Minggu, 28 Desember 2014

Sultan al-Kamil, Fransiskus Assisi, Mursi, dan Mesir

Mesir sedang bergolak. Dua kekuatan yang sama-sama keras kepala sedang bertarung. Rakyat yang jadi korban. Yang tidak bersalah harus berlumur darah, demi ambisi para pemimpin yang merasa paling benar sendiri. Entah mana yang malaikat, mana yang iblis. Mana yang Firaun, mana yang Musa. Jangan-jangan, semuanya iblis, semuanya Firaun. Dan keduanya sedang ongkang-ongkang kaki, bertepuk tangan gembira, Ini pendukungku, mana pendukungmu, ayo kita berseteru, sampai salah satu jadi abu.
Dan ketika gelombang perseteruan itu sampai ke negeri sini, orang-orang pun berselancarlah di atas riak-riaknya, berdebat hingga berbusa-busa. Masing-masing punya versi, panutan, dan sumber berita. Entah sumber kedua, ketiga, atau keberapa. Entah dari bahasa Arab, bahasa Indonesia yang diterjemahkan dari bahasa Arab, bahasa Indonesia yang diterjemahkan dari bahasa Inggris yang diterjemahkan dari bahasa Arab, atau bahkan cuma dari konon kabarnya yang tertulis di status Facebook atau kicauan twitter. Dan kalau kita percaya bahwa media membawa misi-misi tertentu dalam mengabarkan suatu peristiwa, maka kita seharusnya tidak boleh meyakini sepenuhnya apa yang kita dengar dan baca. Karena selalu ada tiga sisi dalam sebuah cerita: sisi yang kau yakini dan yang ingin kau yakini, sisi yang mereka yakini dan yang ingin mereka yakini, dan sisi yang sebenarnya. Dan sisi yang sebenarnya inilah yang di luar jangkauan, karena kita tidak berada di tengah-tengah peristiwanya sendiri.
Beberapa waktu lalu, kebetulan saya membaca sebuah buku sejarah tentang Perang Salib Kelima yang terjadi di Mesir pada abad ke-12, dan khususnya tentang sebuah peristiwa menarik yang barangkali bisa menjadi ibroh bagi upaya perdamaian antara pihak-pihak mana pun yang tengah berseteru mengatasnamakan agama ataupun kepentingan lainnya: pertemuan antara Malik al-Kamil, sultan Mesir dan Fransiskus dari Assisi, yang kini dikenal sebagai Santo Fransiskus, pendiri ordo Fransiskan.
Diceritakan, setelah Paus Innosensius III meluncurkan Perang Salib Kelima, pasukan Kristen mulai berkumpul dan bergerak ke kota Damietta, gerbang masuk ke Mesir, tempat Bani Ayyub berkuasa. Target mereka adalah menaklukkan Mesir dan merebut kembali Yerusalem. Pada 1218, Pasukan Tentara Salib berhasil sampai di dekat Damietta, pintu gerbang Mesir, yang memiliki pertahanan yang kuat. Dengan dinding benteng berlapis tiga dan menara-menaranya yang kukuh, Damietta sulit ditaklukkan. Akhirnya, pengepungan kota pun dilakukan. Berbulan-bulan, hingga bertahun-tahun.
Malik al-Kamil, Sultan Mesir, keponakan Salahudin al-Ayyubi, yang telah berhasil merebut Yerusalem pada 1187, mengerahkan pasukan dari Mesir untuk mematahkan pengepungan dan mengirimkan pasokan ke dalam kota yang penduduknya kian sekarat oleh kelaparan dan penyakit tersebut. Namun, setelah pertempuran demi pertempuran berlangsung, dia tidak berhasil menembus kepungan pasukan Tentara Salib terhadap Damietta. Akhirnya dia pun menawarkan sebuah perjanjian damai, dia bersedia menyerahkan kembali Yerusalem dan wilayah-wilayah lain yang pernah direbut oleh Salahudin kepada Tentara Salib, asalkan mereka menarik mundur pasukannya dari Damietta.
Selama berlangsungnya pengepungan, Fransiskus dari Assisi, seorang biarawan Kristen yang telang mengabdikan dirinya dalam kehidupan kemiskinan dan perdamaian, bertekad untuk menemui sang sultan setelah seruan perdamaiannya terhadap Tentara Salib dan para pemimpinnya tidak digubris. Biarawan yang kelak dikenal sebagai Santo Fransiskus, salah satu santo paling kudus dalam Kristen tersebut berharap untuk mengkristenkan sang sultan demi menghentikan peperangan lebih lanjut. Berseberangan dengan para panglima Tentara Salib dan bahkan kepausan, yang bersikeras untuk terus melancarkan serangan, Fransiskus menemui Sultan Al-Kamil di perkemahannya.
Dalam situasi perang dan pengepungan, sang sultan bisa saja langsung memenggal kepala Fransiskus, atau menjadikan pendiri ordo Fransiskan itu sandera untuk ditukar dengan kebebasan kota Damietta—pada waktu itu, pengikut Fransiskan sudah cukup banyak untuk menjadikan dirinya cukup diperhitungkan. Lebih-lebih, berani-beraninya Fransiskus berkhotbah tentang Kristen di hadapan sang Sultan yang penganut Sunni taat tersebut.
Akan tetapi, Sultan al-Kamil justru menerima Fransiskus dengan ramah, menghormatinya sebagai orang beriman, dan mengizinkannya berkhotbah di hadapan dirinya dan para penasihat keagamaannya. Maka terjadilah dialog antaragama yang damai di tengah kecamuk peperangan yang paling mematikan. Hingga kemudian, setelah berminggu-minggu berada di perkemahan sang Sultan, dan setelah dengan leluasa berkhotbah di depan para prajurit Mesir karena mendapat izin dari sang Sultan, Fransiskus pun diantarkan kembali dengan aman ke perkemahan Tentara Salib.
Damietta akhirnya jatuh ke tangan Tentara Salib, penduduknya yang tadinya 80.000 jiwa tinggal 3.000 saja. Sultan al-Kamil mundur ke Mesir untuk mempertahankan kerajaannya dari ambisi Kardinal Pelagius Galvani, wakil kepausan yang terus mendesak untuk menaklukkan seluruh Mesir. Perlu dicatat, di Mesir sendiri pada waktu itu sudah hidup komunitas-komunitas Kristen, tetapi karena Sultan al-Kamil sudah terkenal karena toleransinya, mereka tidak bertindak sebagai musuh dari dalam.
Perjanjian damai dari Sultan al-Kamil sekali lagi ditolak. Kardinal Pelagius dan para pimpinan Tentara Salib yang ambisius ingin terus menyerang Mesir demi menaklukkan kota itu seluruhnya.
Pertempuran demi pertempuran terus berlangsung, korban terus bergelimpangan di kedua belah pihak, hingga ketika pasukan Tentara Salib yang terus bergerak maju ke wilayah Mesir, terjebak dalam rawa-rawa Sungai Nil. Mereka tidak paham medan Sungai Nil yang rumit, oleh karena itu pasukan Sultan al-Kamil berhasil mengepung mereka dan memutus jalur pasokannya dari garnisun di Damietta. Sang sultan kini berada di atas angin, apalagi dengan datangnya pasukan bantuan dari wilayah kekuasaan adik-adiknya di Damaskus dan Jezireh. Tentara Salib jelas kalah jumlah.
Sultan al-Kamil bisa saja membantai Tentara Salib yang sedang terjebak hingga tak tersisa dan merebut kembali Damietta dengan pasukan barunya. Tetapi al-Kamil lebih memilih perdamaian, beliau tidak ingin mengorbankan nyawa rakyat dan para prajuritnya. Maka ketika pasukan Templar, Hospitalier, dan ordo militer lainnya mengibarkan bendera perdamaian, perundingan pun dilangsungkan, bahkan sang sultan bersedia memberi makan puluhan ribu Tentara Salib yang telah terkepung selama berhari-hari.
Perdamaian pun tercapailah pada 1221, Damietta diserahkan kembali ke tangan Sultan al-Kamil, dengan balasan seluruh Tentara Salib dibiarkan selamat tanpa pembantaian lebih lanjut untuk pulang kembali ke negara masing-masing, tanpa kemenangan, tanpa merebut kembali Yerusalem, dibiarkan bertanya-tanya sendiri tentang kebaikan Sultan al-Kamil, yang sebelumnya digambarkan di Eropa sebagai sosok yang kejam.
***
Membandingkan kecamuk Perang Salib Kelima dengan apa yang terjadi di Mesir sekarang memang tidak sepenuhnya tepat. Apalagi membandingkan Mursi ataupun presiden sementara Mesir dengan Malik al-Kamil yang toleran. Masing-masing bersikukuh dengan kebenaran versi mereka sendiri, disertai dengan basis dukungan massa yang relatif besar. Akan tetapi, jika Perang Salib saja, pertarungan dua agama, dapat berakhir damai tanpa pembantaian lebih lanjut, maka seharusnya, apa yang terjadi di Mesir dapat dihentikan, atau setidaknya dapat diredam, jika masing-masing pimpinan bersedia duduk bersama untuk membicarakan perdamaian.
Memang dikabarkan telah terjadi pembantaian terhadap para pendukung Mursi oleh militer Mesir, dan tak jarang pula korban berguguran dari pihak pendukung militer. Pembantaian memang kejam, tetapi pemimpin yang membiarkan pembantaian terus terjadi demi propaganda dan konsolidasi kepentingannya sendiri juga tidak kalah kejamnya. Selalu yang tidak bersalah, di masing-masing pihak, yang menjadi korbannya. Mereka yang berada di luar pihak-pihak yang berseteru juga menjadi korban opini dan berita. Dukung sini dukung situ, bahkan sampai menjelek-jelekkan, dan anehnya terkadang mengatasnamakan agama. Yang dukung situ berarti kafir, yang dukung sini berarti Islam sejati. Padahal, di Mesir sendiri, mungkin saja, dalam satu kerumunan massa salah satu pendukung, terdiri dari bermacam agama. Sejarah agama dan peradaban Mesir sangatlah panjang. Seperti yang tertulis di depan tadi, bahkan pada masa Perang Salib sekalipun, di Mesir yang Islam terdapat komunitas Kristen yang tidak bertindak menjadi musuh dalam selimut bagi Sultan al-Kamil dan di pihak Tentara Salib yang Kristen, terdapat sekutu dari Kesultanan Seljuk yang Islam.
Pada akhirnya, kita hanya bisa berdoa dan bersolidaritas semoga saudara-saudara kita di Mesir nun jauh di sana dapat menghentikan perseteruan dan menemukan jalan perdamaian demi kepentingan rakyat Mesir dan umat manusia pada umumnya. Kita yang di sini, beda kepala beda pendapat boleh saja, asalkan tidak saling memfitnah apalagi mengkafirkan. Karena sesungguhnya, cukup banyak persoalan di negeri sendiri yang butuh perhatian. Ibarat kata, jangan sampai “tetangga menjerit kesakitan digebuki FPI dibiarkan babak belur, tetapi unta yang melenguh kesandung piramid di seberang gurun sana malah ditolong mati-matian”.

Wallahu’alam.

Referensi sejarah :

The Saint and the Sultan, Paul Moses, Doubleday Religion, 2009.

sanibul 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar