Senin, 29 Desember 2014

Bahasa Austronesia Sumber Asli Bahasa Dunia dan Awal Mula Penyebaran

Pengantar
Bahasa adalah anak kandung peradaban. Ia tak sendirian, maka ia memiliki banyak saudara yang terlahir dari “rahim bunda” peradaban. Bahasa sejatinya merupakan penanda identitas suatu kaum. Bahkan tak semata penanda, melainkan juga sebagai anasir utama pembentuk karakter normatif sebuah komunitas bangsa. Menelusuri jejak sejarah bahasa, kita akan dipertemukan dengan realita keajaiban silang budaya yang mampu menggelora meretas ruang dan waktu. Pada jejak sejarah itulah, kita menemukan makna tentang hakekat ke-bangsa-an yang sejatinya serumpun. Fakta tentang multikultural dan perjumpaan lintas budaya, memberi kejelasan hikmah tentang “pesan dari masa silam” yang musti dirawat dalam suasana ke-kini-an. Demikian dua alinea Pengantar oleh Roedy Haryo Widjono di Wall Facebook-nya pada 14 Mei 2012 pukul 16:20, dalam mengawali Catatan/tulisannya tentang AURA BAHASA DI JEJAK SILANG BUDAYA (1).

Roedy Haryo Widjono memaparkan bahwa bahasa Austronesia adalah rumpun bahasa yang penyebarannya amat luas, mulai dari Taiwan dan Hawaii di ujung utara, sampai Selandia Baru di ujung selatan dan dari Madagaskar di ujung barat, sampai Pulau Paskah/Rapanui di ujung timur. Secara harafiah, Austronesia berarti “Kepulauan Selatan” berasal dari bahasa Latin: Austrālis yang berarti selatan dan bahasa Yunani: nêsos (jamak: nesia) yang berarti pulau. Sedangkan istilah Austronesia mengacu pada wilayah geografis yang penduduknya menuturkan bahasa-bahasa Austronesia (Bandingkan Stephen Oppenheimer dalam bukunya “EDEN IN THE EAST The Drowned Continent of Southeast Asia” 1998, diindonesiakan “EDEN IN THE EAST, SURGA DI TIMUR, Benua yang Tenggelam di Asia Tenggara” 2010, hal 169). Wilayah itu meliputi Pulau Formosa, Kepulauan Nusantara, Filipina, Mikronesia, Melanesia, Polinesia, dan Pulau Madagaskar. Sebenarnya bahasa Jawa di Suriname dan bahasa Melayu di pesisir Sri Langka juga termasuk rumpun Austronesia.
Fakta tentang multikultural dan perjumpaan lintas budaya melalui bahasa, memberi kejelasan hikmah tentang “pesan dari masa silam” yang musti dirawat dalam suasana ke-kini-an. Tertelusuri dari Taiwan dan Hawaii di ujung utara, sampai Selandia Baru di ujung selatan dan dari Madagaskar di ujung barat, sampai Pulau Paskah/Rapanui di ujung timur, mencakup wilayah yang meliputi Pulau Formosa, Kepulauan Nusantara, Filipina, Mikronesia, Melanesia, Polinesia, dan Pulau Madagaskar. Termasuk bahasa Jawa di Suriname dan bahasa Melayu di pesisir Sri Langka. Terkonfirmasi melalui “Atlantis, Kekaiseran Tempo Dulu yang Maha luas” dari peta Leo Frobenius (1873- 1938), sebagai wilayah awal penuturan bahasa Austronesia yang direproduksi oleh Arysio Santos dalam bukunya ATLANTIS The Lost Continent Finally Found, The Definitive Localization of Plato’s Lost Civilization (2005), diIndonesiakan (2009) plus subjudul: INDONESIA TERNYATA TEMPAT LAHIR PERADABAN DUNIA, hal. 256. Wilayah tersebut sebagai indikasi dalam penulisan ini, yang kelak membantu peneguhan ke arah pembuktian sekaligus mendukung penegasan Stephen Oppenheimer tentang asal Gen Asli dan sumber asal Bahasa Austronesia sebagai Bahasa Dunia di wilayah Nusa Tenggara-Maluku (bab 2 hal. 53-96 dan bab 5 hal. 191-244).
Dalam kajian F.A.E. van Wouden melalui Disertasi yang dipertahankan di Universitas Lei den Negeri Belanda, dalam judul: Structuurtypen in de Groote Oost(1935), diindonesiakan: KLEN, MITOS, DAN KEKUASAAN, Struktur Sosial Indonesia Bagian Timur (1985) mengistilahkan Dualisme Kosmos untuk Langitdan Bumi, sedangkan Dualisme Fungsi Sosial untuk peran Laki-laki (Langit) dan peran Perempuan (Bumi). Dualisme peran ini saling memotong, yakni vertikal danhorinsontal menurut Van Wouden, yang oleh Arysio Santos menyebut dengan Salib Atlantis. Simbol Salib Atlantis sebagai keyakinan purba (hal.126-128, 162-278). Hasil elaborasi dari gagasan Filosof besar Plato tentang Tata Peradaban Sipil yang sudah sangat maju (Atlantis yang hilang).
Pencermatan kami, bahwa sampai kekinian Simbol Salib Atalantis itu terpraktekan dalam Peradaban Lamaholot di Nusa Tenggara Timur dengan sebutan LewoTanah. Tentang Lewotanah sebagai Peradaban Lamaholot (Kepulauan Solor: Adonara,Solor, Lembata) di Nusa Tenggara Timur, tidak lain merupakan replika Salib Atlantis itu, sesungguhnya Peradaban/keyakinan Dataran Tengah=POROS (NTT, NTB, MALUKU, SULAWESI). Terpahami dalam Peta Purba Indonesia, yang menempatkan wilayah-wilayah ini dalam satu DATARAN TENGAH (POROS). Sedangkan Dataran Sunda (JAWA, BALI, KALIMANTAN, SUMATRA yang menyatu dengan Benua ASIA) itu BARAT. Berikut Dataran Sahul (Kepulauan Aru, Papua/Irian menyatu dengan Benua AUSTRALIA) itu TIMUR (Garis Wallace-Weber). Bandingkan dengan Peta buatan Dr. Harold K. Voris, Kurator dan Kepala Departemen Zoologi pada Field Museum, Chicago, Illinois, termuat dalam Arysio Santos hal. 104 dan 150.
Melalui data tertulis yang dijadikan kajiannya, van Wouden terkesima dengan Ciri-ciri Utama Sistem Sosio-Kekerabatan (hal. 82-92), yang terbentuk dari filosofi Dualisme Kosmos dalam pra ktek Kepemimpinan Purba dengan Dualisme Fungsi Sosialyang mewujud menjadi Trinitas Kepemimpinan Purba (hal.25-81). Terkesima karena Trinitas Kepemimpinan (dalam Peradaban Lamaholot dikenal:KEPUHUNEN=POROS, TARAN NEKI=PILAR TIMUR, TARAN WANAN=PILAR BARAT) itu ternyata menyebar dalam daerah yang luas, satu sama lain saling berhubungan. Terbentang dari Pulau Timor, Pulau Sumba, Pulau Sabu, Pulau Rote dan Pulau Flores sampai ke Kepulaun Kai dan Tanimbar, serta juga mencakup Pulau Seram dan Pulau Ambon.
Lokasi Poros Surga menurut Arysio Santos dan Oppenheimer
AWAL MULA (awal mula penciptaan)=PERADABAN, masih natural-alamiah=ALLAH.Di era dominasi Peradaban ini dikenal dengan ATLANTIS LEMURIA.Jadi peradaban yang mendominasi di era Atlantis Lemuria, yang berakhir sekitar 80 ribu-70 ribu tahun lalu Seb. Masehi. Salah satu substansi ini yang menjadi kecondongan kajian dalam buku TAMAN EDEN DI TIMUR, karya Oppenheimer. Kemudian berkembang kearah ATLANTIS SANG PUTRA, sebagai era KEBUDAYAAN yang mencondongkan karya berbagai manusia Atlantis dan kehancuran-nya di 11.000 tahun lalu Seb.Masehi sebagai banjir Nabi NUH, yang kemudian mengembangkan berbagai REPLIKA ATLANTIS di seluruh dunia sampai kekinian, yang menjadi kecondongan pembuktian pembahasan Arysio Santos dalam bukunya INDONESIA PUSAT PERADABAN DUNIA. Replika-replika Atlantis, kemudian secara sporadis berkembang di seluruh belahan dunia di era 5000 – 4000 tahun lalu Seb. Masehi sampai kekinian dan akan datang.
Kerangka sejarah perubahan global di atas, yang oleh Arysio Santos menyebut dengan SALIB ATLANTIS, sebagai elaborasi dari pendapat filsuf Plato tentang sebuah TATA PERADABAN TINGGI MASYARAKAT SIPIL di DUNIA yang menjadi IBU KANDUNG PERADABAN DUNIA. Salib Atlantis: bermakna teknis cross/persilangan LEMURIA (atlantis Lemuria)/PERADABAN dengan Sang PUTRA (Atlantis Sang PUTRA)/KEBUDAYAAN. Artinya persilangan PERADABAN dengan KEBUDAYAAN=SALIB ATLANTIS.
SALIB ATLANTIS: replika-nya di INDIA: sepasang pilar di Timur dengan sepasang pilar di Barat, dengan pilar ke 5 itu Poros. Di Mesir: dengan PIRAMIDA, di YUNANI: Logika-Etika-Estetika. Di Romawi dengan SALIB KRISTUS. Di ARAB dengan BULAN-BINTANG. Kerangka SALIB ATLANTIS ini sampai sekarang pada suku bangsa LAMAHOLOT di NUSA TENGGARA TIMUR mempraktekan dengan sebutan LEWOTANAH: yang merupakan keyakinan purba suku bangsa KEPULAUAN MATAHARI (SOLOR) yang mencakup NUSA TENGGARA TIMUR-MALUKU, dikaji/dibuktikan oleh Van Wouden . Kemudian dibuktikan juga oleh Oppenheimer dalam bukunya SURGA DI TIMUR 1998, melalui kajian GEN, dan juga sumber asli bahasa dunia itu AUSTRONESIA yang berasal dari wilayah di maksud. Hal itu jauh-jauh hari juga telah dibuktikan oleh garis Wallace-Weber melalui penyebaran Flora-Fauna, maka wilayah yang di maksud sebagai penyebaran ke BARAT yakni Dataran SUNDA (Dataran Jawa Purba-Asia, juga penyebaran ke TIMUR yakni Dataran SAHUL (Irian).
Maka opini publik tentang DUNIA LAMA sebelum ditemukan AMERIKA dan AUSTRALIA sebagai DUNIA BARU, menempatkan POROS itu di Wilayah NUSA TENGGARA-SULAWESI-MALUKU. Kemudian BARAT di Dataran SUNDA (Dataran Purba JAWA), TIMUR di Dataran SAHUL (Pulau IRIAN dan skitar-nya).
Untuk menelusuri itu, Arysio Santos menggunakan kerangka sbb:
Siklus peradaban dunia yang hilang (tenggelam), akibat belebo lebo atau tahik wai gere (dapat teriktisarkan dari karya Arysio Santos (Bandingkan hal 96 s/d 100 dan hal 578 s/d 583) sebagai berikut: Siklus Peradaban Dunia 1: Bencana tsunami maha dasyat diakibatkan oleh meletusnya gunung Toba yang terjadi pada kurang lebih 75.000 tahun sebelum Masehi. Mengakibatkan gunung Toba menyisakan kaldera sangat luas yang berupa danau Toba saat ini. Peradaban pra tsunami ini kemungkinan besar yang diceritakan dalam episode Ramayana. Siklus Peradaban Dunia 2: Bencana tsunami maha dasyat diakibatkan oleh meletusnya gunung Krakatau yang mengakhiri jaman es pada kurang lebih 11.000 tahun sebelum Masehi. Mengakibatkan gunung Krakatau tenggelam dan hanya kelihatan puncaknya di Selat Sunda saat ini. Peradaban pra tsunami ini kemungkinan besar yang diceritakan dalam episode Mahabharata. Siklus Peradaban Dunia 3: Bencana tsunami maha dasyat diakibatnya mencairnya es di puncak gunung Himalaya yang terjadi sekitar 3.000 tahun sebelum Masehi yang mejadikan peta India dan Indonesia seperti saat ini. Periode rekonstruksi peradaban yang hilang yang menjadi Indonesia seperti saat ini. Periode rekonstruksi peradaban yang hilang yang menjadi peradaban yang ada seperti sekarang ini.
Berikut Arysio Santos menegaskan berbagai Replika Salib Atlantis yang berkembang:
Tergolong dalam exodus awal ini adalah bangsa Yahudi, Funisia, Arya, bahkan bangsa Indian Amerika, semuanya terusir dari tanah leluhur mereka di Indonesia dan Asia Tenggara. Awalnya berusaha menetap di India dan Asia Tenggara, namun kemudian terdesak dan pindah ke Cina dan Mongolia, serta tempat-tempat yang sekarang mereka diami, dengan mewariskan peradaban-peradaban besar dari zaman purba: seperti peradaban bangsa Indian-Amerika, Mesir, Yunani, Minoan, Mesopotamia, Misenia, Lembah Sungai Indus, dsbnya (hal, 152 dan 153).
Exodus massal demikian, sama dengan migrasi yang diberitakan di Injil (Kitab Keluaran) dan di Kitab-Kitab Suci serupa dari berbagai bangsa di dunia. Mereka adalah legenda yang berhubungan dengan pahlawan-pahlawan mistis, seperti Aeneas yang memimpin bangsa Romawi, Herkules yang memimpin sekawanan ”gembalaan” Yunani-nya, Inca yang memimpin orang-orangnya, dsnya. Berkenaan juga dengan kisah terusirnya Adam dari Surga, kedatangan Quetzalcoatl di Meksiko, Viracocha dan kedatangan bangsa Inca ke Peru, bangsa Fomoria dan Tuatha De Danaan yang menyerbu Inggris, Nuh dengan Bahtera penyelamatan, Musa yang memimpin bangsa Israel exodus dari Mesir, dsbnya. Legenda-legenda dimaksud tidak melupakan pahlawan-pahlawan Wanita atau Dewi-Dewi seperti: Venus, Demeter, Dana, Danu, Cybele, Vesta, Hathor, Isis, Ishtar, Shri, Astarte, Hecate, Myriam, dsbnya (hal. 154).
Kalau kajian Arysio Santos menempatkan lokasi Surga yang hilang di Indonesia berada di dataran Jawa Purba (kekinian perairan laut antara Jawa-Sumatra-Kalimantan) hal.433-554 , maka dalam kajian Oppenheimer berhubungan dengan exodus massal, menempatkan posisi Nusa Tenggara-Maluku sebagai awal mula penyebaran manusia di dunia,  yang sekalian menyebarkan sumber asli bahasa dunia, yakni Bahasa Austronesia (bab 2 hal. 53-96 dan bab 5 hal. 191-244).
Bukankah Manusia dan Bahasa itu diciptakan ALLAH, TUHAN sesuai rupaNYA? Manusia=Tanah Ekan=Surga Empiris, sedangkan Allah/Tuhan=Rerawulan=Surga Positivis. Itulah SURGA=LEWOTANAH bagi Suku Bangsa Lamaholot di Nusa Tenggara Timur (symbol Kepulauan Matahari/Solor Purba: Nusa Tenggara-Sulawesi-Maluku), Indonesia, Timur Terjauh Duniahttp://filsafat.kompasiana.com/2012/08/01/lewotanah-surga-positivisme-surga-empirisme-bangsa-lamaholot-simbol-kepulauan-matahari-purba-nusa-tenggara-maluku/. Sekaligus menjadi penandasan pembuktian Arysio Santos, bahwa Atalantis Yang Hilang dengan Salib Atlantis sebagai Peradaban Bangsa Atlantis, merupakan Ibu Kandung Peradaban Dunia, sesungguhnya adalah wilayah Bangsa Indonesia sekarang, ufuk Timur Terjauh Dunia, belahan Paling Selatan Garis Khatulistiwa arahTenggara (hal.306-311). Disebutkan oleh Filosof Plato sebagai sebuah Peradaban Tinggi Masyarakat Sipil yang menjadi Ibu Kandung Peradaban Dunia, dielaborasi oleh Arysio Santos sebagai SALIB ATLANTIS, sedangkan oleh Oppenheimer sebagai TAMAN EDEN di Timur.
Bahasa Austronesia dan Awal Mula Penyebaran dalam kajian Oppenheimer
Pembuktian Oppenheimer bahwa: ”Di sini di Indonesia Timur, ini mempunyai rasio 20% antara para penutur Austronesia maupun non-Austronesia di Nusa Tenggara dan Kepulauan Maluku, yaitu Alor, Flores, Hiri, Ternate dan Timor. Motif Polinesia absen lebih jauh ke barat di Indonesia, Filipina, Malaysia, dan Indo-Can. Keberagaman varian motif Polinesia juga tersebar di Maluku dan Nusa Tenggara, mengusulkan para leluhur dari populasi-populasi terasing itu sebagai situs asal-usulnya”. …Martin Richards dari laboratorium Oxford University memperkirakan ulang waktu asal-usul motif pada orang-orang Indonesia Timur dan memperoleh angka sekitar 17.000 tahun lalu.Distribusi motif Polinesia tampaknya membangun semacam jembatan genetis antara wilayah linguistic Oseania ke timur dan Indonesia Timur Tengah bertutur Melayu-Polinesia ke barat, tapi juga mengusulkan sebuah titik permulaan yang berbeda dan waktu asal-usul ke kereta (baca: penyebaran, pen) Austronesia pertama ke Oseania. Motif Polinesia yang diduga dipegang oleh para wanita Austronesia datang dari Asia Daratan, dan meninggalkan Asia Tenggara 3.500 tahun lalu, malah mempunyai cap Maluku local yang berpenanggalan 17.000 tahun lalu, dan tidak ada tempat asal yang dekat di mana pun ke barat Garis Wallace, apalagi di Filipina, Taiwan, atau Cina. Tidak hanya motif Polinesia terbatas kepada wilayah-wilayah Wallacia yang tertutup sampai ujung Papua Barat, tetapi sebagaimana di Papua Nugini daratan ini menduga penanda Austronesia lagi-lagi secara seimbang tercampur kepada pulau-pulau bertutur non-Austronesia juga, maka mendukung bukti genetis bagi keantikan yang jauh lebih besar (hal.276).
Menurut Oppenheimer, bahwa deduksi pertama dari gambaran ini adalah bahwa orang-orang Polinesia tidak baru-baru ini berasal dari Melanesia, Cina, Taiwan, atau Filipina, tapi kemungkinan mereka berasal dari Sulawesi di Indonesia Timur. Orang-orang Melanesia mempunyai penanda-penanda genetis yang sama secara eksklusif dengan orang-orang Asia Tenggara dan tidak dengan Melanesia. Penanda-penanda ini lebih jauh lagi mendukung pendapat tentang sebuah penyebaran orang-orang Polinesia keluar dari sebuah populasi Indonesia Timur local (hal.279). Menempatkan semua bukti kerangka dan mtDNA bersama-sama, model yang paling sederhana bagi perluasan Polinesia akhir 3.500 tahun lalu adalah bahwa ini muncul dari sebuah populasi Indonesia Timur yang telah ada sebelumnya, bergerak dengan cepat ke timur, lewat pulau Admiralties, melewati daratan Papua Nugini Utara tapi mengambil beberapa agen Melanesia sebelum tiba di Samoa. Hal ini merupakan model yang sama seperti telah ditemukan dari gabungan arkeologi dan linguistic (bab 2 hal. 53-96 dan bab 5 hal. 191-244).
Sudut pandang sebuah asal-usul Indonesia Timur local berusia 17.000 tahun bagi motif Polinesia yang dibawa oleh orang, para penutur Austronesia ke Pasifik sekarang mulai membantu tersingkap misteri negeri asal Austronesia (hal. 280). Motif Polinesia tiga kali (baca: gen nenek, ibu, anak, pen), meskipun dibatasi terutama untuk para penutur Melayu-Polinesia dan Oseania, masih terhubung dengan penghapusan 9-bp Asia Tenggara lainnya, tapi pada lebih dari satu pembuangan. Kajian tentang ketiga situs subtitusi ini mengungkap bahwa mereka membentuk sebuah garis maternal Asia yang berurutan. Yang pertama dari tiga substitusi ini mungkin terjadi setelah penghapusan 9-bp, dan sebelumnya terbawa ke Amerika. Perkiraan-perkiraan bagi dua peristiwa mutasi ini kembali sebanyak 60.000 tahun. Subtitusi pertama yaitu nenek Asia, adalah bentuk dominan penghapusan 9-bp di antara penduduk asli Amerika sekarang, dan tersebar luas dan lazim di seluruh Asia Tenggara. Mungkin ini berasal dari antara para leluhur orang-orang Pribumi bertutur Orang Asli Austro-Asiatik di Asia Tenggara, semuanya hari ini mempunyai jenis nenek Asia substitusi pertama, tanpa varian-varian berikutnya. Meskipun demikian, nenek Asia juga bisa telah muncul lebih jauh ke utara di sepanjang pantai Cina Selatan 60.000 tahun lalu (hal. 281).
Subtitusi pertama di keluarga ini memproduksi varian dua.Varian kedua telah menyebar ke seluruh Cina Selatan, Kepulauan Asia Tenggara, dan Oseania, bahkan India Selatan. Maka inilah yang paling luas tersebar di antara ketiga varian di Asia Tenggara. Varian kedua ini sebagai ibu Asia Tenggara. Frekuensi tertingginya adalah di antara para Pribumi Taiwan, dan atas dasar ini, digabungkan dengan keberagaman yang tinggi, sehingga seorang ahli genetika Amerika yang bernamaTerry Melton mengusulkan sebuah asal-usul Taiwan bagi ibu Asia Tenggara dari leluhur maternalnya, yaitu nenek Asia Tenggara. Masalah dengan hipotesis ini adalah beberapa populasi Pribumi Taiwan, seperti Ami, tidak mempunyai bingkai nenek Asia yang mendahului (hal. 281) yang malah umum di Asia Tenggara dan seluruh Amerika. Gambaran setengah-setengah seperti itu lebih mengusulkan bahwa Taiwan adalah tempat penerima, daripada asal-usul ibu Asia Tenggara. Kelahiran ibu Asia Tenggara dari nenek Asia-nya ditempatkan pada 30,000 tahun lalu. Angka ini sangat spekulatif sesuai dengan perkiraan-perkiraan terawalnya Johanna Nichols untuk awal penyebaran-penyebaran bahasa mengelilngi Cincin Pasifik. Apa pun penanggalan asli kelahiran ibu Asia Tenggara , ini terjadi jauh sebelum tanggal yang didalilkan bagi kedatangan orang-orang Austronesia ke Taiwan dari Cina 7000 tahun lalu, maka tidak bisa digunakan sebagai argument untuk jalur itu.
Penutup
Bahasa Austronesia sebagai Rahim Bunda Peradaban Dunia menjadi suatu hal yang tidak terbantahkan. Bermula di wilayah Nusa Tenggara-Maluku (Baca: Kepulauan Solor Purba/Matahari) seperti ditandaskan Oppenheimer, dengan menggugurkan wilayah yang lain seperti di Taiwan maupun Philipina. Oppenheimer menunjuk jalur awal penyebaran dengan mencermati ketiadaan motif polinesia di Taiwan, Filipina, dan sebagian besar Indonesia Barat dan keantikan lokalnya sekitar 17.000 tahun lalu di Indonesia Barat adalah bukti terkuat melawan (hal.276) kereta ekpress (maksudnya:penyebaran (pen)), yang berusia 3.500 tahun lalu. Hipotesis tentang sebuah perluasan maritime Austronesia yang lebih awal ke Pasifik masih bertahan. Satu hal yang tidak diberitahukan kepada kita oleh motif Polinesia adalah di mana lokasi bertolaknya perluasan timur ke Samoa itu, apakah dari pesisir utara Papua Nugini atau sebuah migrasi segar dari Indonesia Timur.
Oppenheimer mengkritisi bahwa ada gunanya melihat jawaban bagi pertanyaan (lokasi bertolaknya perluasan timur ke samoa ) ini melalui mata orang awam tapi dengan perhitungan (hal.278) yang sangat informative. Perbandingan-perbandingan rumit tentang dimensi-dimensi tengkorak telah menegaskan apa yang Kapten Cook kali pertama lihat dan dapat dilihat oleh pengunjung lainnya. Misalnya bahwa orang-orang Polinesia lebih mirip orang-orang Asia Tenggara, agak berbeda dari Melanesia, dan sama sekali tidak seperti Cina atau Aborigin Australia. Antropolog Michael Petrusewsky di University of Hawaii telah memperbaiki kajian ini pada populasi Asia dan Pasifik. Temuan-temuannya dipetakan secara grafis, menunjukan orang Polinesia dari banyak lokasi membentuk sebuah gugusan ketat mereka sendiri dengan orang-orang Micronesia dan para penghuni Pulau Admiralty (lihat gambar 32, hal.280). Gugusan ini berada di tengah-tengah antara Melanesia dan Asia Tenggara. Setiap ekstrem masing-masing diambil oleh Aborigin Australia di satu kutub dan di kutub lain ada Cina, Taiwan, dan Asia Utara. Secara signifikan, tetangga Asia yang paling mirip Polinesia adalah dari Laut Sulu di timur Borneo, dan paling tidak mirip dari semua kelompok Asia Tenggara adalah orang-orang Filipina. Di kutub lain, Melanesia terdekat adalah orang-orang Fiji (hal. 279).
Berikut Padre Yoseph Muda dalam RERAWULAN TANAHEKAN sebuah penelitian tentang ASAL USUL BUDAYA ATA LAMAHOLOT (Inedit), hal.32-34 mensinyalir Pulau Paskah (nama alias dari Pulau Admiralty) sebagai “gema” yang tertinggal dari penyebaran dahulu kala “Ata Lama Holot”. … Pulau itu dikenal juga dengan Rapa Nui, yang menurut para ahli nama itu berasal dari ungkapan bahasa Tahiti: Rapa=Batu, Nui=Besar, Batu Besar. Beberapa ungkapan kata Rapa Nui (RN), Pulau Paskah, yang mempunyai kesamaan entah dalam tulisan maupun dalam bunyi (dalam RN, konsonan ‘v’ dibaca ‘b’ dengan bahasa Lamaholot (LH) dan atau Bahasa Indonesia (BI). Antara lain kata Laut= Tai (RN)=Tahik (LH), Hujan=Ua (RN)=Ura (LH),Air= Vai (RN)=Wai (LH), Jalan=Ara (RN)=Rara (LH), Mata=Mata (RN)=Mata (LH), …dstnya sekitar 50an kata. Kata Paduan antara lain: Ayam Merah= Manu Mea (RN), Manuk Mea (LH), Mata Air= Vai-Mata (RN), Wai Mata (LH).
Numerologia:
BI: Satu Dua Tiga Empat Lima Enam Tujuh Delapan Sembilan Sepuluh
RN: Tahi Rua Toru Ha Rima Ono Hitu Varu Iva Aanghuru
LH: Tou Rua Telo Pat Lema Nem Pito Buto Hiwa Pulotou
Padre Yoseph Muda menandaskan lebih jauh bahwa kenyataan arkeologi menyangkut kesamaan Kapak Batu yang ditemukan di Pulau Flores dan juga di Benua Australia, menunjukan bahwa Ata Lamaholot setelah ‘mula nuba ada nara’ (menetap) di tanahAdonara (baca: Nusantara), sekelompok dari suku it uterus berlayar ke Timur. Terlepas dari siapa dan kapan tiba di Australia, setelah keluar dari Bali dan Lombok, Tim Flannery, zoolog Australia berpendapat bahwa bernavigasi dimulai di Indonesia, dari mana diekspor sesudah itu bersama-sama dengan hasil penemuan dalam bidang teknologi dan cultural kembali ke Afrika dan daerah-daerah lain di di Benua Asia. Menurut para ahli penyebaran itu sampai ke mikronesia, polinesia dan bahkan lebih jauh sampai ke Amerika (hal.32)..***
Dataran Oepoi, Kota Karang Kupang, Tanah Timor, 26 September 2012

Chris Boro Tokan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar