agus Sunyoto berani membongkar atau merevolusi Serat Darmagandul dan Babad Daha Kadiri. Dalam dua karya sastra ini jelas terdapat narasi-narasi sejarah yang tujuan utamanya menghina menistakan dua tokoh besar Walisanga, Sunan Bonang dan Sunan Giri.

Dalam Serat Darmagandul yang berpedoman pada Babad Daha-Kadiri jelas menampilkan hina dinanya sunan Bonang dan sunan Giri! Sunan Bonang, satu tokoh mashur Walisanga, dipelorotkan derajatnya jauh dibawah derajat raja Demit Buta Locaya! Seorang wali mulia kalah ‘adu rasa dan kawruh’ dengan raja demit Buta Locaya. Sunan Bonang kalah sakti dengan bangsa demit.

Tetapi Agus Sunyoto malah bangga dengan penulisan riwayat Sunan Bonang dalam Babad Daha-Kadiri maupun Serat Darmagandul. Menurutnya, itulah bentuk keunggulan seorang tokoh Walisanga.

Agus Sunyoto menafsirkan Babad Daha-Kadiri yang menggambarkan bagaimana sunan Bonang dengan pengetahuannya yang luar biasa bisa mengubah aliran sungai Brantas, sehingga menjadikan daerah yang enggan menerima dakwah Islam di sepanjang aliran sungai menjadi kekurangan air, bahkan sebagian yang lain mengalami banjir.

”Sepanjang perdebatan dengan tokoh Buta Locaya yang selalu mengecam tindakan dakwah sunan Bonang, terlihat sekali bahwa tokoh Buta Locaya itu tidak kuasa menghadapi kesaktian yang dimiliki sunan Bonang. Demikian juga dengan tokoh Nyai Plecing, yang kiranya seorang bhairawi, penerus ajaran ilmu hitam Calon Arang, yang dapat dikalahkan oleh sunan Bonang,” tulis Agus Sunyoto di hal. 132.

Menurut Siwi Sang, Agus Sunyoto jelas terkecoh Babad Daha Kediri maupun serat Darmagandul. Cerita kesaktian sunan Bonang yang mampu mengubah aliran sungai Brantas yang membikin kering daerah yang menolak dakwah Islamnya, sesungguhnya upaya para kaum pendengki yang secara semena-mena menghina Islam berbungkus kesaktian dan kehebatan tokoh Walisanga sunan Bonang.

Dalam ajaran Islam tidak ada yang namanya pemaksaan dalam menganut agama Islam. Semua wali mulia pastinya sangat mengerti. Islam adalah lemah lembut penuh kasih sayang antar sesama manusia.

Hanya muslim tolol yang memaksakan kehendak kepada orang lain ketika menganjurkan dan menyampaikan kebenaran Islam.

Hanya muslim tolol yang ketika menyampaikan kebenaran Islam kepada orang lain menggunakan pentungan, bilah pedang atau pucuk senapan!

Sementara sikap sunan Bonang yang dendam kepada daerah yang membangkangi dakwahnya, jelas perbuatan sangat biadab. Ini yang secara jahat dipropagandakan penulis Serat Darmagandhul maupun Babad Daha-Kadiri. Salah seorang tokoh Walisanga yang mulia itu disifati sebagai biadab jahat! Perbuatan sunan Bonang itu jelas bukan perbuatan arif seorang Wali Islam. Inilah salah satu upaya kaum orientalis colonial dan pendengki Islam menghina tokoh Walisanga melalui cerita dan kisah legenda rakyat.

Berikut ini Siwi Sang menyuplik dari Serat Darmagandhul peninggalan KRT. Tandanagara, cetakan keempat tahun 1959, terbitan Sadu Budi Sala, saat Sunan Bonang berdakwah di Kadiri. Saat penulis Serat Darmagandhul memelotorkan derajat kewalian Sunan Bonang, putra Sunan Ngampel.

Dhek nalika samana Sunan Bonang sumêdya tindak marang Kadhiri, kang ndherekake mung sakabat loro. Satêkane lor Kadhiri, iya iku ing tanah Kêrtasana, kêpalangan banyu, kali Brantas pinuju banjir. Sunan Bonang sarta sakabate loro padha nyabrang, satêkane wetan kali banjur niti-niti agamane wong kono apa wis Islam, apa isih agama Budi.

Ature Ki Bandar wong ing kono agamane Kalang, sarak Buddha mung sawatara, dene kang agama Rasul lagi bribik-bribik, wong ing kono akeh padha agama Kalang, mulyakake Bandung Bandawasa. Bandung dianggêp Nabine, yen pinuji dina Riyadi, wong-wong padha bêbarêngan mangan enak, padha sênêng-sênêng ana ing omah.

Sunan Bonang ngandika: “Yen ngono wong kene kabeh padha agama Gêdhah, Gêdhah iku ora irêng ora putih, tanah kene patut diarani Kutha Gêdhah”.

Ki Bandar matur: “Dhawuh pangandika panjênêngan, kula ingkang nêkseni”. Tanah saloring kutha kadhiri banjur jênêng Kutha Gêdhah, nganti têkane saiki isih karan Kutha Gêdhah, nanging kang mangkono mau arang kang padha ngrêti mula-bukane.

Sunan Bonang ngandika marang sakabate: “Kowe goleka banyu imbon mênyang padesan, kali iki isih banjir, banyune isih buthêk, yen diombe nglarani wêtêng, lan maneh iki wancine luhur, aku arêp wudhu, arêp salat”.

Di sini penulis Serat Darmagandhul ingin menunjukkan betapa Sunan Bonang tidak memahami hukum wudhu. Bagaimanapun seorang wali sangat memahami bahwa air sungai, sekeruh dan sekotor apapun, dapat digunakan untuk bersuci atau berwudhu. Perintah Sunan Bonang supaya mencari air imbon atau air tampungan, jelas mengesankan bahwa beliau tidak memahami hukum berwudhu.

Sakabate siji banjur lunga mênyang padesan arêp golek banyu, têkan ing desa Pathuk ana omah katone suwung ora ana wonge lanang, kang ana mung bocah prawan siji, wajah lagi arêp mêpêg birahi, ing wêktu iku lagi nênun. Sakabat têka sarta alon calathune: “Mbok Nganten, kula nêdha toya imbon bêning rêsik”.

Mbok Prawan kaget krungu swarane wong lanang, barêng noleh wêruh lanang sajak kaya santri, MBok Prawan salah cipta, pangrasane wong lanang arêp njêjawat, mêjanani marang dheweke, mula ênggone mangsuli nganggo têmbung saru: “Ndika mêntas liwat kali têka ngangge ngarani njaluk banyu imbon, ngriki botên entên carane wong ngimbu banyu, kajaba uyuh kula niki imbon bêning, yen sampeyan ajêng ngombe”.

Santri krungu têtêmbungan mangkono banjur lunga tanpa pamit lakune dirikatake sarta garundêlan turut dalan. Satêkane ngarsane Sunan Bonang banjur ngaturake lêlakone nalika golek banyu.

Sunan Bonang mirêng ature sakabate, bangêt dukane, nganti kawêtu pangandikane nyupatani, ing panggonan kono disabdakake larang banyu, prawane aja laki yen durung tuwa, sarta jakane aja rabi yen durung dadi jaka tuwa.

Barêng kêna dayaning pangandika mau, ing sanalika kali Brantas iline dadi cilik. Iline banyu kang gêdhe nyimpang nrabas desa alas sawah lan patêgalan. Akeh desa kang padharusak, awit katrajang ilining banyu kali kang ngalih iline. Kali kang maune iline gêdhe sanalika dadi asat. Nganti tumêka saprene tanah Gêdhah iku larang banyu. Jaka lan prawane iya nganti kasep ênggone omah-omah. Sunan Bonang têrus tindak mênyang Kadhiri.

Itulah kesaktian Sunan Bonang yang menurut Agus Sunyoto sangat menakjubkan! Semoga Agus Sunyoto yang saya kagumi, dapat secara arif merevolusinya.

Ing wêktu iki ana dhêmit jênênge Nyai Plêncing, iya iku dhêmit ing sumur Tanjungtani, tansah digubêl anak putune, padha wadul yen ana wong arane Sunan Bonang, gawene nyikara marang para lêlêmbut, ngêndêl-êndêlake kaprawirane.

Kali kang saka Kadhiri disotake banjur asat sanalika. Iline banjur salin dalan kang dudu mêsthine, mula akeh desa, alas, sawah sarta patêgalan, kang padha rusak, iya iku saka panggawene Sunan Bonang, kang uga ngêsotake wong ing kono, lanang wadon ngantiya kasep ênggone omah-omah, sarta kono disotake larang banyu sarta diêlih jênênge tanah aran Kutha Gêdhah. Sunan Bonang dhêmêne salah gawe. Anak putune Nyai Plêncing padha ngajak supaya Nyai Plêncing gêlêma nêluh sarta ngrêridhu Sunan Bonang, bisaa tumêka ing pati, dadi ora tansahganggu gawe.

Nyai Plêncing krungu wadule anak putune mangkono mau, enggal mangkat mêthukake lakune Sunan Bonang. Nanging dhêmit-dhêmit mau ora bisa nyêdhaki Sunan Bonang, amarga rasane awake padha panas bangêt kaya diobong. Dhêmit-dhêmit mau banjur padha mlayu marang Kadhiri.

Memang Nyai Plêncing kalah, tetapi tidak untuk Buta Locaya. Serat Darmagandhul jelas memenangkan Buta Locaya. Simak saja.

Satêkane ing Kadhiri, matur marang ratune, ngaturake kahanane kabeh. Ratune manggon ing Selabale. Jênênge Buta Locaya. Dene Selabale iku dununge ana sukune gunung Wilis. Buta Locaya iku patihe Sri Jayabaya, maune jênênge kiyai Daha, duwe adhi jênênge kiyai Daka. Kiyai Daha iki cikal-bakal ing Kadhiri. Barêng Sri Jayabaya rawuh, jênênge kiyai Daha dipundhut kanggo jênênge nagara. Dheweke diparingi Buta Locaya, sarta banjur didadekake patihe Sang Prabu Jayabaya.

Padahal nama Daha sudah dipakai bahkan sebelum Erlangga pindah dari Kahuripan pada 1041M.

Ing wêktu iku kiyai Buta Locaya lagi lênggah ana ing kursi kêncana kang dilemeki kasur babut isi sari, sarta kinêbutan êlaring mêrak, diadhêp patihe aran Megamêndhung, lan putrane kakung loro uga padha ngadhêp. Kang tuwa arane Panji Sêktidiguna, kang anom aran panji Sarilaut.

Buta Locaya lagi ngandikan karo kang padha ngadhêp, kaget kasaru têkane Nyai Plêncing, ngrungkêbi pangkone, matur bab rusake tanah lor Kadhiri, sarta ngaturake yen kang gawe rusak iku, wong saka Tuban kang sumêdya lêlana mênyang Kadhiri, arane Sunan Bonang. Nyai Plêncing ngaturake susahe para lêlêmbut sarta para manusa.

Buta Locaya krungu wadule Nyai Plêncing mangkono mau bangêt dukane. Sarirane nganti kaya gêni. Sanalika banjur nimbali putra-wayahe sarta para jin pêri parajangan, didhawuhi nglawan Sunan Bonang.

Para lêlêmbut mau padha sikêp gêgaman pêrang, sarta lakune barêng karo angina. Ora antara suwe lêlêmbut wis têkan ing saêloring desa Kukum [Tukum]. Ing kono Buta Locaya banjur maujud manusa aran kiyai Sumbre. Dene para lêlêmbut kang pirang-pirang ewu mau padha ora ngaton. Kiyai Sumbre banjur ngadêg ana ing têngah dalan sangisoring wit sambi, ngadhang lakune Sunan Bonang kang saka êlor.

Ora antara suwe têkane Sunan Bonang saka lor, Sunan Bonang wis ora kasamaran yen kang ngadêg ana sangisoring wit sambi iku ratuning dhêmit, sumêdya ganggu gawe, katitik saka awake panas kaya mawa. Dene lêlêmbut kang pirang-pirang ewu mau padha sumingkir adoh, ora bêtah kêna prabawane Sunan Bonang.

Mangkono uga Sunan Bonang uga ora bêtah cêdhak karo kiyai Sumbre, amarga kaya dene cêdhak mawa, kiyai Sumbre mangkono uga.

Sakabat loro kang maune padha sumaput, banjur padha katisên, amarga kêna daya prabawane kiyai Sumbre.

Sunan Bonang andangu marang kiyai Sumbre: “Buta Locaya! kowe kok mêthukake lakuku, sarta nganggo jênêng Sumbre. Kowe apa padha slamêt?”

Buta Locaya kaget bangêt dene Sunan Bonang ngrêtos jênênge dheweke, dadi dheweke kawanguran karêpe. Wusana banjur matur marang Sunan Bonang: “Kados pundi dene paduka sagêd mangrêtos manawi kula punika Buta Locaya?”.

Sunan Bonang ngandika: “Aku ora kasamaran, aku ngrêti yen kowe ratuning dhêmit Kadhiri, jênêngmu Buta Locaya”.

Kiyai Sumbre matur marang Sunan Bonang: “Paduka punika tiyang punapa, dene mangangge pating gêdhabyah, dede pangagêm Jawi. Kados wangun walang kadung?”

Sunan Bonang ngandika maneh: “Aku bangsa ‘Arab, jênêngku Sayid Kramat, dene omahku ing Bonang tanah Tuban, mungguh kang dadi sêdyaku arêp mênyang Kadhiri, pêrlu nonton patilasan kadhatone Sang Prabu Jayabaya, iku prênahe ana ing ngêndi?”

Buta Locaya banjur matur: “Wetan punika wastanipun dhusun Mênang, sadaya patilasan sampun sami sirna, kraton sarta pasanggrahanipun inggih sampun botên wontên, kraton utawi patamanan Bagendhawati ingkang kagungan Ni Mas Ratu Pagêdhongan inggih sampun sirna, pasanggrahan Wanacatur ugi sampun sirna, namung kantun namaning dhusun, sadaya wau sirnanipun kaurugan siti pasir sarta lahar saking rêdi Kêlut.

Kula badhe pitaken, paduka gêndhak sikara dhatêng anak putu Adam, nyabdakakên ingkang botên patut, prawan tuwa jaka tuwa, sarta ngêlih nami Kutha Gêdhah, ngêlih lepen, lajêng nyabdakakên ing ngriki awis toya, punika namanipun siya-siya botên surup, sikara tanpa dosa, saiba susahipun tiyang gêsang laki rabi sampun lungse, lajêng botên gampil pêncaripun titahing Latawalhujwa. Makatên wau saking sabda paduka. Sêpintên susahipun tiyang ingkang sami kêbênan, lepen Kadhiri ngalih panggenan mili nrajang dhusun, wana, sabin, pintên-pintên sami risak, ngriki paduka-sotakên, sêlaminipun awis toya, lepenipun asat, paduka sikara botên surup, nyikara tanpa prakara”.

Sunan Bonang ngandika: “Mula ing kene tak-êlih jênêng Kutha Gêdhah, amarga wonge kene agamane ora irêng ora putih, têtêpe agama biru, sabab agama Kalang, mula tak-sotake larang banyu, aku njaluk banyu ora oleh, mula kaline banjur tak-êlih iline, kene kabeh tak sotake larang banyu, dene ênggonku ngêsotake prawan tuwa jaka tuwa, amarga kang tak jaluki banyu ora oleh iku, prawan baleg.”.

Buta Locaya matur maneh: “Punika namanipun botên timbang kaliyan sot panjênêngan, botên sapintên lêpatipun, tur namung tiyang satunggal ingkang lêpat, nanging ingkang susah kok tiyang kathah sangêt, botên timbang kaliyan kukumipun, paduka punika namanipun damêl mlaratipun tiyang kathah, saupami konjuk Ingkang Kagungan Nagari, paduka inggih dipunukum mlarat ingkang langkung awrat, amargi ngrisakakên tanah, lah sapunika mugi panjênêngan-sotakên wangsulipun malih, ing ngriki sagêda mirah toya malih, sagêd dados asil panggêsangan laki rabi taksih alit lajêng mêncarakên titahipun Hyang Manon. Panjênêngan sanes Narendra têka ngarubiru agami, punika namanipun tiyang dahwen”.

Sunan Bonang ngandika: “Sanadyan kok aturake Ratu Majalêngka aku ora wêdi”.

Buta Locaya barêng krungu têmbung ora wêdi marang Ratu Majalêngka banjur mêtu nêpsune, calathune sêngol: “Rêmbag paduka niki dede rêmbage wong ahli praja, patute rêmbage tiyang entên ing bambon, ngêndêlake dumeh tiyang digdaya, mbok sampun sumakehan dumeh dipunkasihi Hyang Widdhi, sugih sanak malaekat, lajêng tumindak sakarsa-karsa botên toleh kalêpatan, siya dahwen sikara botên ngangge prakara, sanadyan ing tanah Jawi rak inggih wontên ingkang nglangkungi kaprawiran paduka, nanging sami ahli budi sarta ajrih sêsikuning Dewa, têbih saking ahli budi yen ngantos siya dhatêng sêsami nyikara tanpa prakara, punapa paduka punika tiyang tunggilipun Aji Saka, muride Ijajil. Aji Saka dados Ratu tanah Jawi namung tigang taun lajêng minggat saking tanah Jawi, sumbêr toya ing Mêdhang saurutipun dipunbêkta minggat sadaya, Aji Saka tiyang saka Hindhu, paduka tiyang saking ‘Arab, mila sami siya-siya dhatêng sêsami, sami damêl awising toya, paduka ngakên Sunan rak kêdah simpên budi luhur, damêl wilujêng dhatêng tiyang kathah, nanging kok jêbul botên makatên, wujud paduka niki jajil bêlis katingal, botên tahan digodha lare, lajêng mubal nêpsune gêlis duka, niku Sunan napa? Yen pancen Sunaning jalma yêktos, mêsthi simpên budi luhur. Paduka niksa wong tanpa dosa, nggih niki margi paduka cilaka, tandhane paduka sapunika sampun jasa naraka jahanam, yen sampun dados, lajêng paduka-ênggeni piyambak, siram salêbêting kawah wedang ingkang umob mumpal-mumpal. Kula niki bangsaning lêlêmbut, sanes alam kaliyan manusa, ewadene kula taksih engêt dhatêng wilujêngipun manusa. Inggih sampun ta, sapunika sadaya ingkang risak kula-aturi mangsulakên malih, lepen ingkang asat lan panggenan ingkang sami katrajang toya kula-aturi mangsulakên kados sawaunipun, manawi panjênêngan botên karsa mangsulakên, sadaya manusa Jawi ingkang Islam badhe sami kula-têluh kajêngipun pêjah sadaya, kula tamtu nyuwun bantu wadya bala dhatêng Kanjêng Ratu Ayu Anginangin ingkang wontên samodra kidul”.

Ini kekalahan pertama Sunan Bonang atas Buta Locaya. Ketika penulis Serat Darmagandhul menulis Sunan Bonang mengakui kesalahannya.

Sunan Bonang barêng mirêng nêpsune Buta Locaya rumaos lupute, dene gawe kasusahan warna-warna, nyikara wong kang ora dosa, mula banjur ngandika: “Buta Locaya! aku iki bangsa Sunan, ora kêna mbaleni caturku kang wus kawêtu, besuk yen wus limang atus taun, kali iki bisa bali kaya mau-maune”.

Buta Locaya barêng krungu kêsagahane Sunan Bonang, banjur nêpsu maneh, nuli matur marang Sunan Bonang: “Kêdah paduka wangsulna sapunika, yen botên sagêd, paduka kula-banda”.

Sunan Bonang ngandika marang Buta Locaya: “Wis kowe ora kêna mangsuli, aku pamit nyimpang mangetan, woh sambi iki tak jênêngake cacil. Dene kok kaya bocah cilik padha tukaran, dhêmit lan wong pêcicilan rêbut bênêr ngadu kawruh prakara rusaking tanah, sarta susahe jalma lan dhêmit, dak suwun marang Rabbana, woh sambi dadi warna loro kanggone, daginge dadiya asêm, wijine mêtuwa lêngane, asêm dadi pasêmoning ulat kêcut. Dene dhêmit padu lan manusa, lênga têgêse dhêmit mlêlêng jalma lunga. Ing besuk dadiya pasêksen, yen aku padu karo kowe, lan wiwit saiki panggonan têtêmon iki, kang lor jênênge desa Singkal, ing kene desa ing Sumbre. Dene panggonane balamu kang ana ing kidul iku jênênge desa Kawanguran”.

Kekalahan Sunan Bonang dilukiskan dengan meloncatnya beliau ke timur sungai Brantas meninggalkan Buta Locaya.

Sunan Bonang sawuse ngandika mangkono banjur mlumpat marang wetan kali, katêlah nganti tumêka saprene ing tanah Kutha Gêdhah ana desa aran Kawanguran, Sumbre sarta Singkal, Kawanguran têgêse kawruhan, Singkal têgêse sêngkêl banjur nêmu akal.

Buta Locaya nututi tindake Sunan Bonang. Sunan Bonang tindake têkan ing desa Bogêm, ana ing kono Sunan Bonang mriksani rêca jaran, rêca mau awak siji êndhase loro, dene prênahe ana sangisoring wit trênggulun, wohe trênggulun mau akeh bangêt kang padha tiba nganti amblasah, Sunan Bonang ngasta kudhi, rêca jaran êndhase digêmpal.

Buta Locaya barêng wêruh patrape Sunan Bonang anggêmpal êndhasing rêca jaran, saya wuwuh nêpsune sarta mangkene wuwuse: “Punika yasanipun sang Prabu Jayabaya, kangge pralambang ing tekadipun wanita Jawi, benjing jaman Nusa Srênggi, sintên ingkang sumêrêp rêca punika, lajêng sami mangrêtos tekadipun para wanita Jawi”.

Sunan Bonang ngandika: “Kowe iku bangsa dhêmit kok wani padu karo manusa, jênênge dhêmit kêmênthus”.

Buta Locaya mangsuli: “Inggih kaot punapa, ngriku Sunan, kula Ratu”.

Sunan Bonang ngandika: “Woh trênggulun iki tak-jênêngake kênthos, dadiya pangeling-eling ing besuk, yen aku kêrêngan karo dhêmit kumênthus, prakara rusaking rêca”.

Ini kesaktian Sunan Bonang yang sangat tidak masuk akal, menggulingkan sumur hanya karena sulit mencari air wudhu. Ini secara tersirat menunjukkan bahwa dakwah Sunan Bonang di daerah Kadiri memang menemui beberapa hambatan, diibaratkan beberapa kali kesulitan mencari air wudhu.

Sunan Bonang banjur tindak mangalor, barêng wis wanci asar, kêrsane arêp salat, sajabane desa kono ana sumur nanging ora ana timbane, sumure banjur digolingake, dene Sunan Bonang sawise, nuli sagêd mundhut banyu kagêm wudhu banjur salat.

Sunan Bonang sawise salat banjur nêrusake tindake. Satêkane desa Nyahen ing kona ana rêca buta wadon, prênahe ana sangisoring wit dhadhap, wêktu iku dhadhape pinuju akeh bangêt kêmbange, sarta akeh kang tiba kanan keringe rêca buta mau, nganti katon abang mbêranang, saka akehe kêmbange kang tiba, Sunan Bonang priksa rêca mau gumun bangêt, dene ana madhêp mangulon, dhuwure ana 16 kaki, ubênge bangkekane 10 kaki, saupama diêlih saka panggonane, yen dijunjung wong wolung atus ora kangkat, kajaba yen nganggo piranti, baune têngên rêca mau disêmpal dening Sunan Bonang, bathuke dikrowak.

Buta Locaya wêruh yen Sunan Bonang ngrusak rêca, dheweke nêpsu maneh, calathune: “Panjênêngan nyata tiyang dahwen, rêca buta bêcik-bêcik dirusak tanpa prakara, sa-niki awon warnine, ing mangka punika yasanipun Sang Prabu Jayabaya, lah asilipun punapa panjênêngan ngrisak rêca?”

Pangandikane Sunan Bonang: “Mulane rêca iki tak rusak, supaya aja dipundhi-pundhi dening wong akeh, aja tansah disajeni dikutugi, yen wong muji brahala iku jênênge kapir kupur lair batine kêsasar.”

Buta Locaya calathu maneh: “Wong Jawa rak sampun ngrêtos, yen punika rêca sela, botên gadhah daya, botên kuwasa, sanes Hyang Labawalhujwa, mila sami dipunladosi, dipunkutugi, dipunsajeni, supados para lêlêmbut sampun sami manggen wontên ing siti utawi kajêng, amargi siti utawi kajêng punika wontên asilipun, dados têdhanipun manusa, mila para lêlêmbut sami dipunsukani panggenan wontên ing rêca, panjênêngan-tundhung dhatêng pundi? Sampun jamakipun brêkasakan manggen ing guwa, wontên ing rêca, sarta nêdha ganda wangi, dhêmit manawi nêdha ganda wangi badanipun kraos sumyah, langkung sênêng malih manawi manggen wontên ing rêca wêtah ing panggenan ingkang sêpi edhum utawi wontên ngandhap kajêng ingkang agêng, sampun sami ngraos yen alamipun dhêmit punika sanes kalayan alamipun manusa, manggen wontên ing rêca têka panjênêngan-sikara, dados panjênêngan punika têtêp tiyang jail gêndhak sikara siya-siya dhatêng sasamining tumitah, makluking Pangeran. Aluwung manusa Jawa ngurmati wujud rêca ingkang pantês simpên budi nyawa, wangsul tiyang bangsa ‘Arab sami sojah Ka’batu’llah, wujude nggih tugu sela, punika inggih langkung sasar”.

Pangandikane Sunan Bonang: Ka’batu’llah iku kang jasa Kangjêng Nabi Ibrahim, ing kono pusêring bumi, didelehi tugu watu disujudi wong akeh, sing sapa sujud marang Ka’batu’llah, Gusti Allah paring pangapura lupute kabeh salawase urip ana ing ‘alam pangumbaran”.

Buta Locaya mangsuli karo nêpsu: “Tandhane napa yen angsal sihe Pangeran, angsal pangapuntên sadaya kalêpatanipun, punapa sampun angsal saking Pangeran Kang Maha Agung tapak asta mawi cap abrit?

Sunan Bonang ngandika maneh: “Kang kasêbut ing kitabku, besuk yen mati oleh kamulyan”.

Buta Locaya mangsuli karo mbêkos: “Pêjah malih yen sumêrêpa, kamulyan sanyata wontên ing dunya kemawon sampun korup, sasar nyêmbah tugu sela, manawi sampun nrimah nêmbah curi, prayogi dhatêng rêdi Kêlut kathah sela agêng-agêng yasanipun Pangeran, sami maujud piyambak saking sabda kun, punika wajib dipunsujudi. Saking dhawuhipun Ingkang Maha Kuwaos, manusa sadaya kêdah sumêrêp ing Batu’llahipun, badanipun manusa punika Baitu’llah ingkang sayêktos, sayêktos yen yasanipun Ingkang Maha Kuwaos, punika kêdah dipunrêksa, sintên sumêrêp asalipun badanipun, sumêrêp budi hawanipun, inggih punika ingkang kenging kangge tuladha.

Sanadyan rintên dalu nglampahi salat, manawi panggenanipun raga pêtêng, kawruhipun sasar-susur, sasar nêmbah tugu sela, tugu damêlan Nabi, Nabi punika rak inggih manusa kêkasihipun Gusti Allah, ta, pinaringan wahyu nyata pintêr sugih engêtan, sidik paningalipun têrus, sumêrêp cipta sasmita ingkang dereng kalampahan.

Dene ingkang yasa rêca punika Prabu Jayabaya, inggih kêkasihipun Ingkang Kuwaos, pinaringan wahyu mulya, inggih pintêr sugih engêtan sidik paningalipun têrus, sumêrêp saderengipun kalampahan, paduka pathokan tulis, tiyang Jawi pathokan sastra, bêtuwah saking lêluhuripun. sami-sami nyungkêmi kabar, aluwung nyungkêmi kabar sastra saking lêluhuripun piyambak, ingkang patilasanipun taksih kenging dipuntingali. Tiyang nyungkêmi kabar ‘Arab, dereng ngrêtos kawontênanipun ngrika, punapa dora punapa yêktos, anggêga ujaripun tiyang nglêmpara.

Mila panjênêngan anganjawi, nyade umuk, nyade mulyaning nagari Mêkah, kula sumêrêp nagari Mêkah, sitinipun panas, awis toya, tanêm-tanêm tuwuh botên sagêd mêdal, bênteripun bantêr awis jawah, manawi tiyang ingkang ahli nalar, mastani Mêkah punika nagari cilaka, malah kathah tiyang sade tinumbas tiyang, kangge rencang tumbasan.

Panjênêngan tiyang duraka, kula-aturi kesah saking ngriki, nagari Jawi ngriki nagari suci lan mulya, asrêp lan bênteripun cêkapan, tanah pasir mirah toya, punapa ingkang dipuntanêm sagêd tuwuh, tiyangipun jalêr bagus, wanitanipun ayu, madya luwês wicaranipun. Rêmbag panjênêngan badhe priksa pusêring jagad, inggih ing ngriki ingkang kula-linggihi punika, sapunika panjênêngan ukur, manawi kula lêpat panjênêngan jotos.

Rêmbag panjênêngan punika mblasar, tandha kirang nalar, kirang nêdha kawruh budi, rêmên niksa ing sanes. Ingkang yasa rêca punika Maha Prabu Jayabaya, digdayanipun ngungkuli panjênêngan, panjênêngan punapa sagêd ngêpal lampahing jaman? Sampun ta, kula-aturi kesah kemawon saking ngriki, manawi botên purun kesah sapunika, badhe kula-undhangakên adhi-kula ingkang wontên ing rêdi Kêlut, panjênêngan kula-kroyok punapa sagêd mênang, lajêng kula bêkta mlêbêt dhatêng kawahipun rêdi Kêlut, panjênêngan punapa botên badhe susah, punapa panjênêngan kêpengin manggen ing sela kados kula? Mangga dhatêng Selabale, dados murid kula!”.

Sunan Bonang ngandika: “Ora arêp manut rêmbugmu, kowe setan brêkasakan”.

Buta Locaya mangsuli: “Sanadyan kula dhêmit, nanging dhêmit raja, mulya langgêng salamine, panjênêngan dereng tampu mulya kados kula, tekad panjênêngan rusuh, rêmên nyikara niaya, mila panjênêngan dhatêng tanah Jawi, wontên ing ‘Arab nakal kalêbêt tiyang awon, yen panjênêngan mulya tamtu botên kesah saking ‘Arab, mila minggat, saking lêpat, tandhanipunwontên ing ngriki taksih krejaban, maoni adating uwong, maoni agama, damêl risak barang sae, ngarubiru agamane lêluhur kina, Ratu wajib niksa, mbucal dhatêng Mênadhu”.

Inilah kekalahan telak Sunan Bonang atas Buta Locaya. Ketika penulis Serat Darmagandhul menyebut bahwa Sunan Bonang mengaku kalah kawruh dan nalar ketika berdebat alias beradu kesaktian secara batin melawan Buta Locaya, Ratu Demit tanah Kadiri.

Sunan Bonang ngandika: “Dhadhap iki kêmbange tak jênêngake celung, uwohe kledhung, sabab aku kêcelung nalar lan kêledhung rêmbag. Dadiya pasêksen yen aku padu lan ratu dhêmit, kalah kawruh kalah nalar”.

Sunan Bonang banjur pamitan: “Wis aku arêp mulih mênyang Bonang”.

Buta Locaya mangsuli karo nêpsu: “Inggih sampun, panjênêngan enggala kesah, wontên ing ngriki mindhak damêl sangar, manawi kadangon wontên ing ngriki mindhak damêl susah, murugakên awis wos, nambahi bênter, nyudakakên toya”.

Sunan Bonang banjur tindak, dene Buta Locaya sawadya-balane uga banjur mulih.

Jadi dari mana Agus Sunyoto melihat kemenangan atau keunggulan Sunan Bonang atas Buta Locaya?

Sekali lagi Agus Sunyoto seharusnya sanggup membaca dengan kreatif dan cerdas! Sanggup merevolusi Babad Daha Kadiri dan serat Daremagandul yang sangat menghina peran Walisanga, sunan Bonang dan sunan Giri.

Dalam dua sumber karya sastra itu, sunan Giri juga disifati sebagai tokoh walisanga yang memiliki kemampuan memenung alias menyantet! Sunan Giri pakar ilmu Santet! Inilah cuplikan paska perang Majapait dan Demak, setelah Raden Patah sowan ke Nyi Ageng Ampel.

Sunan Bonang mêthukake kondure Sang Prabu Jimbun. Sang Nata banjur matur marang Sunan Bonang yen Majapahit wis kêlakon bêdhah. Layang-layang Buddha iya wis diobongi kabeh. Sarta ngaturake yen ingkang rama lan Raden Gugur lolos. Patih Majapahit mati ana samadyaning papêrangan. Putri Cêmpa wis diaturi ngungsi mênyang Bonang. Wadya Majapahit sing wis têluk banjur padha dikon Islam.

Sunan Bonang mirêngake ature Sang Prabu Jimbun, gumujêng karomanthuk-manthuk, sarta ngandika yen wis cocog karo panawange.

Sang Prabu matur, yen kondure uga mampir ing Ngampeldênta, sowan ingkang eyang Nyai Agêng Ngampel, ngaturake yen mêntas saka Majapahit, sarta nyuwun idi ênggone jumênêng Nata, nanging ana ing Ngampel malah didukani sarta diuman-uman, ênggone ora ngrêti marang kabêcikane Sang Prabu Brawijaya, nanging sawise, banjur didhawuhi ngupaya ingkang rama, apa sapangandikane Nyai Agêng Ngampel diaturake kabeh marang Sunan Bonang.

Sunan Bonang sawise mirêngake ature Sang Nata ing batos iya kêduwung, rumaos lupute, dene ora ngelingi marang kabêcikane Sang Prabu Brawijaya. Nanging rasa kang mangkono mau banjur dislamur ing pangandika, samudanane nyalahake Sang Prabu Brawijaya lan Patih, ênggone ora karsa salin agama Islam.

Sunan Bonang banjur ngandika, yen dhawuhe Nyai Agêng Ngampel ora pêrlu dipanggalih, amarga panimbange wanita iku mêsthi kurang sampurna, luwih bêcik ênggone ngrusak Majapahit dibanjurake, yen Prabu Jimbun mituhu dhawuhe Nyai Ngampeldênta, Sunan Bonang arêp kondur mênyang ‘Arab, wusana Prabu Jimbun banjur matur marang Sunan Bonang, yen ora nglakoni dhawuhe Nyai Ngampel, mêsthine bakal oleh sabda kang ora bêcik, mula iya wêdi.

Sunan Bonang paring dhawuh marang Sang Prabu, yen ingkang rama mêksa kondur mênyang Majapahit, Sang Prabu didhawuhi sowan nyuwun pangapura kabeh kaluputane, dene yen arêp ngaturi jumênêng Nata maneh, aja ana ing tanah Jawa, amarga mêsthi bakal ngribêdi lakune wong kang padha arêp salin agama Islam, supaya dijumênêngake ana seje nagara ing sajabaning tanah Jawa.

Sunan Giri banjur nyambungi pangandika, mungguh prayoganing laku supaya ora ngrusakake bala, Sang Prabu Brawijaya sarta putrane bêcik ditênung bae, awit yen mateni wong kapir ora ana dosane.

Sunan Bonang sarta Prabu Jimbun wis nayogyani panêmune Sunan Giri kang mangkono mau.

Bahwa keinginan Sunan Giri menenung alias meneluh sang prabhu Brawijaya dan para putranya, yang kemudian didukung Sunan Bonang dan Raden Patah, adalah upaya penulis Serat Darmagandhul untuk menanamkan pemahaman bahwa para Walisanga adalah pakar ilmu tenung!

Ini seharusnya direvolusi oleh Agus Sunyoto.

Tetapi buku berjudul ‘Walisongo: Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan’ karya Agus Sunyoto terbitan Transpustaka, Nopember 2011 silam, masih jauh dari mantap.

Sepatutnya sebelum memunculkan mahakarya Atlas Walisongo, Agus Sunyoto merevolusi buku ini dulu.

Buku ini telanjur beredar luas dan tentunya banyak dijadikan acuan dan reverensi sejarah Islam Nusantara, utamanya terkait ‘Walisongo’.

Saya percaya bahwa Agus Sunyoto yang saya hormati, sejatinya sangat mampu merevolusi sejarah Islam Nusantara secara obyektif dan gagah.

Siwi Sang

Kecantikan Hakiki Kaum Hawa

Gaya hijab cantik
Gaya hijab cantik
Tolok ukur kecantikan bukan paras fisik.

Al-jamal jamal al-khuluqi, kecantikan hakiki tak terletak pada fisik, tetapi cantik yang sebenarnya adalah cantik budi pekerti. Ungkapan Arab itu tepat untuk menekankan bahwa tolok ukur seseorang bukanlah parasnya.
Maka, kata Ketua Umum Aisyiyah Muhammadiyah, Siti Noordjanah Djohantini, kecantikan itu ciptaan Allah SWT, termasuk cantik secara lahir maupun cantik batinnya.

Cantik batin lebih penting dibandingkan fisik semata. Bila hatinya cantik, amal dan akhlaknya baik pula. Sekalipun dianugerahi kecantikan fisik, hal itu bukan untuk dieksplor.

Memamerkan kecantikan yang bersifat fisik tidak sesuai dengan ajaran agama Islam. ''Mengumbar aurat itu bertentangan dengan ajaran agama Islam,'' ujarnya menyikapi eksploitasi kecantikan dalam ajang Miss World, Ratu Kecantikan Dunia.

Selain itu, ajang Miss World ini agenda prioritas bangsa Indonesia. Isu ekonomi mestinya diprioritaskan. Sedangkan, perhelatan semacam ini sama sekali tak memberikan solusi riil dan konkret. Masing-masing laki-laki dan perempuan diberi hak yang sama dalam dalam menggali potensinya.

Banyak kegiatan yang lebih baik yang mampu mengembangkan potensi diri perempuan. Hal-hal positif lain, seperti menjadi penulis, aktif di dunia politik, atau menjadi relawan aksi perdamaian.

Miss World bukanlah ajang potensi yang bertujuan kebaikan. Malah, tidak ada kebaikan apa pun dalam terselenggaranya acara ini.

Ada usaha-usaha pemberdayaan perempuan yang lebih baik dibandingkan ajang kecantikan, misalnya memberi pemahaman tentang partisipasi perempuan dalam pemilihan umum.

Dalam sektor ekonomi, perempuan diberi pengetahuan dan cara untuk ikut turut serta mengembangkan kehidupannya agar lebih sejahtera. Ajang Miss World ini merendahkan martabat dan melemahkan karakter perempuan.

Ia menambahkan, menutup aurat yang merupakan tuntunan Islam bukanlah bertujuan untuk mengekang. Hikmah dan maksud perempuan diperintahkan menutup auratnya agar mereka merasa aman dan tenteram, tidak menerima gangguan-gangguan dari luar. Oleh karenanya, mereka juga akan merasa tenang.

Ketua Umum Fatayat Nahdlatul Ulama (NU) Ida Fauziyah mengatakan, ajang yang memamerkan semata-semata fisik perlu dipertanyakan. Islam sudah mengatur perintah menutup aurat dan kita tak boleh mengumbarnya. ''Yang dilombakan itu kecantikan fisik apa budi?'' ujarnya.

Kecantikan menurut Islam adalah kecantikan budi pekerti, bagaimana menempatkan diri antara manusia dan manusia, bagaimana mengatur hubungan antara manusia dan sesama, hubungan manusia dengan Tuhan, dan bagaimana memelihara yang diberikan Tuhan kepada kita.

Memamerkan tidak termasuk kriteria cantik. Perempuan yang cantik adalah bagaimana ia dilihat dalam bersikap dan bertoleransi dan juga bagaimana ia menggunakan kecerdasannya untuk kepentingan sesama dan lingkungannya.

Tuntunan Islam menutup aurat dimaksudkan untuk menjaga perempuan itu sendiri. Jika diandaikan makanan, kita pasti lebih memilih makanan yang tertutup sebab kita berpikir makanan yang tertutup itu lebih aman dan tidak disentuh oleh apa pun dari luar.

Makanan yang tertutup itu lebih higienis. Begitu pula dengan perempuan, diperintahkan untuk menutup auratnya untuk keamanannya sendiri, bukan untuk mengekang.

Lagi pula, dengan menutup aurat, perempuan tidak menjadi terbatas untuk beraktivitas. Mereka masih bisa menjalankan fungsi sosial dan fungsi publiknya sebagai manusia. Mereka masih bisa bekerja dan menopang keluarga.

Ajang Miss World ini, sepanjang tidak memamerkan kemolekan tubuh, tidak mengadu kecantikan semata, masih bisa dimaklumi. “Tapi, kalau ajang ini hanyalah ajang pamer tubuh, tentu harus dipertanyakan,” tutur Ketua Komisi VIII DPR-RI ini.
Reporter : Riana Dwi Resky
Redaktur : Damanhuri Zuhri

Membaca Prasasti Membaca Sejarah Medang


MEMBACA PRASASTI MEMBACA SEJARAH MEDANG

Dalam bahasa Sansekreta, prasasti yang bermakna harfiah ‘pujian’ tersebut lazim dipadankan oleh kaum arkeolog sebagai inskripsi (inscription). Bagi masyarakat awam, prasasti sering disebut sebagai batu bertulis atau batu bersurat. Sekalipun diketahui, prasasti tidak selamanya terbuat dari batu. Berdasarkan kesimpulan dari berbagai pendapat para sejarawan, arkeolog, atau ahli epigraf; prasasti merupakan salah satu jenis artefak dimana fungsinya bukan sekadar sebagai pujian; akan tetapi sebagai piagam, maklumat, surat keputusan, undang-undang, atau dokumen yang dituliskan pada bahan keras dan berdaya tahan lama, misal: batu (andesit, pualam, kapur, atau basalt); lempengan logam (tembaga, perunggu, perak, atau emas); daun (lontar atau tal); tanah liat (tablet); atau kertas. Dalam arkeologi, prasasti batu lazim diistilahkan sebagai upala prasasti, prasasti logam diistilahkan sebagai tamra prasasti, dan prasasti lontar disebut tripta prasasti.

Prasasti adalah sebagai tanda berakhirnya masa pra sejarah dan bermulanya masa sejarah. Masa dimana sebagian masyarakat saat itu mulai dapat menulis dan membaca. Sekalipun kebanyakan prasasti tidak dikeluarkan oleh masyarakat, melainkan para raja yang tengah berkuasa di kerajaan tertentu. Karenanya sebagian dari prasasti yang ada cenderung memuat pujian-pujian pada seorang raja. Sekalipun demikian, banyak prasasti yang tidak memuat pujian-pujian terhadap raja. Pengertian lain, terdapat pula prasasti-prasasti yang berisikan tentang penetapan terhadap desa sebagai sima swatantra (daerah perdikan atau daerah bebas pajak), keputusan pengadilan tentang perkara perdata (jayapatra atau jayasong), tanda atas kemenangan (jayacikna), persoalan utang-piutang (suddhapatra), dsb.


Diketahui bahwa prasasti tidak selamanya ditulis dengan huruf Pallawa atau Sansekreta, melainkan dengan huruf Prenagari, Jawa Kuna, Melayu Kuna, Sunda Kuna, dan Bali Kuna. Sementara itu, penulisan prasasti pula menggunakan bahasa yang sangat variatif. Disamping bahasa Sansekreta, prasasti ditulis dengan bahasa Jawa Kuna, Bali Kuna, Sunda Kuna, dsb.

Hasil penelitian dari para sejarawan, arkeolog, dan ahli epigraf menunjukkan bahwa prasasti tertua di bumi Nusantara adalah Prasasti Yupa dari kerajaan Kutai (Kalimantan Timur) yang dikeluarkan pada abad 5 M. Prasasti yang ditulis di atas batu dengan huruf Pallawa dan bahasa Sansekreta tersebut memuat tentang hubungan geneologis semasa pemerintahan Mulawarwan. Seiring dengan perkembangan zaman, prasasti demi prasasti kemudian banyak dikeluarkan pada abad 8 - 14 M.

Prasasti dan Raja-Raja Medang
Prasasti merupakan bukti sejarah yang dapat menunjukkan tentang catatan-catatan (peristiwa-peristiwa) orisinal pada zamannya. Dengan demikian, seseorang dengan berbekal kemampuan cukup untuk membaca aksara dan bahasa yang digunakan pada prasasti tersebut akan dapat mengetahui tentang catatan-catatan sejarah masa silam, terutama yang berkaitan dengan sejarah raja-raja Jawa (baca: raja-raja Medang sejak pemerintahan Wisnuwarman hingga Dharmawangsa Teguh). Berikut adalah prasasti-prasasti yang berkaitan dengan sejarah raja-raja Medang periode Jawa Tengah dan Jawa Timur:

1. Prasasti Ligor B dan Kalurak
Dari Prasasti Ligor B yang diterjemahkan Dr. Chabra menyebutkan bahwa Wisnuwarman yang memerintah Kerajaan Medang periode Jawa Tengah pada 775-782 tersebut sebagai sarwwarimadawimathana. Sang pembunuh musuh-musuh perwira. Sementara dalam Prasasti Kalurak yang dikeluarkan pada tahun 782, Slamet Muljana menyebutkan bahwa Wisnuwarman sebagai wairiwarawiramardana (pelindung dunia). Jika kebenaran teori Slamet Muljana tidak tersangkalkan, maka penulisan prasasti tersebut merupakan tanda kekuasaan Dinasti Syailendra atas tlatah Ligor yakni pada tahun 778-787.


Di dalam Prasasti Kalurak menyebutkan tentang nama Dharanindra. Raja Medang periode Jawa Tengah ke 3 yang memerintah pada 782-812 dengan gelar Sri Sanggrama Dananjaya. Sementara Slamet Muljana mengidentikkan Dharanindra yang mampu meluaskan wilayah kekuasaan Medang hingga Semenanjung Malaya dan daratan Indo China tersebut dengan Sri Maharaja Rakai Panunggalan.

2. Prasasti Kayumwungan, Tri Tepusan, Munduan, Plaosan, dan Wantil
Prasasti Kayumwungan menyebut nama Pramodawardhani yang memerintah Medang periode Jawa Tengah pada tahun 833-856 sebagai putri dari Samaratungga. Prasasti tersebut pula menerangkan, bahwa Pramodawardhani telah meresmikan bangunan Jinalasa yang bertingkat-tingkat. Bangunan yang dimaksud adalah Kamulan Bhumisambhara atau kini dikenal dengan candi Borobudur.


Hubungan antara Pramodawardhani dengan candi Borobudur pula disebutkan pada Prasasti Tri Tepusan yang berangka tahun 842. Pada prasasti tersebut dijelaskan bahwa Pramodawardhani yang menurut Dr Casparis bergelar Sri Kahulunan tersebut telah membebaskan pajak pada beberapa desa yang seluruh penduduknya merawat bangunan Jinalaya.


Lain Prasasti Kayumwungan dan Tri Tepusan, lain pula dengan Prasasti Munduan (807). Prasasti tersebut menerangkan tentang jarak usia Pramodawardhani dengan Rakai Pikatan suaminya yang sangat jauh. Hasil dari penikahan keduanya, Pramodawardhani melahirkan dua putra yakni Rakai Gurungwangi Dyah Saladu (Prasasti Plasosan) dan Rakai Kayuwangi (Prasasti Wantil).

3. Prasasti Mantyasih dan Nalanda
Pada Prasasti Mantyasih yang dikeluarkan Dyah Balitung pada 907 menerangkan bahwa raja ke 2 Medang Periode Jawa Tengah dengan pusat pemerintahan Mataram Kuno adalah Rakai Panangkaran Dyah Pancapana. Sementara raja Medang ke 5 adalah Rakai Garung yang memerintah sesudah Rakai Warak. Raja Medang ke 4 yang menurut teori Slamet Muljana dengan berdasar Prasasti Nalanda identik dengan nama Samaragrawira (ayah dari Balaputradewa).

4. Prasasti Argapura, Tulang Air, Gandasuli, dan Siwagreha
Bersumber pada Prasasti Argapura, Rakai Pikatan yang merupakan raja Medang periode Jawa Tengah ke 6 pada 838-855 tersebut bernama asli Mpu Manuku. Kemudian dari Prasasti Tulang Air yang berangka tahun 850 dapat diperoleh keterangkan, bahwa Mpu Manuku menggunakan nama gelar Rakai Patapan. Dengan demikian Rakai Pikatan yang berasal dari Dinasti Sanjaya tersebut adalah identik dengan Mpu Manuku atau Rakai Patapan.
Sesudah Mpu Palar meninggal, Rakai Pikatan kembali bertanggung jawab atas tlatah Patapan (Prasastri Gandasuli). Sementara pada Prasasti Siwagreha yang dikeluarkan pada 12 November 658, Rakai Pikatan disebut sebagai pendiri bangunan suci Siwagreha (candi Siwa). Bila menilik ciri-cirinya, bangunan Siwagreha identik dengan salah satu candi utama di komplek candi Prambanan.


5. Prasasti Poh Dulur dan Munggu Antan
Prasasti Poh Dulur yang dikeluarkan pada 890 menyebutkan tentang nama Maharaja Rakai Limus Dyah Dewendra, raja Medang periode Jawa Tengah yang memerintah pada 885-887. Sementara pada Prasasti Munggu Antan menyebutkan nama Rakai Gurungwangi Dyah Badra. Raja Medang periode Jawa Tengah yang mulai memerintah pada tahun 887.


6. Prasasti Panunggalan, Telahap, Watukura, Telang, Poh, dan Kubu-Kubu
Prasasti Panunggalan yang dikeluarkan pada 19 November 896 menyebut nama Sang Watuhumalang Mpu Teguh. Namun prasasti tersebut tidak menyebut Watuhumalang sebagai raja Medang periode Jawa Tengah, melainkan sebagai haji (raja bawahan). Sedangkan Prasasti Telahap menjelaskan bahwa yang menjadi raja Medang bukan Watuhumalang, melainkan Dyah Balitung. Dari sini Poerbatjaraka dan Boechari menganalisis bahwa Dyah Balitung menjabat sebagai raja Medang sesudah menikahi putri Watuhumalang.


Selama menjabat sebagai raja, Dyah Balitung mengangkat Mpu Daksa sebagai Rakryan Mapatih (Prasasti Watukura, 27 Juli 902). Selain itu, Dyah Balitung pula memerintahkan pada Rakai Welar Mpu Sudarsana untuk membangun komplek penyeberangan ‘Paparahuan’ di tepian Sungai Bengawan Solo (Prasasti Telang, 11 Januari 904), membebaskan pajak pada warga desa Poh yang telah merawat bangunan suci Sang Hyang Caitya dan Silungkung (Prasasti Poh, 17 Juli 905), serta memberikan anugerah berupa desa Kubu-Kubu pada Rakryan Hujung Dyah Mangarak dan Rakryan Matuha Dyah Majawuntan yang berhasil menaklukkan daerah Bantan (Prasasti Kubu-Kubu 17 Oktober 905).


7. Prasasti Timbangan Wungkal dan Taji Gunung
Bersumber dari Prasasti Timbangan Wungkal yang berangka tahun 913 dapat diketahui, Mpu Daksa (Sri Maharaja Daksottama Bahubajra Pratipaksaksaya Uttunggawijaya) merupakan putra Rakai Gurungwangi (cucu Rakai Pikatan) yang menjabat sebagai raja Medang periode Jawa Tengah (910-919) dengan pusat pemerintahan di Poh Pitu. Lebih jauh Prasasti Taji Gunung yang berangka tahun 910 menjelaskan bahwa Mpu Daksa menjabat sebagai raja sesudah melakukan kudeta terhadap kekuasaan Dyah Balitung.


8. Prasasti Ratihang, Lintakan, dan Harinjing
Merunut pada Prasasti Ratihang, Dyah Tulodong telah menikahi Rakryan Layang (putri Dyah Balitung) sebelum menjabat sebagai raja Medang (898-910). Dyah Tulodong yang bergelar Rakai Layang (Prasasti Lintakan, 12 Juli 919) telah mengangkat Mpu Ketuwijaya (Sri Ketudhara Manimantaprabha Prabhusakti) sebagai Rakryan Mapatih Hino dan Mpu Sindok sebagai Rakryan Halu.


Semasa menjabat sebagai raja, Dyah Tulodong membebaskan desa Culangi sebagai daerah bebas pajak. Anugerah ini diberikan pada 12 putra Bhagawanta Bhari yang telah berjasa membangun bendungan pencegah banjir. Berita ini telah dituliskan dalam Prasasti Harinjing yang dikeluarkan pada 19 September 921.


9. Prasasti Culangi dan Wulakan
Prasasti Culangi yang dikeluarkan pada 7 Maret 927 menyebutkan bahwa Dyah Wawa yang memerintah Medang pada 924-028 bergelar Rakai Sumba atau Rakai Pangkaja. Sementara Prasasti Wulakan yang dikeluarkan pada 14 Pebruari 928 menyebut nama Dyah Wawa sebagai putra dari Rakryan Landheyan.


10. Prasasti-Prasasti Warisan Mpu Sindok
Semasa terjadi letusan gunung Merapi yang disertai gempa bumi vulkanik pada sekitar tahun 928-929, Mpu Sindok memindahkan istana Medang dari Poh Pitu (Jawa Tengah) ke Tamlang yang kemudian di Watungaluh (Jawa Timur). Selama menjabat sebagai penguasa pertama di Kerajaan Medang periode Jawa Timur, Mpu Sindok meninggalkan banyak prasasti, antara lain:
-
Prasasti Turyan (929). Prasasti ini berisi tentang permohonan Dang Atu Mpu Sahitya pada Mpu Sindok, agar tanah di sebelah barat sungai desa Turyan dijadikan bangunan suci.
-
Prasasti Linggasutan (929). Prasasti ini berisi tentang penetapan desa Linggasutan sebagai sima swatantra.
-
Prasasti Gulung-Gulung (929). Prasasti ini berisi tentang permohonan Rakai Hujung Mpu Madhura pada Mpu Sindok agar sawah di desa Gulung-Gulung dijadikan sima swatantra.
-
Prasasti Cunggrang (929). Prasasti ini berisi tentang penetapan Mpu Sindok atas desa Cunggrang sebagai sima swatantra.
-
Prasasti Jru-Jru (930). Prasasti ini berisi tentang permohonan Rakai Hujung Mpu Madhura pada Mpu Sindok agar desa Jru-Jru sebagai sima swatantra.
-
Prasasti Waharu (931). Prasasti ini berisi tentang penganugerahan Mpu Sindok pada penduduk desa Waharu yang dipimpin oleh Buyut Manggali.
-
Prasasti Sumbut (931). Prasasti ini berisi tentang penetapan desa Sumbut sebagai sima swatantra.
-
Prasasti Wulig (935). Prasasti ini berisi tentang peresmian bendungan di Wuatan Wulas dan Wuatan Tamya yang dilakukan Rakryan Mangibil (selir Mpu Sindok).
-
Prasasti Anjluka (937). Prasasti ini berisi tentang penetapan Mpu Sindok atas desa Anjluka sebagai sima swatantra.

11. Prasasti Gedangan
Prasasti Gedangan (950) menyebutkan bahwa Sri Isyana Tunggawijaya (raja Medang periode Jawa Timur ke dua) telah menganugerahkan desa Bungur Lor dan Asana pada para pendeta Buddha di Bodhinimba.


12. Prasasti Pucangan
Prasasti Pucangan menyebutkan bahwa Sri Makutawangsawardhana merupakan Sri Isyana Tunggawijaya dan Sri Lokapala. Selain menjelaskan tentang Sri Makutawangsawardhana yang memiliki putri bernama Mahendradatta (ibu dari Airlangga), Prasasti Pucangan pula menjelaskan tentang runtuhnya kerajaan Medang periode Jawa Timur semasa pemerintahan Dhamawangsa Teguh. Runtuhnya kerajaan Medang tersebut kemudian dikenal dengan istilah Mahapralaya.


Catatan Akhir
Pasca peristiwa Mahapralaya (kematian/kehancuran maha dahsyat) yang terjadi pada tahun 1007 atau sebagian sejarawan menafsirkan pada tahun 1016 (sasalancana abdi vadane) tersebut, riwayat kerajaan Medang telah berakhir. Namun melalui prasasti-prasasti yang ditinggalkan, nama kerajaan Medang baik pada periode Jawa Tengah maupun Jawa Timur tetap eksis hingga kini. Disitulah letak kedahsyatan fungsi (makna) prasasti dalam sejarah peradaban manusia.

______________
Daftar Referensi:

-
Muljana, Slamet, 2005, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara, terbitan ulang1968, Yogyakarta: LKIS
-
R. Ng. Poerbotjaraka, 1952, Riwajat Indonesia, djilid 1, Criwijaya de Sanjaya en de Cailandrawamca, BKI
-
Purwadi, 2007, Sejarah Raja-Raja Jawa, Yogyakarta, Media Ilmu
-
Adji, Krisna Bayu dkk, 2011, Ensklopedi Raja-Raja Jawa Dari Kalingga Hingga Kasultanan Yogyakarta, Yogyakarta, Araska
-
http://id.wikipedia.org


Sri Wintala Achmad

Manusia Gua Pawon adalah Moyang Orang Sunda?


Tulang kaki manusia berusia lebih dari 9500 tahun kembali ditemukan di gua Pawon Gunung Masigit, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Minggu (28/7/2013). | KOMPAS.com/PUTRA PRIMA PERDANA
Ekskavasi di Goa Pawon, kawasan karst Gunung Masigit, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, kembali ditemukan tulang manusia goa. Dugaan sementara para arkeolog, manusia goa itu berasal dari masa 9.5000 tahun lalu.

Satu pertanyaan mencuat. Jika terkonfirmasi bahwa manusia goa itu berasal dari masa prasejarah 9.500 tahun lalu, mungkinkah manusia tersebut adalah nenek moyang manusia Sunda modern yang hidup saat ini?

Arkeolog dari Balai Arkeologi (Balar) Bandung, Lutfi Yondri, mengatakan, secara kebudayaan memang ada kemiripan antara manusia Goa Pawon dan manusia Sunda modern saat ini. Salah satunya adalah makanan.

Tutut, sejenis olahan makanan berbahan dasar siput sawah kecil yang menjadi salah satu kuliner khas masyarakat Jawa Barat saat ini. Tutut bahkan menjadi salah satu menu wajib di setiap rumah makan atau restoran Sunda.

Pada penggalian Goa Pawon selama beberapa tahun ke belakang, Lutfi selalu menemukan fosil-fosil dari sampah makanan berupa cangkang moluska, seperti siput dan kerang. Hal ini menjadi indikasi bahwa manusia Goa Pawon juga memakan golongan siput dan kerang.

”Kalau makan tutut mungkin saja karena di sini kita menemukan kerang, siput, dan lancipan untuk mengeluarkan isinya. Tapi, orang Sunda makan tutut dengan cara diseruput bukan dicongkel,” tutur Lutfi yang ditemui Kompas.com di sela penggalian, Rabu (31/7/2013).

Lutfi mengaku masih bertanya-tanya tentang kaitan manusia Goa Pawon dan manusia Sunda saat ini. Ia berharap ada bahan perbandingan yang kuat agar bisa membuktikan benar atau tidaknya hal itu.

”Kemarin Fakultas Kedokteran Gigi Unpad sudah membandingkan bagaimana gigi geraham manusia Pawon dan manusia modern serta seberapa jauh perubahan-perubahannya. Mereka juga melihat keausan tulang rahang. Hasilnya menunjukkan perbedaan dan ada perubahan perilaku masyarakat sekarang dan dahulu,” ujarnya.

Lutfi mengatakan, perlu penelitian berupa sinkronisasi DNA untuk membuktikan apakah manusia prasejarah Goa Pawon memang benar merupakan nenek moyang orang suku Sunda. ”Itu nanti penelitian DNA yang membuktikan. Dari gigi yang cukup kuat bisa diambil DNA dan dirunut garis keturunannya,” kata Lutfi. Editor : Yunanto Wiji Utomo

Selasa, 30 Desember 2014

Ulama Murji’ah , Ulama Yang Ajarkan Agama Sesuai Keinginan Penguasa

ulama ulama-an

Dikutip dari buku Da’wah Al-Muqawwamah Al-Islamiyyah Al-‘Alamiyyah’ atau Perjalanan Gerakan Jihad (1930 – 2002) Sejarah, Eksperimen, dan Evaluasi.
***
Doktrin Murji’ah muncul bersamaan dengan kemunculan ulama penguasa, yaitu saat sistem monarki lahir dan sistem khilafah lenyap. Di sini, terjadi pemisahan antara penguasa dan Alquran.
Akidah menyimpang ini secara ringkas bisa digambarkan bahwa iman adalah pembenaran dengan hati dan pernyataan dengan lisan saja. Para penganut doktrin ini tidak memasukkan amal dari bagian makna iman.
Mereka berkata: iman adalah pembenaran dan kemaksiatan tidak akan membahayakan iman. Barangsiapa yang mengucapkan kalimat syahadat ‘laa ilaaha illallah’ kami hukumi Islam, tanpa peduli apa yang ia katakan atau perbuat setelahnya.
Mereka mengesampingkan semua kaidah nawaqidhul iman (hal-hal yang membatalkan iman) yang diterangkan oleh Al-Quran, Sunnah, dan pendapat-pendapat fuqaha yang terpercaya.
Ibnu Asakir meriwayatkan melalui jalur An-Nadhar bin Syumail, berkata, “Saya masuk ke tempat Al-Ma’mun, lalu dia bertanya, ‘Bagaimana kabarmu pagi ini, wahai Nadhar?’ Saya menjawab, ‘Baik-baik saja, wahai Amirul Mukminin.’ Dia bertanya lagi, ‘Apakah Murji’ah itu?’ Saya menjawab, ‘Murji’ah adalah agama yang menyesuaikan para raja. Mereka mendapatkan kekayaan dunia dengan agama dan mengurangi agama mereka.’ Al-Makmun berkata, ‘Kamu benar.’”
Para fuqaha kerajaan mengambil doktrin tersebut hingga para ulama peneliti mengistilahkan mazhab Murji’ah sebagai agama (keyakinan) yang disukai para raja. Menurut mazhab ini, para penguasa tetaplah muslim, mereka waliyyul amr (pemegang urusan kita) yang berhak ditaati, walaupun mereka merampas harta dan mencambuk punggung kita. Umat ini tetap harus berkata, “Kami ridha.” Ya, mereka tetap muslim, walaupun mengambil harta rakyat dan mencambuk punggung.
Fuqaha kerajaan itu lebih melonggarkan lagi kepada mereka dengan tambahan; walaupun para penguasa melecehkan harga diri dan menumpahkan darah kita; walau mereka berteriak dengan kata dan perbuatan seperti para pendahulunya sesumbar, ‘Dan Fir’aun berseru kepada kaumnya (seraya) berkata, ‘Hai kaumku, bukankah kerajaan Mesir ini kepunyaanku dan (bukankah) sungai-sungai ini mengalir di bawahku; maka apakah kamu tidak melihat(nya)?” (Az-Zukhruf: 51)
Walaupun, para penguasa tersebut terang-terangan mengatakan ketidakcocokan hukum syariah untuk zaman sekarang. Walaupun mereka mengangkat pelindung dari musuh-musuh Allah. Walau mereka berperang dan memberangkatkan tentara untuk berperang di bawah panji-panji Yahudi dan Nasrani untuk membunuh muslimin. Dan walau…walau… yang lain.
Fuqaha kerajaan itu beralasan: bukankah penguasa tersebut menunaikan shalat Idul Fitri dan Idul Adha? Bukankah dia merayakan maulid nabi? Bukankah dia berzina dengan alibi nikah mut’ah yang dibolehkan oleh sebagian fuqaha? Bukankah ketika penguasa menelanjangi muslim dan muslimah yang bukan budak di berbagai penjara dan menyiksa mereka ada dalilnya, yaitu perkataan Ali kepada utusan Hatib bin Abu Balta’ah, “Keluarkan suratmu atau kami akan menelanjangimu?”
Bukankah penguasa boleh membunuh sepertiga rakyatnya agar dua pertiga rakyatnya menyerah kepada dirinya. Semuanya itu ada dalil-dalilnya menurut anggapan para ulama palsu saat ini. Mazhab Murji’ah ini karena begitu longgarnya, berisikan para Musailamah tukang bohong!
Demikianlah, Imamul Ulama, Ibnu Utsaimin melakukan pengembangan dari mazhab Murji’ah dengan mengatakan -sungguh, apa yang dikatakannya adalah pendapat yang hampir-hampir bumi pun pecah dan gunung pun runtuh karena begitu tidak masuk akalnya-, “Katakan, andai penguasa itu dihukumi kafir, apakah itu berarti kita harus ikut mengobarkan kemarahan orang terhadap penguasa hingga terjadi pembangkangan, chaos dan peperangan? Tentu saja tindakan itu salah.”
Agar orang tidak salah memahami bahwa yang dia maksud adalah penguasa di negaranya –karena menurut Ibnu Utsaimin, mereka masih berhukum dengan syariat Islam, alhamdulillah- maka Ibnu Utsaimin menjelaskan, “Seandainya penguasa di negara lain menjadi kafir, tetap saja tidak boleh keluar (memberontak)…”
Ucapannya yang seperti itu menantang pernyataan Alquran yang sharih (jelas), Sunnah yang shahih, dan ijma’ umat! Kemudian, Syaikh Al-Albani mengadopsi aliran kontemporer lain dalam kerangka mazhab Murji’ah, ia berkata, “Keluar (membangkang) penguasa pada masa sekarang ini sama saja keluar dari Islam itu sendiri.” Al-Albani bersaksi para penguasa Saudi Arabia itu tetap dalam keislaman mereka.
Selanjutnya, pembohong lain yang disebut sebagai mufti Agung Pakistan, Rafi’ Utsmani berkata, “Orang-orang yang terbunuh karena membela diri melawan serangan tentara pemerintah Pakistan bukanlah syuhada!” Rafi’ Utsmani membantah hadits Rasulullah, “Barangsiapa terbunuh membela hartanya, keluarganya, atau darahnya, atau agamanya, maka dia mati syahid.” (HR Abu Daud: 4774)
Rafi’ Utsmani juga menyatakan bahwa orang-orang Amerika dan kaki tangannya termasuk musta’man (non muslim luar yang dijamin keamanannya karena adanya perjanjian tertentu) sekaligus dzimmi (non muslim yang tinggal di negara Islam yang harus dilindungi harta, jiwa, dan kehormatannya selama mau membayar pajak), tidak boleh diganggu di Pakistan atau di negara mereka.
Rafi’ juga mencabut fatwa sebelumnya yang membolehkan operasi istisyhad (bom berani mati syahid). Ia berkata, “Kita tidak terbebani wajib jihad, kecuali apabila pemerintah (Presiden Musyarraf) menyerukannya.”
Ini seperti kasus ketika Dhiyaul Haq menyerukan jihad melawan Rusia. Mufti berkata, barangsiapa bertempur bersama Amerika melawan kaum muslimin, dia hanya berdosa saja dan tidak kafir dan bahwa berhukum dengan selain hukum Allah itu berdosa, namun tidak mengeluarkan dari Islam. Paling banter itu adalah kufur kecil.
Itulah yang kebanyakan terjadi pada para imam dakwah dan ilmu agama dari kelompok Murji’ah modern pada masa sekarang ini, baik yang sudah mangkat atau pun yang masih hidup dan berbuat demikian.
Hal yang patut digarisbawahi mengenai aliran politik Murji’ah adalah, mereka mau bertenggang rasa pada perilaku para raja dan penguasa, tetapi mereka tidak mau bertenggang rasa pada aksi para mujahid dan aktivis dakwah yang istiqamah. Mereka berani menghukumi para mujahidin sebagai anjing-anjing penghuni neraka! Mereka itu harus dibunuh, disalib, dipotong silang tangan dan kakinya, serta harus diusir dari tempat kediamannya di dunia ini.
Aliran Murji’ah ini mempertanyakan, “Bagaimana mujahidin membunuh Nasrani yang duduk di negeri kita dengan izin dari penguasa kita sehingga dia telah menjadi musta’min dan mu’ahid! Bagaimana boleh para penjahat dari orang-orang yang menyerukan jihad itu lalu menumpahkan darah salibis yang ‘suci’! Bagaimana boleh mereka melanggar jaminan keamanan penguasa murtad yang memberinya hak aman?”
Satu catatan aneh dan mengherankan dari fenomena aliran Murji’ah politik adalah bahwa para pemimpin mereka dari ekstrin tasawuf hingga yang disebut ekstrim salafi, atau Asy’ari, Maturidi, dan aliran Ahli Hadits memiliki pandangan yang berbeda-beda tentang zat, asma, dan sifat Allah.
Namun subhanallah, mereka justru sepakat dalam hal keislaman penguasa (murtad), nama-nama, dan sifat-sifatnya, seperti yang terjadi di Maroko dan Pakistan, yang aliran ini eksis di sana. Aliran Murji’ah politik ini mau bersikap longgar kepada raja di bumi, tapi tidak mau bertenggang kepada Raja langit dan bumi serta isinya.
Penulis tampaknya tidak menemukan justifikasi bagi fenomena mazhab ini ketika mereka memilih dunia politik dan aktivitas demokrasi, kecuali dengan menggolongkan mereka sebagai bagian dari al-mala’ (kroni-kroni). Sebab, mereka akan masuk kedalam parlemen (institusi yang membuat hukum selain hukum Allah) dan masuk pemerintahan (institusi yang menerapkan hukum selain hukum Allah). Lantas, bagaimana mereka kemudian mengingkari penguasa, sedangkan mereka sudah masuk dalam golongan, sekutu, dan kroninya?
Lalu, apa solusinya? Solusinya adalah dengan tidak masuk kedalam institusi-institusi tersebut atau dengan menyatakan keislaman penguasa tersebut! Dan ternyata mereka lebih memilih yang mudah dan enak, yaitu menyatakan keislaman penguasa murtad yang menantang Allah dengan perang dan permusuhan, serta mencabut hak paling khusus Allah berupa uluhiyah.
- Syeikh Abu Mus’ab Assuri-

Bangunan Masjid Pertama di Jerman

Walaupun diperkirakan kedatangan umat islam di Jerman sudah ratusan tahun yg lalu, ternyata bangunan mesjid yg pertama secara resmi baru ada di tahun 1915. Sebelum adanya bangunan tsb memang sudah ada bentuk-bentuk bangunan lama berumur ratusan tahun yg menyerupai mesjid, tapi tidak difungsikan seperti mesjid biasa yg dipergunakan bagi umum.
http://www.berlin-lodge.de/img/ortsseiten/wilmersdorfer-moschee.jpg
Wilmersdorf moschee..
Di Wünsdorf und Zossen, 80 km sebelah selatan Berlin pada tahun 1915 di masa kekaisaran Jerman sempat dibangun sebuah mesjid bagi para tawanan perang yg beragama islam. Dengan dibangunnya mesjid pada tgl 13 Juli 1915, para tawanan diberi kesempatan untuk melakukan ritual keagamaannya sebagai bentuk “perlakuan baik”.
Bangunan sederhana dengan menggunakan kayu tsb akhirnya dirobohkan thn 1920 karena mengalami kerusakan. Atas inisiatif para pelajar yg tergabung di AAIIL, organisasi ahmadiyah islam Lahore, tahun 1924 mereka mengumpulkan dana dari anggota2 dan simpatisannya merenovasi bangunan tsb. Sejak saat itu kepemilikan masjid berada pada organisasi tsb.

suasana kotbah thn 1931..
Pada waktu itu keberadaan masjid ahmadiyah tsb sempat menjadi perdebatan dan konflik antara AAIIL organisasi yg berdiri tahun 1922 ini, dengan organisasi para pelajar muslim lainnya. Konflik akhirnya mencapai kesepakatan bahwa masjid yg berada di Wilmersdorfer digunakan untuk semua muslim dari segala bangsa, walau kepemilikan tetap ada di organisasi ahmadiyah tsb sampai sekarang ini. Nama masjid pun dikenal sesuai nama tempatnya masjid Wilmersdorfer selain nama masjid Ahmadiyah.
Bangunan mesjid yg terinspirasi dari bangunan Taj Mahal di India tsb dibangun atas rancangan arsitek dari Berlin, K. A Hermann. Pembangunan memakan waktu sekitar 3 tahun dan secara resmi dibuka tgl 23 Maret 1928.

Imam Muhammad Abdullah..
Semasa perang dunia kedua, bangunan masjid sempat mengalami kerusakan. Untuk merenovasinya kembali sumbangan dari anggota AAIIL seluruh dunia terutama dari Amerika berdatangan. Sejak tahun 1993 masjid tsb terdaftar termasuk sebagai bangunan cagar budaya yg dilindungi. Bangunan utama berikut menara pun dibangun kembali tahun 1996. Pemerintah daerah beserta organisasi Berlin Monument Authority, German Fondation for Monument dan perwakilan masyarakat di Amerika membiayai proyek senilai waktu itu 800. ooo Mark.
Hingga saat ini diperkirakan sudah lebih 1200 masjid yg ada di seluruh wilayah Jerman dan antara 3.8- 4.3 juta penduduknya memeluk agama islam. Walaupun mereka dari berbagai macam aliran tetapi bisa hidup rukun dan damai, belum pernah terdengar konflik diantara mereka.
sumber dan gambar,
http://www.berlin-lodge.de/img/ortsseiten/wilmersdorfer-moschee.jpg
http://de.wikipedia.org/wiki/Wilmersdorfer_Moschee

Elde