Pelbagai tekanan yang melanda masyarakat pribumi mendorong munculnya gerakan dan pemberontakan sosial di tengah-tengah masyarakat. Sepanjang abad ke-19 banyak gerakan dan pemberontakan sosial yang lahir dan berkembang di Jawa. Sebagian gerakan mampu mengonsolidasikan kekuatannya untuk melawan kekuasaan kolonial dan para pembantunya dari kalangan elit tradisional bahkan mampu melancarkan perlawanan fisik. Sebagian lagi hanya mampu melancarkan perlawanan dalam bentuk gerakan protes tanpa konfrontasi secara fisik. Ada sebagian dari gerakan sosial itu yang berhasil mempertahankan eksistensinya – bahkan hingga sekarang - sebagai sebuah komunitas tetapi tidak sedikit pula yang hilang ditelan zaman. Di antara gerakan sosial tersebut termasuk di dalamnya adalah gerakan sekte kegamaan.
Masa meluasnya kekuasaan kolonial Belanda bertepatan dengan tumbuhnya kesadaran beragama di kalangan kaum muslimin Jawa. Pada abad ke-19 seiring dengan semakin banyaknya orang Jawa yang menunaikan ibadah haji dan menuntut ilmu di Tanah Suci (Mekkah dan Madinah) timbul kesadaran bahwa Islam yang dipraktikkan di Jawa banyak bercampur dengan tradisi lokal yang bercorak animis dan dipengaruhi budaya Hindu-Buddha. Sampai dengan masa itu pemahaman dan praktik Islam di Jawa juga kental dengan unsur mistik sebagaimana tercermin dalam karya-karya sastra tradisional seperti suluk dan serat (Simuh, 2003: 70-73). Kentalnya unsur mistik dalam pemahaman dan praktek Islam di Jawa ini membuat banyak di antara masyarakat Jawa yang cenderung mengabaikan aspek syari’at dalam praktik keberagamaannya karena lebih memperhatikan aspek esoteris (batiniah). Kondisi ini mendorong orang-orang yang baru kembali dari Tanah Suci untuk menyebarkan pemahaman dan praktik Islam yang bersifat ortodoks ke tengah-tengah masyarakat (van Bruinessen, 1995: 151). Selain itu, kehadiran penguasa kolonial Belanda – yang dipandang sebagai ‘penguasa kafir’ - mendorong mereka melakukan perlawanan – baik secara pasif maupun aktif - terhadap pemerintah kolonial dan elit birokrasi tradisional yang berkolaborasi dengannya.
Salah satu gerakan sosial yang mengandung ciri gerakan protes sekaligus gerakan sekte keagamaan adalah Jamaah Rifa’iyah. Nama gerakan ini diambil dari tokoh pemimpinnya yaitu K.H. Ahmad Rifa’i Kalisalak. Sebagaimana lazimnya gerakan-gerakan sosial yang bersifat tradisional, Jamaah Rifa’iyah sangat lekat dengan sosok pemimpinnya yang karismatis. Lahir, tumbuh, dan berkembangnya Jamaah Rifa’iyah pada dasarnya adalah implementasi dari pemikiran-pemikiran K.H. Ahmad Rifa’i yang dituangkan dalam kitab-kitab karyanya. Oleh karena itu, kita perlu memahami latar belakang dari sosok K.H. Ahmad Rifa’i dan juga pemikiran yang terkandung dalam kitab-kitabnya. Dari riwayat hidupnya kita akan melihat bahwa K.H. Ahmad Rifa’i adalah sosok seorang ulama yang konsisten melawan pemerintah kolonial Belanda beserta elit birokrasi tradisional dan konsistensi ini dapat ditemukan pula dalam tulisan yang terdapat pada kitab-kitabnya. Kitab-kitab itu sendiri ditulis dalam rangka merespon kebutuhan masyarakat ketika itu untuk mempelajari agama.
Hidup dan Perjuangan K.H. Ahmad Rifa’i Kalisalak
Ahmad Rifa’i lahir tahun 1786 di Desa Tempuran Kendal. Ayahnya bernama Muhammad bin Sujak Wijaya, seorang Penghulu di Kendal. Ahmad Rifa’i merupakan anak bungsu dari delapan bersaudara. Sejak ditinggal mati kedua orangtuanya pada usia tujuh tahun, ia diasuh oleh kakaknya yang bernama Rojiyah istri Kiai Asy’ari seorang ulama terkenal dan pengasuh pondok pesantren di Kaliwungu. Di bawah bimbingan Kiai Asy’ari ia belajar ilmu–ilmu Islam yang lazim diajarkan di Pesantren seperti tafsir Al-Qur’an, Hadits, Nahwu, Sharaf, Manthiq, Fikih dan sebagainya. Setelah dianggap mampu oleh Kiai Asy’ari ia membantu kakak iparnya mengajar di pesantren tersebut (Darban, 1999: 23).
Sejak remaja Ahmad Rifa’i giat melakukan dakwah keliling di wilayah Kendal dan sekitarnya. Dakwah dan pengajiannya cukup menarik dengan menggunakan syair ditambah dengan sikapnya yang anti pemerintah kolonial. Sebelum pengajiannya diketahui pemerintah kolonial, ia telah berhasil menggalang kekuatan dari santri serta simpatisannya sehingga ketika kemudian pindah ke Kalisalak ia sudah mempunyai jaringan pengikut yang tersebar di daerah Kendal dan sekitarnya seperti Wonosobo, Pemalang, Pekalongan dan Batang. Dalam berdakwah ia tidak segan-segan menghujat penguasa kolonial dan birokrat pribumi yang berkolaborasi dengan pemerintah kolonial. Ia memandang pemerintah kolonial Belanda sebagai penguasa kafir dan sumber kerusakan yang terjadi pada masyarakat Jawa pada masa itu. Ia mengobarkan semangat pada masyarakat untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial dan mengatakan bahwa perang melawan penguasa kafir serta antek-anteknya sebagai perang sabil (jihad fisabilillah), jika gugur akan mati syahid (Jamil, 2001: 13).
Dalam usia 30 tahun ia menunaikan ibadah haji atas biaya kakaknya. Selama di Mekkah ia tinggal beberapa tahun untuk menuntut ilmu disana. Sudah menjadi kebiasaan orang-orang pada masa itu di samping menunaikan ibadah haji juga menuntut ilmu pada ulama setempat. Mekkah dan Madinah atau yang biasa disebut Haramain (dua tempat suci) menduduki posisi yang sangat penting dan menjadi daya tarik tersendiri bagi umat Islam. Mekkah dan Madinah memiliki kedudukan yang berkaitan dengan ibadah haji, kota kelahiran dan pertumbuhan awal Islam maupun pusat ilmu agama Islam. Selama di Mekkah K.H. Ahmad Rifa’i berguru kepada sejumlah ulama di sana. Guru-gurunya antara lain Syaikh Ibrahim al-Bajuri, Syaikh Abdurrahman, Syaikh Isa al-Barawi, dan Syaikh Faqih Muhammad bin Abdul Aziz al Jaisyi (Darban, 1999: 29). Kalangan Rifa’iyah meyakini di Mekkah ia bertemu dengan dua ulama terkenal Jawa yaitu Imam Nawawi dari Banten dan Kiai Kholil dari Madura. (Amin, 1994: 29). Ketiganya sangat prihatin dengan kondisi keagamaan masyarakat di Jawa yang masih jauh dari nilai-nilai Islam. Hal ini diperparah dengan hadirnya penjajah Belanda di Jawa. Mereka bertiga mengadakan musyawarah dan hasilnya adalah mereka sepakat untuk mengadakan pembaharuan dan pemurnian Islam lewat pengajian, dialog, dan penerjemahan kitab-kitab berbahasa Arab ke dalam bahasa Jawa. Selain itu ketiganya berbagi tugas untuk menulis kitab. K.H. Ahmad Rifa’i mengarang kitab yang membahas fikih, Kiai Nawawi menulis kitab yang membahas ushuluddin, dan Kiai Kholil menyusun kitab tasawuf (Amin, 1994: 29).
Sesudah menuntut ilmu di Mekkah ia pulang ke Kendal dan membantu kakaknya mengajar di pesantren, pada saat itu ia berumur 51 tahun. Kemudian ia pindah ke Kalisalak sebuah desa di Kecamatan Limpung Batang yang pada masa itu masuk dalam keresidenan Pekalongan. Sepulang dari Timur Tengah inilah masa produktif K.H. Ahmad Rifa’i dalam menulis kitab tarjamah atau tarojumah, ia mulai menulis kitab ketika berumur 54 tahun (Amin, 1989: 12).
Kitab-kitab karya K.H. Ahmad Rifa’i dinamakan Tarojumah dan ajarannya juga dinamakan ajaran Tarojumah karena memang kitab-kitab karyanya merupakan terjemahan dari beberapa ayat Al-Qur’an, hadits, dan kitab-kitab berbahasa Arab (Amin, 1989: 45). Sebenarnya penamaan kitab Tarojumah sendiri kurang tepat sebab tidak ada satu pun dari karya K.H. Ahmad Rifa’i yang benar-benar merupakan hasil terjemahan dari kitab-kitab berbahasa Arab (Abdullah, 2006: 92). Karya KH. Ahmad Rifa’i merupakan saduran dari kitab-kitab berbahasa Arab hasil tulisan ulama terdahulu ditambah dengan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Hadits. Penamaan Tarojumah bertujuan menghindari konsekuensi politis karena banyak ungkapan yang dinilai berbahaya bagi pemerintah kolonial Belanda, nama itu ditampilkan agar terkesan bahwa kitab itu bukanlah pandangan K.H. Ahmad Rifa’i sendiri, tetapi hanya sekadar menyalin dari kitab berbahasa Arab (Jamil, 2001: 25). Mengenai berapa jumlah kitab karya K.H. Ahmad Rifa’i masih simpang siur karena ada beberapa pendapat, di antaranya sebagai berikut: 61 buah (Amin 1989: 53), 53 buah (Kartodirdjo dkk, 1976: 301), 55 buah (Kuntowijoyo, 1999: 130). Perbedaan pendapat ini karena K.H. Ahmad Rifa’i juga menulis tanbih (semacam buletin). Sebagian memasukkannya sebagai kitab karya K.H. Ahmad Rifa’i sementara sebagian lagi tidak memasukkannya. Sebagian besar kitab Tarojumah membahas ushuluddin, fikih, dan tasawuf.
K.H. Ahmad Rifa’i adalah seorang juru dakwah yang pandai, ia mengemas ajarannya dalam kitab-kitab berbahasa Jawa berhuruf Arab (Arab Pegon) dan berbentuk syair yang menarik bagi orang Jawa, sehingga ajaran Islam mudah dihafal dan dipahami oleh masyarakat Jawa pada masa itu (Steenbrink, 1984: 106). Dalam berdakwah ia mengobarkan semangat anti kafir, anti penjajah dan gagasannya bisa dikategorikan tajdid (pembaharuan) atau purifikasi (pemurnian) dan fikihisasi karena ajarannya bersifat fiqh oriented (Abdullah, 2006: 34). Hal ini tidak mengherankan mengingat K.H. Ahmad Rifa’i pernah belajar dan bermukim beberapa tahun di Haramain (Mekkah dan Madinah) yang pada abad ke-19 meskipun secara politis berada di bawah kekuasaan Turki Utsmani (1299-1923), namun penguasa Turki tidak mampu membendung pengaruh kaum Wahabi yang dipimpin oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab yang menguasai Jazirah Arabia dalam bidang keagamaan. Gerakan ini sempat pula menguasai kota Mekkah dan Madinah. Kaum Wahabi amat menekankan pentingnya pemahaman akidah secara murni dan ketaatan pada syari’ah.
Imbas gerakan Wahabi sampai pula di Nusantara, orang-orang yang baru pulang menunaikan ibadah haji dari Mekkah sedikit banyak terpengaruh oleh gerakan Wahabi di Jazirah Arab pada abad ke-18 dan 19. Orang, guru agama, dan kiai yang pulang menunaikan ibadah haji diperkirakan memperoleh dan terpengaruh ide-ide pembaharuan dan sikap militansi (Kartodirdjo, 1973: 211). Semangat untuk lepas dari penindasan menjadi modal untuk membebaskan diri dari kaum penjajah di Jawa, dalam hal ini adalah Belanda dan antek-anteknya (Steenbrink, 1984: 211). Semangat yang sama dengan gerakan Wahabi terlihat pula pada pemikiran K.H. Ahmad Rifa’i yang dicirikan dengan sikapnya yang keras terhadap pelbagai bentuk penyimpangan atas ajaran-ajaran Islam dan terhadap para aparat birokrasi tradisional yang berkolaborasi dengan penguasa kafir. Hal ini wajar mengingat salah satu guru K.H. Ahmad Rifa’i yaitu Syaikh Muhammad bin Abdul Aziz al-Jaisyi adalah salah seorang ulama Wahabi (Abdullah dkk, 2002: 235). Akan tetapi tidak semua paham Wahabi diambil oleh KH. Ahmad Rifa’i. Hal ini bisa dilihat dari kecenderungannya pada Mazhab Syafi’i dalam bidang fikih - sementara kaum Wahabi menganut Mazhab Hanbali - dan sumber hukum ajaran Tarojumah adalah Al-Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Ini berbeda dengan paham Wahabi yang hanya bersumber pada Al-Qur’an dan Hadits serta menuntut adanya ijtihad dalam menggali dan menetapkan suatu hukum yang belum ditemukan dalam dua sumber utama tersebut serta menolak sikap taklid. Selain itu kaum Wahabi sangat menolak tasawuf, hal ini berbeda dengan K.H. Ahmad Rifa’i yang meskipun secara eksplisit tidak berkiblat pada tarekat tertentu tetapi menulis sejumlah kitab tentang tasawuf.
Di Kalisalak ia membangun sebuah komunitas pengajian, mula-mula ia mengajar anak-anak membaca Al-Qur’an. Namun lambat laun orang dewasa dari Desa Kalisalak dan sekitarnya tertarik untuk mengaji padanya. Di desa tersebut K.H. Ahmad Rifa’i menikah dengan janda Demang Kalisalak yang bernama Nyai Sujinah. Pernikahan K.H. Ahmad Rifa’i dengan Nyai Sujinah menunjukkan bahwa dirinya mendapat dukungan dari orang yang mempunyai status sosial cukup tinggi yang nantinya dapat memberi manfaat bagi kelangsungan dakwah. Di tempat barunya ini K.H. Ahmad Rifa’i menyebarkan pemikiran Islam melalui kitab Tarojumah yang ia tulis sendiri. Kitab Tarojumah ini berbentuk nazham atau syair dalam bahasa Jawa dan berhuruf Arab (Arab Pegon). Hal ini tidak lepas dari kondisi sosio-kultural orang Jawa pada abad ke-19 yang tidak memungkinkan untuk mempelajari dan memahami kitab-kitab yang berbahasa Arab. Selain itu agar mudah dihafalkan dan dipahami. Lambat laun komunitas keagamaan yang dibangun oleh K.H. Ahmad Rifa’i di Kalisalak menarik penduduk sekitar dan daerah lain menjadi santrinya. Umumnya para santri pengikut K.H. Ahmad Rifa’i adalah masyarakat desa yang mayoritas bekerja sebagai petani. Untuk memfasilitasi minat para santrinya yang ingin tinggal dekat dengannya ia mendirikan masjid dan pondok pesantren di Kalisalak sehingga pengikutnya sering juga disebut Santri Kalisalak. Dalam kaitannya dengan upaya dakwah yang dilakukannya, ada tujuh metode dakwah yang dikembangkan K.H. Ahmad Rifa’i sebagai berikut:
- Menerjemahkan Al-Qur’an, Hadits dan kitab-kitab berbahasa Arab karangan ulama terdahulu ke dalam bahasa Jawa dengan huruf Arab Pegon berbentuk nazham atau syair;
- Mengadakan kunjungan silaturahmi dari rumah ke rumah famili dan masyarakat;
- Menyelenggarakan pengajian umum dan dakwah keliling ke daerah yang penduduknya miskin secara materi dan agama guna membendung budaya asing;
- Menyelenggarakan dialog di masjid atau di langgar (mushola);
- Mengadakan kegiatan kesegaran jasmani bagi pemuda;
- Mengadakan gerakan protes sosial keagamaan terhadap birokrat pribumi dan Belanda;
- Untuk mempererat hubungan antara guru dengan murid dan antara murid dengan murid, biasa dilakukan pula pernikahan sesama murid, anak guru dengan murid (Amin, 1996: 106).
Di Kalisalak K.H. Ahmad Rifa’i tetap melakukan kecaman dan protes terhadap Pemerintah dan birokrat pribumi. Tindakan ini tentu sangat meresahkan pemerintah kolonial yang menganggap sikap militan K.H. Ahmad Rifa’i sebagai ancaman. Kekhawatiran serupa melanda birokrat pribumi yang khawatir kedudukan dan otoritasnya terancam. Berikut ini adalah kutipan pernyataan K.H. Ahmad Rifa’i dalam Nazham Wiqayah, salah satu kitab karangannya (Darban, 1999: 39):
Slameta dunya akherat wajib kinira
Ngalawan raja kafir sakuasane kafikira
Tur perang sabil luwih kadane ukara
Kacukupan tan kanti akeh bala kuncara.
Artinya:
Keselamatan dunia akhirat wajib diperhitungkan
Melawan raja kafir sekemampuannya perlu difikirkan
Demikian juga perang sabil lebih dari pada ucapan
Cukup tidak menggunakan pasukan yang besar.
Pernyataan sikap yang serupa juga dikemukakannya terhadap para birokrat pribumi, seperti yang terdapat pada syair dalam Nazham Wiqayah berikut ini (Darban, 1999: 41):
Sumerep badan hina seba ngelangsur
Manfaate ilmu lan amal dimaha lebur
Tinemune priyayi laku gawe gede kadosan
Ratu, Bupati, Lurah, Tumenggung, Kebayan
Maring rojo kafir pada asih anutan
Haji, abdi, dadi tulung maksiyat
Nuli dadi khotib ibadah
Maring alim adil laku bener syareate
Sebab khawatir yen ora nemu derajat
Ikulah lakune wong munafik imane suwung
Anut maksiyat wong dadi Tumenggung
Artinya:
Melihat tubuh hina menghadap dengan tubuh merayap
Manfaatnya ilmu dan amal hilang binasa
Pendapat dan tindakan kaum priyayi membuat dosa besar
Ratu, Bupati, Lurah, Tumenggung, Kebayan
Kepada raja kafir senang jadi pengikut
Termasuk haji abdi, menolong kemaksiatan
Kemudian menjadi kadi khotib ibadah
Kepada alim adil bertindak membenarkan syareat
Sebab khawatir bila tidak mendapat kedudukan
Itulah amalan orang munafik yang kosong imannya
Mengikuti perbuatan maksiat orang yang jadi Tumenggung.
Protes itu disampaikan kepada santrinya di Pesantren Kalisalak maupun melalui pengajian dan khutbahnya di masjid. Gerakan protes yang dilakukan K.H. Ahmad Rifa’i dengan mengatakan bahwa pemerintah kolonial Belanda sebagai penguasa kafir, penindas, patut diperangi dan sumber kerusakan di Jawa terbukti berhasil menimbulkan kekisruhan yang dapat menimbulkan guncangan stabilitas pemerintahan di Jawa dan dikhawatirkan memunculkan gerakan anti-penjajah, meskipun tidak sampai menimbulkan pemberontakan fisik (Darban, 1990: 5). Hal ini membuat K.H. Ahmad Rifa’i dijadikan musuh bersama oleh Belanda dan aparat birokrasi tradisional. Segala daya dan upaya dilakukan untuk meniadakan K.H. Ahmad Rifa’i dan jama’ahnya dengan tuduhan bahwa ajarannya sesat dan menyesatkan.
Persepsi negatif terhadap K.H. Ahmad Rifa’i dan jamaahnya dapat ditemukan dalam Serat Cebolek karya Raden Panji Jayasubrata. Dalam Serat Cebolek dikisahkan dua tokoh ulama non-pemerintah yang dianggap mengajarkan ajaran sesat yaitu Syaikh Muhammad Mutamakin dari desa Cebolek-Tuban dan K.H. Ahmad Rifa’i dari Kalisalak (Kuntowijoyo, 1999: 123). Syaikh Mutamakin dituduh mengajarkan mistik sesat yaitu ilmu kasunyatan dan menganjurkan orang untuk meninggalkan syari’at dan bisa mengganggu ketertiban umum. Mutamakin menjadi tersangka dan Ketib Anom dari Kudus menjadi pahlawan. Mutamakin selamat dari hukuman karena adanya suksesi kekuasaan dari Amangkurat IV kepada Paku Buwono II. Keadaan berbeda dialami K.H. Ahmad Rifa’i yang dituduh mengajarkan ajaran sesat, menyatakan dirinya sebagai satu-satunya ’alim adil, dan tidak mengesahkan shalat jum’at di masjid lain selain masjidnya. K.H. Ahmad Rifa’i disuruh berdebat dengan Haji Pinang Penghulu Batang, meskipun awalnya menang tetapi pada akhirnya ia harus menerima kekalahan dan dibuang ke Ambon kemudian dipindahkan ke Manado hingga wafat pada 1286 H/1878 M dalam usia 92 tahun (Yayasan Rifa’iyah, 2001: 2).
Tindakan pengasingan yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda merupakan
usaha preventif untuk mencegah timbulnya bahaya yang bisa mengganggu ketertiban dan keamanan, untuk itu ia harus dijauhkan dari jamaahnya. Meskipun jauh dari pengikutnya ia masih sempat mengirimkan surat dan empat kitab yang dititipkan pada saudagar Semarang yang bernama Abdullah (Darban, 1999: 52). Keempat kitab itu adalah Targhibul Mithalab tentang ushuluddin, Hidayatul Himmah tentang tasawuf, Kaifiyatul Miqshad tentang ibadah dan Nasihatul Haq tentang tasawuf. Surat dari K.H. Ahmad Rifa’i ditujukan kepada menantunya Maufuro, istri dan para santrinya yang isinya antara lain:
- Agar para santrinya tetap mantap dan jazem mengamalkan kitab tarojumah dengan jalan menyalin, mendalami, dan mengamalkannya agar selamat dunia akhirat;
- Kepada santri yang telah mendalami dan berlaku adil agar menjadi saksi, memberi fatwa dan mengesahkan keislaman orang yang membutuhkan;
- Agar santrinya masih ada yang berani melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Ia mengkhawatirkan adanya musibah kerusakan agama di Jawa setelah ditinggalkannya;
- K.H. Ahmad Rifa’i menganjurkan para santri dan pengikutnya jangan mempunyai rasa belas kasihan terhadap pemerintah kafir;
- Wasiat khusus bagi istrinya Sujinah, apabila belum kawin lagi tetap dianggap sebagai istrinya. Namun apabila sudah kawin dengan orang lain ia ridho dan ikhlas. Di samping itu kitab Asnal Miqshad agar diberikan kepadanya.
Jika pesan-pesan tersebut diamati, ia masih mempunyai semangat dan idealisme dalam perjuangan meskipun ia hidup di pengasingan jauh dari para pengikutnya. Hal ini bisa dilihat dari perintahnya agar tetap amar ma’ruf nahi munkar terhadap penguasa zalim (Darban, 1999: 62-63).
Di antara murid-murid generasi pertama K.H. Ahmad Rifa’i adalah K.H. Abdul Qohar (Kendal), K.H. Muhammad Tubo, K. Abu Ilham (Batang), K. Maufuro (Limpung), K. Hasan Dimejo (Wonosobo), K. Abdus Saman (Kendal), K. Abdullah/Dolak (Magelang), Abdul Ghani Wonosobo, Muhammad Toyyib (Wonosobo), Ahmad Hasan (Pekalongan), Nawawi (Batang), dan sebagainya. Murid-muridnya inilah yang menyebarkan ajaran Tarojumah ke berbagai daerah di Jawa Tengah dan sekitarnya (Amin, 1989: 22). Sekarang pengikut Jamaah Rifa’iyah dan simpatisannya tersebar di beberapa daerah di Jawa Tengah dan Jawa Barat bagian utara seperti Kendal, Pekalongan, Batang, Wonosobo, Pati, Magelang, Demak, Purwodadi, Pemalang, Indramayu, Cirebon dan sebagainya bahkan sampai ke Jakarta.
Daftar Sumber:
Abdullah, Shodiq. 2006.
Islam Tarjumah: Komunitas, Doktrin dan Tradisi. Semarang: Rasail.
Amin, Ahmad Syadzirin. 1989.
Mengenal Ajaran Tarajumah Syaikh H. Ahmad Rifa’i
dengan Mazhab Syafi’i dan I’tiqad Ahli Sunnah Waljamaah. Jakarta: Jamaah Masjid Baiturrahman.
___________________. 1994.
Pemikiran Kyai Haji Ahmad Rifa’i Tentang Rukun Islam Satu. Jakarta: Jamaah Masjid Baiturrahman.
___________________. 1996.
Gerakan Syaikh Ahmad Rifa’i Dalam Menentang Kolonial Belanda. Jakarta: Jama’ah Masjid Baiturrahman.
Azra, Azyumardi. 1994.
Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Bandung: Mizan.
_____________. 1999.
Renaisans Islam Asia Tenggara. Bandung: Remaja Rosdakarya.
van Bruinessen, Martin. 1995.
Kitab Kuning, Pesantren, Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia.
Bandung: Mizan.
__________________. 1999.
Rifa’iyah: Gerakan Sosial Keagamaan di Pedesaan Jawa Tengah (1850-1982).Yogyakarta: Tarawang.
Jamil, Abdul. 2001.
Perlawanan Kiai Desa: Pemikiran dan Gerakan Islam K.H. Ahmad Rifa’i Kalisalak. Yogyakarta: LKiS.
Kartodirdjo, Sartono. 1976.
Sejarah Nasional Indonesia Jilid IV. Jakarta: Balai Pustaka.
Kuntowijoyo. 1991.
Paradigma Islam, Interpretasi Untuk Aksi. A.E. Priyono ed. Bandung: Mizan.
Nahrawi, Nahar dkk. 1983.
Laporan Penelitian Tentang Potensi Lembaga Keagamaan Seri IV, Gerakan Rifa’iyah. Semarang: Balai Penelitian Aliran Kerohanian/Keagamaan.
Simuh. 2003.
Islam dan Pergumulan Budaya Jawa. Jakarta: Teraju.
Steenbrink, Karel.1984.
Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad XIX. Jakarta: Bulan Bintang.
Yayasan Rifa’iyah. 2001.
Laporan Penelitian Pemugaran dan Pembangunan Makam Syaikh K.H. Ahmad Rifa’i. Jakarta: Yayasan Rifa’iyah.
Secara kuantitatif institusi-institusi pendidikan keagamaan di Mekah dan Madinah tidak pernah sebanyak yang dimiliki Baghdad dan Kairo. Akan tetapi institusi-institusi pendidikan keagamaan yang ada di Mekkah dan Madinah pada masa itu berupa halaqah (lingkaran belajar) yang diadakan di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi di Madinah, ribath (sering pula disebut Zawiyah yaitu pondokan sufi) dan kuttab yaitu semacam madrasah kecil yang biasanya diselenggarakan di rumah guru (Azra, 1994: 16, 144). Lewat lembaga-lembaga ini terciptalah “Jaringan Ulama”. Inti dari jaringan ini adalah sejumlah ulama terkemuka yang datang dari berbagai penjuru dunia muslim, mereka menetap dan mengajar di Haramain. Hal inilah yang menjadi daya tarik tersendiri bagi umat Islam dari segala penjuru dunia. Selain menunaikan ibadah haji mereka juga menuntut ilmu agama di Haramain (Darban, 1999: 24).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar