Salah satu perbedaan dan pemicu munculnya dua kubu yang berbeda antara Syiah dan Sunni adalah masalah imamah. Seperti dikemukakan oleh Muthahhari, bahwa prinsip imamah merupakan prinsip yang sangat penting, khususnya dalam ajaran Syi’ah bahkan menjadi salah satu bagian dari aqidahnya yang terangkum dalam al-ushul al-khamsah (lima ajaran pokok).
Kata imamah sendiri, menurut Muthahhari, diambil dari kata imam ’pemimpin’ sehingga imamah secara bahasa adalah ”kepemimpinan”. Adapun secara istilah, Thusi menyebutkan bahwa imamah merupakan luthf (pancaran kasih Allah Swt) yang diturunkan untuk menjaga manusia dari kerusakan dengan tugasnya untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Dikarenakan imamah adalah luthf Allah Swt, maka dengan sendirinya mensyaratkan penunjukkan (ta’yin) bukan kesepakatan sosial seperti yang diyakini oleh kelompok Sunni.
Dalam kedudukannya, imamah berbeda dengan nubuwwah (kenabian), dalam arti kedudukan seorang imam berbeda dengan nabi, nabi bukanlah imam dan begitu juga sebaliknya. Namun, terdapat beberapa nabi yang juga sekaligus imam seperti kedudukan Nabi Ibrahim as dan Nabi Muhammad Saw. Sedangkan tugas Nabi secara umum adalah hanya menyampaikan wahyu Allah Swt.
Permasalahan imamah itu sangat penting karena berkaitan dengan siapa yang memimpin sepeninggal Nabi Saw. Faktor inilah yang kemudian menjadi pemicu dari berbagai perbedaan yang ada di kemudian hari seperti yang tampak juga pada saat ini. Terdapat dua kubu dalam masalah ini, yaitu yang menyerahkan masalah kepemimpinan setelah Nabi Saw kepada kesepakatan sosial sehingga dalam konteks sejarah memunculkan sosok Abu Bakar ash-Shiddiq ra sebagai khalifah pertama pengganti Nabi Saw dari hasil aklamasi para shahabatnya. Namun, kubu yang lain mengatakan bahwa imamah merupakan sendi agama yang tidak bisa dilepaskan dari aspek kenabian sehingga dalam masalah pengangkatan pemimpin harus berdasarkan nash yang sah dan penunjukkan dari Allah Swt melalui Nabi Saw, yang akhirnya memunculkan kelompok Syi’ah yang meyakini bahwa pemimpin setelah Nabi Saw adalah Ali ibn Abi Thalib kw yang ditunjuk langsung oleh Allah Swt melalui Nabi Saw yang diumumkan kepada kaum muslimin di Ghadir Khum.
Terdapat perbedaan mengenai pengertian, batasan, fungsi dan maksud imamah antara Syi’ah dengan golongan-golongan Islam lainnya, terutama golongan Ahl al-Sunnah (Sunni). Dalam Ahl al-Sunnah, sebagaimana ditegaskan oleh Subhi Abduh Said dalam kitabnya al-Hakim wa Ushul al-Hukm fi Nizham al-Islam, imamah dibatasi pada masalah kekuasaan atau pemerintahan, karena itu ia hanya dilihat sebagai masalah kemaslahatan ummat dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan masalah “agama”.
Masalah agama sudah dianggap selesai dengan wafatnya Rasulullah saw; dan kalau toh ada persoalan-persoalan yang belum jelas, maka menurut Ahl al-Sunnah diatasi dengan ijtihad. Oleh sebab itu, tegasnya, Ahl al-Sunnah meyakini bahwa tugas penguasa Islam sesudah Nabi Muhammad Saw hanya mengurusi urusan kaum Muslimin, bukan urusan “agama”.
Ahmad Mahmud Subhi, pemikir Islam asal Mesir, juga mengatakan hal yang sama. Ia menegaskan bahwa khilafat (imamah) menurut Ahl as-Sunnah hanya merupakan masalah furu’ dan urusan fiqih serta satu di antara sekian masalah kemashlahatan umat yang tidak ada hubungannya dengan agama.
Pandangan yang sama juga dikemukakan oleh Ibn al-Qayyim, tokoh Ahl al-Sunnah terkemuka, bahwa masalah siyasah (politik) adalah sesuatu yang membawa masyarakat kepada kebaikan dan mencegahnya dari kerusakan, meskipun Rasul Saw sendiri tidak menjelaskannya dan tidak turun wahyu mengenainya. Menurutnya, barangsiapa mengatakan bahwa urusan siyasah hanya dapat dijalankan melalui ketentuan agama, sungguh telah melakukan kesalahan dan telah menganggap para sahabat melakukan kesalahan.
Mengapa Ahl al-Sunnah berpandangan demikian? Ahmad Subhi menjelaskan, itu karena Ahl al-Sunnah memandang bahwa Rasul saw tidak menunjuk seorang pun untuk menggantikannya. Selain itu, al-Qur`an tidak merinci aturan tentang bentuk pemerintahan atau masalah-masalah kekuasaan yang terkait dengan khilafah.
Berbeda dengan Syi’ah yang menganggap bahwa meskipun masalah agama telah sempurna saat Rasulullah saw wafat, dan oleh karena itu tidak ada Nabi lagi sesudah Nabi Muhammad saw, tapi kebutuhan umat manusia kepada pembimbing (al-hadi atau al-mursyid), yang menunjuki jalan kebenaran dan mengingatkan mereka dari jalan kesesatan, tidak pernah berakhir. Umat manusia selamanya memerlukan pembimbing. Karena itu ketika kenabian berakhir tidak berarti bahwa bimbingan ini berakhir pula. Bedanya, sesudah Nabi Muhammad wafat, bimbingan itu beralih ke bentuk imamah. Karenanya, segala sesuatu yang berkaitan dengan masalah nubuwwah (kenabian), kecuali urusan wahyu, terkait pula dengan masalah imamah, seperti masalah wujub bi’tsah (wajibnya pengutusan), ‘ishmah (kesucian), dan sebagainya. Oleh karena itu, tidak heran jika Syi’ah mendudukan masalah imamah ini sebagai bagian dari pokok-pokok agama (ashl min ushul ad-din), karena menganggap masalah imamah sama dengan masalah nubuwwah.
Adapun masalah pemerintahan, Syi’ah memandangnya sebagai bagian dari tugas imamah. Artinya seorang imam sekaligus adalah sebagai kepala negara dan atau pemerintahan. Namun tidak selamanya imamah harus menduduki kursi kekuasaan. Seperti dikemukakan oleh Muthahhari bahwa dalam persoalan imamah dari sudut pandang Syi’ah, jangan sampai kita membuat suatu kesalahan dengan menyederhanakannya bahwa imamah berarti administrasi pemerintahan, karena penyederhanaan seperti inilah yang menciptakan berbagai kesulitan. Bila orang berbicara tentang imamah, segera masuk dalam pikirannya tentang penguasa, padahal sebenarnya persoalan penguasa merupakan bagian kecil dari imamah.
Pendapat Muthahhari di atas senada dengan apa yang disampaikan oleh Jafar Subhani, bahwa imamah merupakan fungsi kepemimpinan yang lebih umum yang menyangkut urusan agama dan dunia (riasah ‘ammah fi umur ad-din wa ad-dunya). Selain itu, menurut Subhani, imamah merupakan kelanjutan dari misi kepemimpinan Nabi Saw dalam menegakkan ajaran-ajaran agama yang wajib ditaati oleh umat.
Thusi dalam masalah imamah mengatakan bahwa dalam membahas masalah tersebut harus dijawab lima pertanyaan: (1) apa itu imam? (2) adakah imam dalam setiap waktu? (3) apa alasannya harus ada imam? (4) bagaimana sifat-sifat imam? Dan (5) siapakah imam itu?
Dalam menjawab pertanyaan pertama yaitu apa itu imam, Thusi pun berpendapat sama dengan pendapat-pendapat di atas bahwa imamah merupakan kepemimpinan umum yang mencakup urusan agama dan dunia. Sedangkan dalam menjawab pertanyaan kedua dan ketiga, Thusi mengatakan bahwa keberadaan imam dalam setiap waktu merupakan kesimpulan rasional, dikarenakan hal itu merupakan wujud keadilan dan luthf Allah Swt untuk kebaikan umat manusia. Ketiadaan imam berarti bertentangan dengan keadilan dan luthf-Nya. Sedangkan dalam menjawab pertanyaan keempat mengenai sifat-sifat imam yang pertama dibahas adalah keharusan ‘ishmah (kesucian), keluasan ilmu dalam masalah agama dan dunia, memiliki sifat keberanian dalam menentang kezhaliman, merupakan manusia utama dari manusia-manusia lain, memiliki sifat-sifat mulia seperti tidak serakah dan sebagainya.
Lebih jauh, jika dilihat secara seksama Khomeini (penggagas konsep wilayat al-faqih atau otoritas dari seorang faqih/ulama) meletakkan dasar pemikirannya pada prinsip imamah, ri’asah atau wilayah (otoritas) ini. Ia adalah salah seorang yang meyakini bahwa wali faqih memiliki otoritas penuh yang sama dengan para imam (al-wilayah al-’ammah). Sehingga dalam pandangannya seorang wali faqih memiliki otoritas penuh dan menyeluruh atas seluruh aspek kehidupan sosial politik dan agama. Ia memiliki otoritas untuk mengatur segala urusan yang terkait dengan masalah negara dan sosial, seperti otoritas memerintah, memutuskan perkara persengketaan, melaksanakan hukum syariat seperti hudud dan ta’zir, mengurusi anak-anak yang tidak memiliki orang tua dan orang-orang gila serta harta orang-orang yang tidak ketahuan rimbanya dan sebagainya yang terkait dengan urusan sosial. Otoritas semacam ini diyakini ada pada Nabi saw dan para Imam.
Bahkan untuk Nabi dan para Imam, selain otoritas di atas yang masuk dalam kategori al-wilayah al-zhahiriyyah (otoritas atas hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan formal saja), Nabi saw dan para imam juga memiliki otoritas atas alam, yakni kemampuan menundukkan dan mengatur alam, yang lazim disebut dengan al-wilayah at-takwiniyyah atau al-wilayah al-bathiniyyah.
Wilayat al-Faqih masuk dalam katagori al-wilayah al-zhahiriyyah dan tidak ada hubungannya dengan al-wilayah at-takwiniyyah. Artinya, meskipun seorang faqih diyakini memiliki al-wilayah al-’ammah atas urusan-urusan sosial-politik masyarakat, tidak berarti bahwa faqih juga memiliki al-wilayah at-takwiniyyah. Keduanya berbeda dan tidak saling berhubungan, sebab wilayat al-faqih hanyalah wilayah i’tibariyyah, kepemilikannya diperoleh karena pengangkatan atau pemberian oleh pemilik wilayah sebenarnya, yakni Allah, Nabi Saw atau para Imam, tidak lebih dari itu; atau wilayah tasyri’iyyah, yang otoritasnya hanya dalam bingkai syariat yang ditetapkan atasnya.
Dengan demikian, seperti ditegaskan Khomeini, meskipun seorang faqih memiliki wilayah ‘ammah tidak berarti bahwa kedudukan mereka sama dengan kedudukan Nabi dan para Imam, karena ketika bicara tentang adanya wilayah pada faqih bukan bicara tentang kedudukan atau maqam tapi berbicara mengenai kewajiban dan tanggung jawab.**[harjasaputra, disarikan dari berbagai referensi]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar