Sebelum Lord Minto bertugas sebagai Gubernur Jenderal pada 1807 di India, sejatinya dia telah berencana untuk mengurangi kendali Prancis atas pulau Mauritius, Bourbon, dan Jawa.
Pada 1810 Belanda takluk atas Prancis, sehingga seluruh daerah kekuasaannya dicaplok Prancis—termasuk Jawa. Napoleon Bonaparte menunjuk seorang Belanda bernama Jenderal Jan Willem Janssens sebagai Gubernur Jenderal di Jawa yang menggantikan Herman Willem Daendels.
Sementara itu Inggris berusaha melanjutkan peperangannya terhadap Prancis. Perang Inggris-Prancis boleh dikata sebagai perseteruan bebuyutan sejak awal milenium kedua silam. Panggung Perang Napoleon di Eropa pun menjalar hingga ke Jawa.
Apa yang dibayangkan Minto terlaksana. Sebuah ekspedisi militer Inggris bergerak melintasi Samudra Hindia menuju Jawa pada pertengahan 1811. Ekspedisi tersebut dipimpin oleh Letnan Jenderal Sir Samuel Auchmuty, seorang Amerika yang pernah membantu Inggris dalam Perang Kemerdekaan Amerika.
Hampir 12.000 tentara dan 100 kapal, termasuk 4 kapal perang, 14 kapal pengawal, 7 kapal penjaga, dan 8 kapal penjelajah East Indian Company berada dalam konvoi laut militer Inggris tersebut. Kelak sejarah mencatatnya sebagai ekspedisi militer terbesar sebelum Perang Dunia Kedua!
Mereka membuang sauh di Teluk Batavia pada pukul dua siang di hari Minggu, 4 Agustus 1811. Kemudian para serdadu Inggris berjejak di Cilincing, daerah rawa di pesisir Batavia. Tiga hari kemudian mereka berhasil menyebarangi Sungai Ancol, dan bergerak dalam senyap menuju Kota Batavia.
Pengepungan dan penyerangan Balai Kota Batavia dilakukan pada pukul sebelas malam. Serdadu Inggris tidak mengalami kesulitan memasuki kota ini lantaran tembok yang mengelilingi kota ini telah dirobohkan oleh Daendels pada 1808-1810. Pusat kota yang tadinya dalam pelukan Prancis pun jatuh dengan mudah dalam cengkeraman Inggris.
Sebelum azan Subuh berkumandang pada 10 Agustus 1811, serdadu Inggris telah bergerak menyusuri pinggiran kanal Molenvliet—kini Jalan Hayam Wuruk dan Gajah Mada—menuju sebuah kawasan barak-barak militer di Weltevreden—kini seputar Lapangan Banteng. “Bangunan rumah sepanjang jalanan yang kami lalui umumnya mewah,” demikian kenang Mayor Brigade William Thorn dalam bukunya Memoir of the Conquest of Java yang terbit pada 1815.
Pertempuran Weltevreden yang bergolak saat terbitnya matahari itu berlangsung sekitar dua jam. Thorn yang kala itu turut terluka di bagian kepalanya mencatat bahwa jumlah serdadu Inggris yang terluka, tewas, dan hilang sebanyak 99 orang—plus tiga kuda tewas.
Ekspansi militer Lord Minto berlanjut menyisir Kwitang, Kramat, dan Salemba menuju Meester Cornelis, sebuah kamp militer serdadu Napoleon dengan pertahanan benteng di pinggir Ciliwung. Kini, benteng itu telah lenyap, namun lokasinya sekitar Pasar Jatinegara.
Pertempuran kadang berhenti dalam sehari, yang digunakan untuk korespondensi perundingan dengan Gubernur Jenderal Janssens seputar pertukaran tawanan perang pada pertempuran 10 Agustus di Weltevreden.
Meskipun dalam kekalutan perang, pasukan Prancis tidak melupakan pemimpin tertinggi mereka. Thorn mencatat, “Pada 15 Agustus, hari ulang tahun Bonaparte dirayakan dengan dentuman meriam dari sejumlah pos pertahanan mereka, yang sebelumnya ditarik keluar dan diinspeksi oleh Jenderal Janssens.”
Thorn juga mendeskripsikan pertempuran itu dengan dramatis. “Sejumlah peluru dan roket ditembakkan. Kemudian ledakan hebat disusul abu kuning kehijauan, asap, dan berbagai pecahan berhamburan di depan kami bagai gunung api, yang membuat tuli sekeliling, baik kami maupun musuh.” Dia lalu menambahkan, “ Bencana ini dibarengi dengan keheningan yang mengerikan untuk beberapa saat.”
Tampaknya serdadu Inggris harus menghadapi pertempuran sengit dengan musuh bebuyutannya di Cornelis. Setidaknya mereka harus mati-matian merebut benteng itu selama 17 hari! Bagi pihak Inggris, pertempuran selama itu telah mengakibatkan korban luka, tewas, dan hilang sebanyak 736 serdadu Eropa dan 153 serdadu India.
Pertempuran demi pertempuran terus berlanjut yang berakhir dengan menyerahnya Janssen di Tuntang, dekat Kota Salatiga, pada 16 September 1811. Bendera Inggris pun berkibar di benteng-benteng seantero Jawa.
Pertempuran Meester Cornelis meninggalkan sebuah kenangan toponimi di sekitar Jatinegara. Konon, di sebuah kawasan yang dulunya banyak mayat korban pertempuran serdadu Inggris dan Prancis itu warga menjulukinya dengan Rawa Bangke. Nama kampung itu masih tercetak dalam peta Batavia 1930-an. Kini, kampung tersebut berubah nama menjadi Rawa Bunga.
Dari serdadu-serdadu yang terluka pada Pertempuran Meester Cornelis 26 Agustus 1811, Thorn mencatat nama seorang rekannya: “Lieutenant-Colonel Campbell”. Serdadu malang itu akhirnya tewas dua hari kemudian dan dimakamkan di sebuah lahan di dekat Pasar Baru.
Beberapa tahun kemudian, di pusaranya terdapat sebongkah batu nisan dengan ukiran penanda. Janda Campbell mengekspresikan perasaannya pada nisan itu, “Here lie the Remains of lieutenant-colonel WILLIAM CAMPBELL of His Britannic Majesty’s 78th regt. Who died on 28th of Augs. 1811, of wounds received on the 26th of that month, while bravely leading on his Regt. To attack the strongly fortified Lines of Cornelis defended by a gallant enemy. To him who living was beloved by all for his gentle manners and his many virtues who in Death merited and received the applause of his country to him the companion of many years and the father of his children, this frail memorial of unperishing reward is erected by his afflicted widow.”
Kemudian makamnya menjadi bagian halaman gedung Kantor Pos Besar di Pasar Baru. Sekitar seratus tahun setelah Perang Napoleon di Meester Cornelis , makam Campbell tetap tidak tergusur. Namun, ada seseorang yang iba karena makam kolonel malang itu sudah beralih fungsi sebagai papan cuci. Akhirnya, pada November 1913 nisan dan sisa jasadnya dipindahkan ke halaman Gereja Anglikan di kawasan Tugu Tani, Jakarta Pusat.
(Mahandis Y. Thamrin/NGI)
Pada 1810 Belanda takluk atas Prancis, sehingga seluruh daerah kekuasaannya dicaplok Prancis—termasuk Jawa. Napoleon Bonaparte menunjuk seorang Belanda bernama Jenderal Jan Willem Janssens sebagai Gubernur Jenderal di Jawa yang menggantikan Herman Willem Daendels.
Sementara itu Inggris berusaha melanjutkan peperangannya terhadap Prancis. Perang Inggris-Prancis boleh dikata sebagai perseteruan bebuyutan sejak awal milenium kedua silam. Panggung Perang Napoleon di Eropa pun menjalar hingga ke Jawa.
Apa yang dibayangkan Minto terlaksana. Sebuah ekspedisi militer Inggris bergerak melintasi Samudra Hindia menuju Jawa pada pertengahan 1811. Ekspedisi tersebut dipimpin oleh Letnan Jenderal Sir Samuel Auchmuty, seorang Amerika yang pernah membantu Inggris dalam Perang Kemerdekaan Amerika.
Hampir 12.000 tentara dan 100 kapal, termasuk 4 kapal perang, 14 kapal pengawal, 7 kapal penjaga, dan 8 kapal penjelajah East Indian Company berada dalam konvoi laut militer Inggris tersebut. Kelak sejarah mencatatnya sebagai ekspedisi militer terbesar sebelum Perang Dunia Kedua!
Mereka membuang sauh di Teluk Batavia pada pukul dua siang di hari Minggu, 4 Agustus 1811. Kemudian para serdadu Inggris berjejak di Cilincing, daerah rawa di pesisir Batavia. Tiga hari kemudian mereka berhasil menyebarangi Sungai Ancol, dan bergerak dalam senyap menuju Kota Batavia.
Pengepungan dan penyerangan Balai Kota Batavia dilakukan pada pukul sebelas malam. Serdadu Inggris tidak mengalami kesulitan memasuki kota ini lantaran tembok yang mengelilingi kota ini telah dirobohkan oleh Daendels pada 1808-1810. Pusat kota yang tadinya dalam pelukan Prancis pun jatuh dengan mudah dalam cengkeraman Inggris.
Sebelum azan Subuh berkumandang pada 10 Agustus 1811, serdadu Inggris telah bergerak menyusuri pinggiran kanal Molenvliet—kini Jalan Hayam Wuruk dan Gajah Mada—menuju sebuah kawasan barak-barak militer di Weltevreden—kini seputar Lapangan Banteng. “Bangunan rumah sepanjang jalanan yang kami lalui umumnya mewah,” demikian kenang Mayor Brigade William Thorn dalam bukunya Memoir of the Conquest of Java yang terbit pada 1815.
Pertempuran Weltevreden yang bergolak saat terbitnya matahari itu berlangsung sekitar dua jam. Thorn yang kala itu turut terluka di bagian kepalanya mencatat bahwa jumlah serdadu Inggris yang terluka, tewas, dan hilang sebanyak 99 orang—plus tiga kuda tewas.
Ekspansi militer Lord Minto berlanjut menyisir Kwitang, Kramat, dan Salemba menuju Meester Cornelis, sebuah kamp militer serdadu Napoleon dengan pertahanan benteng di pinggir Ciliwung. Kini, benteng itu telah lenyap, namun lokasinya sekitar Pasar Jatinegara.
Pertempuran kadang berhenti dalam sehari, yang digunakan untuk korespondensi perundingan dengan Gubernur Jenderal Janssens seputar pertukaran tawanan perang pada pertempuran 10 Agustus di Weltevreden.
Meskipun dalam kekalutan perang, pasukan Prancis tidak melupakan pemimpin tertinggi mereka. Thorn mencatat, “Pada 15 Agustus, hari ulang tahun Bonaparte dirayakan dengan dentuman meriam dari sejumlah pos pertahanan mereka, yang sebelumnya ditarik keluar dan diinspeksi oleh Jenderal Janssens.”
Thorn juga mendeskripsikan pertempuran itu dengan dramatis. “Sejumlah peluru dan roket ditembakkan. Kemudian ledakan hebat disusul abu kuning kehijauan, asap, dan berbagai pecahan berhamburan di depan kami bagai gunung api, yang membuat tuli sekeliling, baik kami maupun musuh.” Dia lalu menambahkan, “ Bencana ini dibarengi dengan keheningan yang mengerikan untuk beberapa saat.”
Tampaknya serdadu Inggris harus menghadapi pertempuran sengit dengan musuh bebuyutannya di Cornelis. Setidaknya mereka harus mati-matian merebut benteng itu selama 17 hari! Bagi pihak Inggris, pertempuran selama itu telah mengakibatkan korban luka, tewas, dan hilang sebanyak 736 serdadu Eropa dan 153 serdadu India.
Pertempuran demi pertempuran terus berlanjut yang berakhir dengan menyerahnya Janssen di Tuntang, dekat Kota Salatiga, pada 16 September 1811. Bendera Inggris pun berkibar di benteng-benteng seantero Jawa.
Pertempuran Meester Cornelis meninggalkan sebuah kenangan toponimi di sekitar Jatinegara. Konon, di sebuah kawasan yang dulunya banyak mayat korban pertempuran serdadu Inggris dan Prancis itu warga menjulukinya dengan Rawa Bangke. Nama kampung itu masih tercetak dalam peta Batavia 1930-an. Kini, kampung tersebut berubah nama menjadi Rawa Bunga.
Dari serdadu-serdadu yang terluka pada Pertempuran Meester Cornelis 26 Agustus 1811, Thorn mencatat nama seorang rekannya: “Lieutenant-Colonel Campbell”. Serdadu malang itu akhirnya tewas dua hari kemudian dan dimakamkan di sebuah lahan di dekat Pasar Baru.
Beberapa tahun kemudian, di pusaranya terdapat sebongkah batu nisan dengan ukiran penanda. Janda Campbell mengekspresikan perasaannya pada nisan itu, “Here lie the Remains of lieutenant-colonel WILLIAM CAMPBELL of His Britannic Majesty’s 78th regt. Who died on 28th of Augs. 1811, of wounds received on the 26th of that month, while bravely leading on his Regt. To attack the strongly fortified Lines of Cornelis defended by a gallant enemy. To him who living was beloved by all for his gentle manners and his many virtues who in Death merited and received the applause of his country to him the companion of many years and the father of his children, this frail memorial of unperishing reward is erected by his afflicted widow.”
Kemudian makamnya menjadi bagian halaman gedung Kantor Pos Besar di Pasar Baru. Sekitar seratus tahun setelah Perang Napoleon di Meester Cornelis , makam Campbell tetap tidak tergusur. Namun, ada seseorang yang iba karena makam kolonel malang itu sudah beralih fungsi sebagai papan cuci. Akhirnya, pada November 1913 nisan dan sisa jasadnya dipindahkan ke halaman Gereja Anglikan di kawasan Tugu Tani, Jakarta Pusat.
(Mahandis Y. Thamrin/NGI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar