Salah satu warisan berharga dan tak ternilai yang dicatat oleh dunia internasional dari imperium Kekalifahan Turki Usmani adalah penaklukan Ibukota Kekaisaran Romawi Timur, Byzantium (disebut juga Constantinople), pada masa kekuasaan Sultan Muhammad Al-Fatih (Sultan Muhammad II). Sultan Muhammad II memulai rencana penaklukan Byzantium pada hari Jum’at, 6 April 1453 M, bersama-sama gurunya, Syeikh Aaq Syamsudin, dan para penasehat utamanya, Halil Pasha dan Zaghanos Pasha.
Alwi Alatas menulis dalam bukunya, Al-Fatih Sang Penakluk Konstantinopel (Zikrul Hakim, 2005), bahwa dengan kekuatan 150.000 pasukan militer, termasuk pasukan khusus Yanisari, dan meriam buatan Urban (teknologi senjata paling canggih saat itu), Sultan Muhammad II mengirim surat kepada Kaisar Romawi Timur, Constantine XI Paleologus (Constantine The Great), untuk masuk Islam atau menyerahkan penguasaan kota secara damai atau perang. Sultan juga berencana untuk menyerang Byzantium dari berbagai penjuru benteng kota tersebut.
Sultan Muhammad II sejak kecil selalu diajarkan, dididik dan ditanamkan sifat sebagai penakluk Konstatinopel oleh ayah dan gurunya berdasarkan sejumlah Hadist Rosulullah Muhammad SAW, antara lain:
1. “Kota Konstantinopel akan jatuh ke tangan Islam. Pemimpin yang menaklukkannya adalah sebaik-baik pemimpin dan pasukan yang berada di bawah komandonya adalah sebaik-baik pasukan.” [H.R. Ahmad bin Hanbal Al-Musnad 4/335].
2. Abu Qubail menuturkan dari Abdullah bin Amr bin Ash, “Suatu ketika kami sedang menulis di sisi Rasulullah SAW, tiba-tiba beliau ditanya, “Mana yang terkalahkan lebih dahulu, Konstantinopel atau Romawi?” Beliau menjawab, “Kota Heraklius-lah yang akan terkalahkan lebih dulu.” Maksudnya adalah Konstantinopel.” [H.R. Ahmad, Ad-Darimi, Al-Hakim].
Konstantinopel akhirnya dapat ditaklukkan pada tanggal 29 Mei 1453 M setelah dilakukannya penyerangan total terhadap benteng kota Byzantium dan dipindahkannya sekitar 70-an kapal militer Usmani ke wilayah Selat Golden Horn melalui jalur darat hanya dalam waktu satu malam. Hal ini dilakukan guna menghindari rantai penghalang di wilayah Selat Golden Horn (wilayah Constantinople) yang memang pertahanan militernya agak lemah. Dalam perang ini Kaisar Constantine dibantu oleh Kardinal Isidor, Pangeran Orkhan dan admiral Giovanni Giustiniani dari Genoa.
Warisan lainnya yang juga sangat penting bagi Dunia Islam ialah peran tidak langsung Kehilafahan Turki Usmani terhadap berhasilnya penyebaran agama Islam di wilayah Asia Tenggara (Kepulauan Nusantara), khususnya di wilayah Aceh dan sekitarnya. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari persahabatan, hubungan diplomatik dan ukhuwwah Islamiyyah yang sangat erat antara Kesultanan Aceh Darussalam dengan Kekhilafahan Turki Usmani sejak awal abad XVI. Bahkan persekutuan dua negara adikuasa Islam tersebut (Negara adikuasa lainnya ialah Dinasti Safawi di Iran dan Dinasti Mughal di India) telah berhasil menjaga penjajah Portugis dari Tanah Aceh dan sekitarnya.
Nicholas Tarling menulis dalam bukunya, The Cambridge History of Southeast Asia (hlm 39), bahwa ekspedisi Kekhalifahan Usmani ke Aceh dimulai sekitar tahun 1565 ketika Kekhalifahan Usmaniyah berusaha mendukung Kesultanan Aceh dalam pertempurannya melawan Portugis yang telah berhasil menaklukkan Kesultanan Malaka. Ekspedisi ini merupakan respons positif Sultan Sulaiman Al-Qanuni/ Sulaiman I/ Sulaiman Yang Agung (1520 – 1566 M) dari Kekhalifahan Usmaniyyah terhadap duta atau utusan khusus Sultan Alauddin al-Qahhar (1539 – 1571 M) dari Kesultanan Aceh Darussalam pada tahun 1564 M (atau tahun 1562 M).
Azyumardi Azra dalam bukunya, Islam in the Indonesian world: an account of institutional formation (hlm 169), menyatakan bahwa Persekutuan antara Sultan Aceh dengan Kekhilafahan Usmaniyyah sudah dimulai secara tidak resmi sejak tahun 1530-an, yakni ketika Sultan Alauddin Al-Qahhar memanfaatkan hubungan baik tersebut untuk memperluas kekuasaannya di wilayah Sumatera dan Semenanjung Malaya. Fernão Mendes Pinto mencatat bahwa Sultan Aceh telah merekrut 300 prajurit Utsmaniyah, beberapa orang Abesinia dan Gujarat, serta 200 orang saudagar Malabar untuk menaklukkan Tano Batak pada tahun 1539. Bahkan Kerajaan Aru dan Johor juga telah ditaklukkan oleh Kesultanan Aceh pada tahun 1564 setelah mendapat bala bantuan tentara dari Kekhilafahan Usmaniyyah.
Hubungan diplomatik tersebut terus berlanjut di masa pemerintahan selanjutnya, yakni ketika Sultan Selim II (penerus Tahta Sultan Suleiman I) dari kekhilafahan Usmaniyyah memerintahkan pengiriman armada ke Kesultanan Aceh yang mengangkut sejumlah prajurit, pembuat senjata dan insinyur bersama-sama dengan pasokan senjata dan artileri yang melimpah. Armada pertama terdiri atas 15 dapur di bawah pimpinan Laksamana Kordoglu Hizir Reis, namun sebagian besar armada tersebut dialihkan untuk memadamkan pemberontakan di Yaman sehingga hanya 2 kapal yang tiba di Aceh antara rahun 1566 – 1567 M (Lihat: Nicholas Tarling dan Azyumardi Azra). Bahkan William J. Bernstein mencatat dalam bukunya, A Splendid Exchange: How Trade Shaped the World (hlm 191), bahwa orang Aceh membayar kapal tersebut dengan mutiara, berlian dan rubi.
Penerus tahta Kesultanan Aceh berikutnya, Sultan Husain Ali Riayat Syah, secara resmi telah mengakui Penguasa Usmaniyyah sebagai ‘Khalifah Islam’ melalui surat resmi yang dibawa oleh Duta Besar/ Utusan Resmi Kesultanan Aceh kepada Porte Usmaniyyah di tahun 1564 M. Frans Husken mencatat dalam bukunya, Reading Asia: New Research in Asian Studies, bahwa Pengiriman armada ke Aceh tersebut telah menyebabkan berkembangnya pertukaran kedua negara dalam bidang militer, perdagangan, budaya dan keagamaan.
Hal ini terlihat dari alih teknologi pembuatan senjata dari Turki Usmani ke Aceh, sejak awal abad ke-17, seperti meriam perunggu berukuran sedang serta 800 jenis senjata lainnya seperti senapan putar bergagang dan arquebus. Bahkan kapal-kapal Kesultanan Aceh diizinkan untuk mengibarkan bendera kekhalifahan Usmaniyyah (Lihat: Nicholas Tarling dan Azyumardi Azra).
Ibrahim H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar