Antara tahun 1942-43, Jepang membangun bungker di perbukitan Kalimoro. Terletak di Purworejo, Jawa Tengah, sekitar 40 kilometer sebelah barat Yogyakarta. Posisi bungker tepatnya di Dusun Bapangsar, Desa Krendetan, Kecamatan Bagelen, Kabupaten Purworejo.
Di kaki bukit Kalimoro, sekitar 100 meter sebelum lokasi bungker, berdiri sebuah rumah. Terkesan sangat sederhana. Perabot meja, kursi, bangku, dan lemari semua terbuat dari kayu jati. Rumah itu ditempati sepasang kakek-nenek, si kakek bernama Amat Darso.
Darso merupakan salah satu penduduk Kalimoro yang turut serta membangun bungker pertahanan di atas bukit tersebut. Kala itu, Amat Darso masih berusia 12 tahn. Ia dan keluarga diharuskan pindah rumah karena lahannya diminta Jepang untuk dijadikan lokasi pertahanan dan pemusatan artileri tempur.
Darso kecil dan teman-temannya pun direkrut oleh tentara Jepang untuk membantu pembangunan bunker di Kalimoro. Pekerjaan pembangunan dilakukan oleh laki-laki di desa itu, baik tua maupun muda, dimandori oleh salah satu pejabat desa.
Menurut Darso, untuk upah pengerjaan bungker dia hanya dibayar 12 sen sehari karena masih anak-anak.
Sedangkan untuk orangtua dibayar 24 sen per hari. Upah yang lebih tinggi adalah empat ketip khusus untuk tukang batu dan tukang kayu, dengan satu setiap senilai sepuluh sen.
Karena keterlibatannya dalam pembangunan unit pertahanan militer di Kalimoro, sampai sekarang Darso masih fasih berbahasa Jepang. Ditambahkannya, perangai tentara Jepang berbeda-beda. Ada yang hormat, ada yang simpatik, ada juga yang kasar.
Tanpa mengurangi rasa hormat kepada korban-korban kekejaman selama pendudukan Jepang, sejauh pengamatannya, tidak ada warga Kalimoro yang tewas dalam pembuatan bungker tersebut. Berbeda dengan kisah-kisah tragis romusha.
(Mahandis Y. Thamrin)
Di kaki bukit Kalimoro, sekitar 100 meter sebelum lokasi bungker, berdiri sebuah rumah. Terkesan sangat sederhana. Perabot meja, kursi, bangku, dan lemari semua terbuat dari kayu jati. Rumah itu ditempati sepasang kakek-nenek, si kakek bernama Amat Darso.
Darso merupakan salah satu penduduk Kalimoro yang turut serta membangun bungker pertahanan di atas bukit tersebut. Kala itu, Amat Darso masih berusia 12 tahn. Ia dan keluarga diharuskan pindah rumah karena lahannya diminta Jepang untuk dijadikan lokasi pertahanan dan pemusatan artileri tempur.
Darso kecil dan teman-temannya pun direkrut oleh tentara Jepang untuk membantu pembangunan bunker di Kalimoro. Pekerjaan pembangunan dilakukan oleh laki-laki di desa itu, baik tua maupun muda, dimandori oleh salah satu pejabat desa.
Menurut Darso, untuk upah pengerjaan bungker dia hanya dibayar 12 sen sehari karena masih anak-anak.
Sedangkan untuk orangtua dibayar 24 sen per hari. Upah yang lebih tinggi adalah empat ketip khusus untuk tukang batu dan tukang kayu, dengan satu setiap senilai sepuluh sen.
Karena keterlibatannya dalam pembangunan unit pertahanan militer di Kalimoro, sampai sekarang Darso masih fasih berbahasa Jepang. Ditambahkannya, perangai tentara Jepang berbeda-beda. Ada yang hormat, ada yang simpatik, ada juga yang kasar.
Tanpa mengurangi rasa hormat kepada korban-korban kekejaman selama pendudukan Jepang, sejauh pengamatannya, tidak ada warga Kalimoro yang tewas dalam pembuatan bungker tersebut. Berbeda dengan kisah-kisah tragis romusha.
(Mahandis Y. Thamrin)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar