Sebanyak 60 wartawan mewakili 34 provinsi di Indonesia yang merupakan peserta Sekolah Jurnalisme Kebudayaan PWI (SJK-PWI) Angkatan ke-2 melakukan studi tur ke Istana Bogor, Jumat (19/7). Ansari/Serambi
PENGANTAR: Sebanyak 60 wartawan dari 34 provinsi se-Indonesia diundang ikut Kegiatan Peningkatan Kompetensi Kebudayaan bagi Wartawan Ke-2 sejak 18-25 Juli. Even ini hasil kerja sama Sekolah Jurnalisme Kebudayaan PWI (SJK-PWI) dengan Kemendikbud. Wartawan Serambi, Ansari Hasyim ikut menyertainya. Selain mengikuti materi indoor, peserta juga studi tur (praktik lapangan) ke tiga lokasi: Istana Bogor, Kampung Budaya Sindang Barang, dan SKI Tajur.Berikut catatannya dari Istana Bogor yang ditulis dalam dua bagian.
HARI masih pagi. Cahaya mentari menyelinap masuk ke celah pepohonan. Di sebuah sudut halaman rumput hijau yang luas, lelaki berjas itu berdiri mengamati tingkah sekelompok rusa tutul asal Nepal yang jinak merumput.
“Setiap Jumat beliau selalu menyempatkan diri melihat-lihat sekitar istana yang banyak dihuni rusa-rusa piaraan,” kata Endang Sumitra (53), Kepala Subbidang Rumah Tangga dan Protokoler Istana Bogor kepada Serambi, Jumat (19/7) lalu. Endang bercerita tentang lelaki berjas itu yang tak lain adalah Soekarno, presiden pertama Republik Indonesia, saat menghabiskan hari-harinya di Istana Bogor.
Serambi bersama 60 wartawan lainnya dari 34 provinsi di Indonesia mendapat kesempatan masuk Istana Bogor, dalam rangka studi tur (praktik lapangan) kegiatan Peningkatan Kompetensi Kebudayaan bagi Wartawan Angkatan Ke-2. Kegiatan ini dilaksanakan Sekolah Jurnalisme Kebudayaan-PWI bekerja sama dengan Kemendikbud di Bogor, 18-25 Juli di Bogor, Jawa Barat. Saat wartawan berkunjung yang dipimpin Direktur SJK-PWI Yusuf Susilo Hartono, Istana Bogor tampak sepi.
“Kalau bulan puasa jadwal kunjungan diliburkan. Tapi karena wartawanyang datang kami membukanya,” kata Endang ramah.
Lelaki berkaca mata itu merupakan generasi keempat yang tinggal dalam kompleks Istana sejak 1920. Hingga kini, Endang sudah 32 tahun menghabiskan usianya mengurusi Istana Bogor.
“Saya kecil dan besar di sini, dekat masjid (Baitussalihin). Sekarang usia saya sudah 53 tahun. Sebentar lagi mau pensiun,”ujarnya. Suasana sejuk dan asri seketika menyeruak saat pertama kali melangkahkan kaki di halaman Istana Bogor. Cericit burung dan rimbunnya pepohonan raksasa berusia ratusan tahun seolah membawa pengunjung kembali ke masa jaya Presiden Soekarno.
Simbol cinta
Keberadaan Istana Bogor seolah tak dapat dipisahkan dengan Soekarno. Sang Proklamator itu sangat mencintai Istana Bogor. Rasa cintanya pada Istana Bogor juga diungkapkan lewat koleksi lukisan yang terpajang dan tersimpan dalam istana. Salah satunya lukisan berjudul “Dalam Sinar Bulan” karya Basuki Abdullah yang menggambarkan perempuan cantik berpakaian sari India.
Konon, sosok tersebut adalah Ratna Sari Dewi, salah satu istri Presiden Soekarno. Lukisan ini terlihat agak misterius karena dilihat dari sisi mana pun, sorot matanya mengikuti orang yang melihatnya. Melihat lukisan itu seperti ada nuansa masa lalu dan romantisme Soekarno bersama wanita-wanita pujaannya hidup kembali.
Sejarah mencatat 44 Gubernur Jenderal Belanda pernah menjadi penghuni Istana Bogor, yang sebelumnya disebut Buitenzorg (bebas masalah).
Gubernur Jenderal Belanda, GW Baron van Imhoff adalah orang pertama yang mencetuskan ide pembangunan Istana Bogor.
Suatu ketika ia merasa Batavia (Jakarta) sudah terlalu panas dan ramai, sehingga orang-orang Belanda mencari tempat yang berhawa sejuk di luar Batavia. Pada 1744 Gubernur Jenderal Belanda GW Baron van Imhoff akhirnya menemukan tempat strategis di Kampoeng Baroe yang kemudian disebut Bogor.
Setahun kemudian atau pada 1745, Gubernur Jenderal BelandaGW Baron van Imhoff memerintahkan pembangunan Istana Bogor dengan mencontoh arsitektur Istana Blenheim di Inggris.
Namun, pada 10 Oktober 1834 gempa merusak Istana Bogor.
Pada masa pemerintahan Albertus Yacob Duijmayer van Twist (1851-1856), bangunan lama yang terkena gempa dirobohkan dan dibangun baru bergaya arsitektur Eropa Abad IX. Pembangunan kembali Istana Bogor selesai pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Charles Ferdinan Fahud de Montager (1856-1861).
Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborg Stachouwer (1936-1942) merupakan penghuni terakhir Istana Bogor. Ia akhirnya terpaksa harus menyerahkan Istana Bogor kepada Jenderal Imamura, sebagai pemerintah pendudukan Jepang.
“Pada tahun itu Istana Bogor mengalami catatan kelam. Pemerintah Jepang menjadikan Istana Bogor markas pertahanan. Semua barang-barang dalam istana dikosongkan dan hanya sebagian kecil yang tersisa. Jepang juga menutup kolam di depan istana dengan semak-semak untuk menghindari pantulan cahaya, agar tak terdeteksi musuh,” tutur Endang. Istana Bogor diambilalih pemerintah RI pada 1949 dan berfungsi sebagai Istana Kepresidenan.(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar