Senin, 29 Desember 2014

Empat Tokoh Ulama Aceh di Tahun 1945

Prof Dr M Hasbi Amiruddin, MA, Guru Besar di Fakultas Tarbiyah, IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh pada Mihrab edisi Jumat ini mengulas lebih jauh peran ulama Aceh pada masa perang kemerdekaan. Dan generasi muda saat ini perlu berterima kasih dan menempatkan ulama sebagai figur penerang sepanjang masa.

Sekitar tahun 1872-1873 beberapa kali Belanda memaksa kerajaan Aceh tunduk kepada kerajaan Belanda. Namun kerajaan Aceh menolak untuk tunduk kepada siapa pun kecuali kepada Allah swt. Karena itu pada tahun 1973 Belanda menyerang Aceh dengan kekuatan 6 buah kapal pasukannya.

Kendatipun Belanda dapat mencapai Masjid Raya Baiturrahman, tetapi akhirnya mereka kalah juga. Bahkan Panglima Perangnya, Jenderal Kohler, tewas di depan Masjid Raya. Suatu peristiwa yang sangat memalukan bagi bangsa Belanda. Karena tidak pernah terjadi di negara manapun, dalam perang modern, Panglima Perangnya tewas di medan perang.

Untuk menebus rasa malu itulah kemudian Belanda meminta bantuan penambahan pasukan dalam jumlah yang lebih besar untuk mengalahkan Aceh. Pada tahun 1874, Belanda kembali menyerang Aceh dengan kekuatan pasukan sepuluh kali lipat. Kali ini mereka memang mampu menguasai kota Banda Aceh dan sekitarnya. Selanjutnya Belanda dapat menguasai hampir seluruh wilayah Aceh Besar sekarang. Agaknya ketika itu perangpun hampir sunyi. Tidak ada pemimpin yang mampu mengajak rakyat untuk berperang lagi.

Melihat situasi seperti ini beberapa pejuang yang masih memiliki semangat mendatangi Tgk Tanoh Abee di Seulimum untuk meminta beliau memberikan semangat kepada rakyat Aceh untuk berjuang lagi. Setelah memperhatikan situasi, Tgk Tanoh Abee mengundang seluruh tokoh-tokoh pemimpin Aceh, baik uleebalang, ulama dan tokoh-tokoh pejuang dalam sebuah rapat rahasia di Lamsie. Dalam rapat itu Tgk Tanoh Abee memberi nasehat kepada para pejuang:

“Tenaga para pejuang masih belum hancur, tetapi yang sudah kurang yaitu kesucian batin dan kekuatan iman. Jadi sebelum kita memerangi musuh lahir, perangilah lebih dahulu musuh batin, yaitu hawa nafsu. Harta rakyat yang ada pada kita, yang telah diambil karena mengikuti hawa nafsu, serahkan kembali kepada rakyat. Janganlah rakyat itu selalu teraniaya. Tegakkanlah keadilan di tengah-tengah kita terlebih dahulu, sebelum kita meminta keadilan pada orang lain. Tobatlah terlebih dahulu wahai pejabat-pejabat, sebelum mengajak rakyat memerangi kompeni. Kalau tidak dikembalikan harta rakyat yang diambil secara tidak sah, rakyat akan membelakangi kita. Kalau yang saya minta saudara-saudara penuhi maka saya akan bersama saudara ke medan perang.”

Ternyata kemudian tidak ada lagi pejabat yang berani datang kepada Tgk Tanoh Abee, sehingga lama sekali Aceh sunyi dari peperangan dan Belanda semakin berani memperluas areal pendudukannya. Tausiah Tgk Tanoh Abee inilah yang kemudian diamalkan oleh Tgk Chik Di Tiro sehingga beliau dapat menggerakkan lagi rakyat Aceh untuk berperang melawan Belanda kembali. Bahkan untuk modal awal berperang baik untuk kepentingan kosumsi maupun kepentingan senjata, Tgk Chik Di Tiro menggadaikan tanah sawahnya sendiri.

Kendatipun perang yang begitu panjang hingga proklamasi kemerdekaan, namun rakyat Aceh tetap dapat melanjutkannya hingga tiga generasi. Hal ini disebabkan karena semangat iman yang ditanamkan oleh para ulama sebelumnya.

Proklamasi Kemerdekaan Indonesia telah dibacakan pada tanggal 17 Agustus 1945, namun pemerintah militer Jepang di Aceh baru menyatakan bahwa secara umum perang telah berakhir pada 24 Agustus. Bebarapa hari berikutnya sebuah pesawat menyebarkan selebaran di Aceh dengan pesan ‘Perang Telah Selesai, Jepang telah menyerah tanpa syarat.’ Tetapi di bawah kalimat itu tertulis ‘hidup Indonesia!, ‘Hidup Seri Ratu!’

Berdasarkan kalimat ‘Hidup Seri Ratu’, para pemimpin Aceh meramalkan akan kembalinya lagi Belanda ke Aceh. Karena itu mereka memperingatkan bangsa Indonesia bahwa Belanda akan menjajah kembali Indonesia. Dan memang tidak lama setelah itu Belanda mulai melakukan agresi militer, dan pada bulan September 1945 mereka telah menduduki Medan. Angkatan Perang Inggris mulai menduduki Pulau Weh dan pelabuhan Sabang pada 7 September.

Berdasarkan situasi tersebut tokoh-tokoh ulama di Aceh membuat pertemuan yang memutuskan untuk memberi dukungan kepada Republik Indonesia terhadap proklamasi kemerdekaannya. Pertemuan tersebut menghasilkan sebuah kesepakatan yang disebut “deklarasi seluruh ulama di Aceh”. Deklarasi ini ditandatangani oleh empat tokoh ulama yaitu Tgk. M. Daud Beureu-eh, Tgk Ahmad Hasballah Indrapuri, Tgk Ja’far Siddiq dan Tgk Hasan Krueng Kalee.

Deklarasi menyatakan bahwa perang mempertahankan kemerdekaan adalah kelanjutan dari perang yang dilakukan oleh Tgk Chik Di Tiro, yaitu perang Sabil, Jihad Fi Sabilillah. Para ulama menyadari jika perang tidak digerakkan oleh ulama, nantinya rakyat tidak akan mau ikut serta. Dimotivasi oleh semangat jihad seperti yang dilakukan oleh Tgk Chik Di Tiro maka seluruh rakyat Aceh mendukung baik dengan mengorbankan harta maupun nyawannya.

Tidak ada gaji tentara, tidak ada dana Surat Perintah Jalan (SPJ), tidak ada lumsum. Mereka bekerjasama dengan rakyat. Rakyat mendukung sepenuhnya karena para pejuang berjuang dengan berdasarkan niat lillahi ta’ala. Semangat inilah yang telah mengantar kita kepada kemerdekaan dari jajahan bangsa asing.

Didorong oleh semangat perang suci, rakyat Aceh berjuang dengan penuh semangat untuk mencapai tujuan. Mereka yakin bahwa melalui jihad fisabilillah mereka akan menang; karena jika mereka gugur akan masuk syurga dan jika mereka selamat, negara akan bebas dari pendudukan Belanda.

Melihat rakyat Aceh mempertahankan daerahnya dengan gigih, Belanda mengurungkan niatnya untuk masuk ke Aceh. Mereka telah memiliki pengalaman berperang dengan orang Aceh dan merasakan bagaimana gigihnya orang Aceh berjuang melawan Belanda ketika Belanda menduduki Aceh. Mereka tidak mau mengulangi derita yang pernah dialami sebelumnya.

Ketika pemimpin Indonesia Sukarno dan Hatta ditangkap oleh Belanda, Mr Syarifuddin Prawiranegara memimpin Indonesia sebagai Pemerintahan Darurat. Karena wilayah-wilayah lain di Indonesia telah dikuasai oleh Belanda maka Mr Syarifuddin menjadikan Kuta Raja, Aceh, sebagai pusat pemerintahan. Di kala itu memang hanya Aceh saja wilayah yang tidak dikuasai Belanda. Bersamaan dengan itu, segala kebutuhan negara Indonesia itu dibiayai oleh Aceh.

Karena Indonesia membutuhkan pesawat untuk hubungan luar negeri, ulama Aceh mengajak masyarakat di Aceh untuk menyumbang dana untuk membeli 2 buah pesawat terbang. Pesawat inilah yang pertama sekali dimiliki oleh Indonesia dan karena itu pesawat ini diberi nama Seulawah. Pesawat ini pula cikal bakal menjadi pesawat Garuda sekarang ini.

Begitulah, ulama kita telah berbuat untuk kita. Mudah-mudahan semua kita tahu bagaimana berterima kasih, bukan sebaliknya merusak citra bangsa kita masa lalu. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar