Para sejarawan Belanda menafsir, bahwa jauh sebelum Hindu dan Buddha serta Islam masuk, di Nusantara terdapat agama kuno yang disebut Animisme-Dinamisme, yang sejatinya merupakan sebutan tidak tepat untuk agama Kapitayan, di mana sisa-sisa peninggalan agama yang berkembang di Nusantara yang disebut Kapitayan itu, dikenal dalam arkeologi sebagai peradaban Paleolithikum, Messolithikum, Neolithikum, dan Megalithikum.
Secara definitif Kapitayan adalah sebuah kepercayaan yang memuja sesembahan utama yang disebut “Sang Hyang Taya”, di mana di dalam Bahasa Jawa Kuno, Sunda Kuno dan Melayu Kuno kata “Taya” bermakna Kosong, Tidak Ada, Hampa, Suwung, Awang-uwung yang inti mutlaknya adalah Sesuatu Yang Tidak Terdefinisi tetapi orang Jawa mendefinisikan Sang Hyang Taya dalam satu kalimat, yaitu “tan kena kinaya ngapa” yang bermakna tidak dapat diapa-apakan Keberadaan-Nya.
Sistem ajaran kapitayan yang begitu sederhana waktu itu, Sang Hyang Taya tidak bisa dikenali kecuali ketika muncul dalam bentuk Kekuatan Gaib bersifat Ilahiyyah yang disebut “TU”. “TU” adalah bahasa kuno yang artinya seutas benang atau seutas tali yang menjulur. “TU” dianggap sebagai keniscayaan dari Pribadi Sang Hyang Taya yang bersifat adikodrati. “TU” diketahui memiliki dua sifat utama, yaitu sifat baik dan sifat tidak baik. TU bersifat baik begitu terang disebut TUHAN dan TU tidak baik begitu gelap disebut HANTU tetapi baik Tuhan maupun Hantu bersifat gaib yang tidak bisa dikenal dan didekati langsung dengan indera. Untuk memuja-Nya dibutuhkan sarana-sarana yang bisa didekati pancaindera dan alam pikiran manusia. Itu sebabnya, di dalam ajaran Kapitanyan dikenal keyakinan yang menyatakan bahwa kekuatan gaib dari Sang Hyang Taya yang disebut TU itu ‘tersembunyi’ di dalam segala sesuatu yang memiliki sebutan TU. Para pengikut ajaran Kapitayan meyakini adanya kekuatan gaib pada wa-TU, TU-gu, TU-k, TU-ban, TU-rumbuk, TU-tuk, TU-nggul, TU-lang, TU-nggak, TU-buh, TU-nda, TU-ngkup. Dalam melakukan bhakti memuja Sang Hyang Taya, orang menyediakan sesaji berupa TU-mpeng, TU-mbal, TU-mbu, TU-kung, TU-d kepada Sang Hyang Taya melalui wa-Tu, TU-gu, TU-k, TU-ban, TU-rumbuk, TU-nggul, dan sesuatu yang diyakini memiliki kekuatan gaib.
Seorang hamba pemuja Sang Hyang Taya yang dianggap saleh akan dikaruniai kekuatan gaib yang bersifat positif (TU-ah) dan yang bersifat negatif (TU-lah). Mereka yang sudah dikaruniai TU-ah dan TU-lah itulah yang dianggap berhak untuk menjadi pemimpin masyarakat. Mereka itulah yang disebut ra-TU atau dha-TU. Mereka yang sudah dikaruniai TU-ah dan TU-lah, gerak-gerik Kehidupannya akan ditandai oleh PI, yakni kekuatan rahasia Ilahiyyah dari Sang Hyang Taya yang tersembunyi. Itu sebabnya, ra-TU atau dha-TU, menyebut diri dengan kata ganti diri: PI-nakahulun. Jika berbicara disebut PI-dato. Jika mendengar disebut PI-harsa. Jika mengajar pengetahuan disebut PI-wulang. Jika memberi petuah disebut PI-tutur. Jika memberi petunjuk disebut PI-tuduh. Jika menghukum disebut PI-dana. Jika memberi keteguhan disebut PI-andel. Jika menyediakan sesaji untuk arwah leluhur disebut PI-tapuja lazimnya berupa PI-nda (kue tepung), PI-nang, PI-tik, PI-ndodakakriya (nasi dan air), PI-sang. Jika memancarkan kekuatan disebut PI-deksa. Jika mereka meninggal dunia disebut PI-tara. Seorang ra-TU atau dha-TU, adalah pengejawantahan kekuatan gaib Sang Hyang Taya. Seorang ra-TU adalah citra Pribadi Sang Hyang Tunggal.
Dengan prasyarat-prasyarat sebagaimana terurai di muka, kedudukan ra-TU dan dha-TU tidak bersifat kepewarisan mutlak. Sebab seorang ra-TU yang dituntut keharusan fundamental memiliki TU-ah dan TU-lah, tidak bisa diwariskan secara otomatis pada anak keturunannya hanya berdasar unsur genetika. Seorang ra-TU harus berjuang keras untuk mampu menunjukkan keunggulan diri yang ditandai TU-ah dan TU-lah, dengan mula-mula menjadi penguasa wilayah kecil yang disebut wisaya. Penguasa wisaya diberi sebutan Raka. Seorang raka yang mampu menundukkan kekuasaan raka-raka yang lain, maka ia akan menduduki jabatan ra-TU. Dengan demikian, ra-TU adalah manusia yang benar-benar telah teruji kemampuannya, baik kemampuan memimpin dan mengatur strategi maupun kemampuan dalam memperoleh TU-ah dan TU-lah yang dimilikinya.
II.HINDU
Kehadiran Hindu di Nusantara diperkirakan pada awal abad Masehi, yang ditandai dengan digunakannya tahun Saka di Jawa pada 78 Masehi yang dihubungkan dengan legenda kedatangan Aji Saka ke Jawa. Sebagai agama yang berasal dari India,dalam perkembangannya Agama Hindu mengalami persinggungan dengan agama lama yang sudah ada di Nusantara, yaitu Kapitayan. Itu sebabnya, ajaran Hindu yang berkembang di Nusantara menunjukkan tanda-tanda adanya pengaruh lokal Kapitayan. Sang Hyang Widhi adalah kuasa yang abstrak yang berada dibelakang segala yang tampak.
Tuduh berarti petunjuk, perintah, nasib, sedangkan kata Widhi berarti hukum, peraturan, tata tertib, nasib. Menurut dongengnya, Sang Hyang Tuduh keluar dari yang tak ada dan berkuasa untuk berada di belakang segala gejala serta bentuk korban dan kultus di dalam pura (bandingkan munculnya Sang Hyang Tuduh dengan munculnya TU pada Kapitayan). Pada umumnya Sang Hyang Widhi tidak dipuja dengan upacara-upacara keagamaan. Baginya tiada pura, tiada tempat korban, tiada padmasana (tempat duduk) kecuali jika ada sebuah desa baru yang didirikan yang belum memiliki dewanya. Dalam keadaan seperti itu orang mendirikan sanggah puseh baginya, tempat Sang Hyang Widhi dipuja.
Masih ada tokoh Ilahi yang berasal dari agama Hindu-Jawa yang oleh rakyat dipandang sebagai tokoh Ilahi tersendiri dan disebut Sang Hyang Trimurti atau Sanggah Tiga Sakti. Tokoh ini adalah penjelmaan Siwa sebagai dewa yang tertinggi. Di dalam falsafahnya diuraikan demikian:
Tokoh dewa yang tertinggi itu menjelmakan dirinya dalam tiga pangkat beruntun. Ia keluar dari alam yang akali yang tak terbagi ( Niskala ) ke alam bendani yang terbagi ( Sakala ) melalui alam tengah yang bersifat abstrak ( Sakala-Niskala ). Rupa yang dipakai untuk menjelmakan diri dalam tiga pangkat beruntun itu adalah Paramasyiwa, Sadasyiwa, dan Maheswara.
Selanjutnya Maheswara sebagai penjelmaan Syiwa yang bendani menjelmakan diri dalam Rupa Brahma, Rudra, dan Wisynu, yang oleh rakyat disebut Sang Hyang Trimurti. Demikianlah dalam ajaran ini tampak lagi bahwa segala tokoh Ilahi di Bali dipandang sebagai penjelmaan Syiwa atau Sang Hyang Widhi, sekalipun penjelmaan itu tidak senantiasa menampakkan segi-segi yang baik dan benar. Hal ini disebabkan karena daya cipta Ilahi yang dapat menghasilkan hal-hal yang baik itu dapat dikeruhkan dan dibalik menjadi daya cipta untuk mendatangkan hal-hal merusak yang menakutkan. Syiwa menjelmakan diri sebagai Pencipta, Pemelihara, Perusak. Syiwa bukan hanya dapat menjelmakan diri sebagi Bhatara Guru tetapi juga sebagai Bhatara Kala, Tuhan kegelapan dan sebagai Batara Durga, dewi yang menguasai maut. Demikianlah Syiwa meliputi baik hidup maupun mati.
Hindu pun ketika masuk ke Nusantara juga diseleksi. Ajaran Hindu yang paling banyak pengikutnya pada awalnya adalah Waisynawa, pemuja Wisynu. Namun karena terdapat ajaran yang menyatakan bahwa Wisynu menjelma dalam sosok manusia Ilahi yang disebut Avatar, akhirnya ajaran itu perlahan-lahan tergusur digantikan ajaran Syiwa yang berpandangan bahwa Tuhan tidak bisa mewujud sebagai manusia sebagaimana konsep Niskala yang sama dengan konsep Taya.
III.BUDDHA
Candi Borobudur adalah perumpamaan dari ajaran agama Buddha. Ada tiga tingkatan kosmologi dalam ajaran agama Buddha, yaitu Kamadatu, Rupadatu, Arupadatu.
Kamadatu
Bagian kaki Borobudur melambangkan “Kamadhatu”, yaitu dunia yang masih dikuasai oleh “kama” atau “nafsu rendah”. Bagian ini sebagian besar tertutup oleh tumpukan batu yang diduga dibuat untuk memperkuat konstruksi candi. Pada bagian kaki asli yang tertutup struktur tambahan ini terdapat 160 panel cerita “Karmawibhangga” yang kini tersembunyi.
Rupadatu
Empat undak teras yang membentuk lorong keliling yang pada dindingnya dihiasi galeri relief oleh para ahli dinamakan “Rupadhatu”. Lantainya berbentuk persegi. Rupadhatu adalah dunia yang sudah dapat membebaskan diri dari “nafsu”, tetapi masih terikat oleh rupa dan bentuk. Tingkatan ini melambangkan “alam antara” yakni, antara “alam bawah” dan “alam atas”. Pada bagian Rupadhatu ini patung-patung Budha terdapat pada ceruk atau relung dinding di atas pagar langkan atau selasar. Pada pagar langkan terdapat sedikit perbedaan rancangan yang melambangkan peralihan dari ranah Kamadhatu menuju ranah Rupadhatu; pagar langkan paling rendah dimahkotai ratna, sedangkan empat tingkat pagar langkan diatasnya dimahkotai stupika (stupa kecil). Bagian teras-teras bujursangkar ini kaya akan hiasan dan ukiran relief.
Arupadatu
Berbeda dengan lorong-lorong Rupadhatu yang kaya akan relief, mulai lantai kelima hingga ketujuh dindingnya tidak berelief. Tingkatan ini dinamakan “Arupadhatu” (yang berarti tidak berupa atau tidak berwujud). Denah lantai berbentuk lingkaran. Tingkatan ini melambangkan “alam atas”, di mana manusia sudah bebas dari segala keinginan dan ikatan bentuk dan rupa, namun belum mencapai nirwana. Pada pelataran lingkaran terdapat 72 dua stupa kecil berterawang yang tersusun dalam tiga barisan yang mengelilingi satu stupa besar sebagai stupa induk. Stupa kecil berbentuk lonceng ini disusun dalam 3 teras lingkaran yang masing-masing berjumlah 32, 24, dan 16 (total 72 stupa). Dua teras terbawah stupanya lebih besar dengan lubang berbentuk belah ketupat, satu teras teratas stupanya sedikit lebih kecil dan lubangnya berbentuk kotak bujur sangkar. Patung-patung Budha ditempatkan di dalam stupa yang ditutup berlubang-lubang seperti dalam kurungan. Dari luar patung-patung itu masih tampak samar-samar. Rancang bangun ini dengan cerdas menjelaskan konsep peralihan menuju keadaan tanpa wujud, yakni arca Budha itu ada tetapi tak terlihat.
Tingkatan tertinggi yang menggambarkan ketiadaan wujud yang sempurna dilambangkan berupa stupa yang terbesar dan tertinggi. Stupa digambarkan polos tanpa lubang-lubang. Di dalam stupa terbesar ini pernah ditemukan patung Budha yang tidak sempurna atau disebut juga Budha yang tidak rampung, yang disalahsangkakan sebagai patung ‘AdiBudha’, padahal melalui penelitian lebih lanjut tidak pernah ada patung di dalam stupa utama, patung yang tidak selesai itu merupakan kesalahan pemahatnya pada zaman dahulu. Menurut kepercayaan patung yang salah dalam proses pembuatannya memang tidak boleh dirusak. Penggalian arkeologi yang dilakukan di halaman candi ini menemukan banyak patung seperti ini. Stupa utama yang dibiarkan kosong diduga bermakna kebijaksanaan tertinggi, yaitu kasunyatan, kesunyian dan ketiadaan sempurna dimana jiwa manusia sudah tidak terikat hasrat, keinginan, dan bentuk serta terbebas dari lingkaran samsara.
IV.Tantrayana-Shakta
Tantrayana berpangkal pada konsepsi pemujaan -dewi (Mother Goddnes) yang bukti-buktinya terdapat di lembah Sidhu. Dari konsepsi dewi itu muncullah Shaktiisme, yaitu suatu ajaran yang mengkhususkan pemujaannya kepada Shakti, yaitu kekuatan dari Dewa, terutama sekali pemujaan terhadap Dewi Durga, Kali, Prthiwi, Dewi Bhumi. Golongan pemuja shakti disebut Shakta. Perkembangan lebih lanjut dari saktiisme itu muncullah Tantrisme. Golongan itu memuja sakti secara ekstrim dan mereka disebut Tantrayana. Tantra berasal dari kata “TAN” yang berarti memaparkan (memaparkan kekuatan dari sakti itu).
Dari tantrisme ini muncullah suatu pemujaan kepada Bhairawa-bhairawi yang artinya “Menakutkan”. Paham Bhairawa itu secara khusus memuja kehebatan daripada Shakti dengan cara-cara yang spesifik. Bhairawa dibagi menjadi tiga macam, yaitu Bhairawa Heruka, Bhairawa Kalacakra, dan Bhairawa Bima.
Tantrayana merupakan suatu aliran atau sekte yang pada masa lampau pernah cukup banyak pemeluknya dan berkembang luas di Indonesia. Salah satu pemeluknya yang terkenal adalah Adityawarman, seorang raja di kerajaan Melayu di pulau Sumatera. Wilayah Sumatera adalah wilayah Minangkabau yang berbatasan dengan Tapanuli (Sumatera Utara), Jambi, Bengkulu dan Samudera Hindia.
Adityawarman dikenal sebagai raja yang taat kepada agamanya dan aktif dalam kegiatan kebudayaan khususnya yang berhubungan dengan agama. Adityawarman adalah penganut taat agama Budha. Namun agama Budha yang dianut oleh Adityawarman telah bercampur dengan unsur-unsur Tantrisme, khususnya dalam bentuk pemujaan Bhairawa. Tantrayana termasuk dalam aliran Budha Mahayana yang mempunyai konsep bahwa seorang penganut dalam mencapai moksa (kelepasan) dengan menggunakan sihir, bersemadi (yoga), dan mengucapkan mantra-mantra (ajarannya menyimpang dari ajaran agama Budha murni).
Dalam agama Budha, ada dua aliran atau madzab yaitu Hinayana dan Mahayana. Madzab Hinayana lebih mendekati pelajaran Budha yang semula, sedangkan madzab Mahayana sudah berbeda dengan ajaran Budha pada awalnya
Vajrayana alias Tantrayana alias Mantrayana adalah sebuah sub sekte dari pada Mahayana. Berasal dari kosa kata Sanskrit “Vajra” yang berarti berlian dalam aspek kekuatannya, atau halilintar dalam aspek kedahsyatan dan kecepatannya, serta dari kata “yana” yang berarti wahana/kereta. Vajrayana merupakan Jalan Intan. Kata “Tantra” sendiri berarti “Tenun” dalam bahasa Sansekerta, merujuk kepada prakteknya yang bertahap namun pasti. Adapun tujuan akhir dari pada Vajrayana, ialah mencapai kesempurnaan dalam pencerahan dengan tubuh fisik kita saat ini, di kehidupan ini juga tanpa harus menunggu hingga kalpa-kalpa yang tak terhitung.Oleh karena itulah di dalam Vajrayana ditemui metode-metode esoterik yang dengan cepat bisa membawa kita kesana.
Aliran Tantrayana dianut hanya sebatas beberapa orang saja karena upacara-upacaranya dirahasiakan dan bersifat amat mengerikan. Bagaiman upacara ritual aliran Tantrayana yaitu terdiri dari menjalankan “Lima Keharusan” dengan sebaik-baiknya dan sebanyak-banyaknya. Lima keharusan itu disebut Panca-makara atau Batara Lima atau Ma-lima, antara lain:
1.*MADYA* = menenggak minuman keras / mabuk-mabukan.
2.*MUDRA* = samadhi/ tarian melelahkan hingga jatuh pingsan.
3.*MAMSA* = makan daging mayat dan minum darah.
4.*MATSYA* = makan ikan gembung beracun.
5.*MAITHUNA* = bersetubuh secara berlebihan.
Praktek ajaran ritual Panca-Makara dilakukan pada waktu malam di atas kuburan serta di tempat yang angker yang disebut Ksetra. Mereka membentuk lingkaran laki-laki dan perempuan dengan dipimpin seorang Cakreswara. Setelah nafsu perut berupa makan dan minum terpenuhi, dilanjut pelampiasan nafsu syahwat dengan maithuna. dalam keadaan tanpa nafsu, dilakukan samadhi. Aliran-aliran Bhairawa cenderung bersifat politik, untuk mendapatkan kharisma besar yang diperlukan dalam pengendalian pemerintahan dan menjaga keamanan wilayah kekuasaan (kerajaan), seperti halnya pemimpin dari kalangan militer di masa sekarang. Karena itu raja-raja dan petinggi pemerintahan serta pemimpin masyarakat pada zaman dahulu banyak yang menganut aliran ini.
Upacara Tantrayana adalah biasa dan merupakan keharusan disertai dengan tertawa yang hebat, hal itu dipahatkan dalam salah satu prasasti di Padang Lawas Sumatera Barat: ha – ha – ha – ha – ha – hum hu – hu – he – hai hohu- aha – ha – om ah hum. Demikianlah gelak tertawa yang terpahat pada sebuah prasasti.
Tantrisme di Indonesia diperkirakan datang dari Bengal dan dibawa oleh para bhiksu dari Indonesia yang mengunjungi Nalanda seperti dapat disimpulkan dari prasasti yang menyebutkan Balaputradewa dari Suwarnadwipa yang membangun sebuah wihara di bidang raja Pala sekitar 860 AD.
Mazhab Tantrayana berkembang dengan pesatnya di bumi persada Indonesia, terutama pada masa-masa kerajaan Mataram kuno, Panjalu, Singasari dan Majapahit. Perkembangan yang demikian pesatnya seiring dan sejalan dengan mazhab-mazhab lainnya, bahkan dengan agama Hindu yang juga banyak dianutnya pada masa-masa tersebut.
Tantrayana pernah berkembang luas di Indonesia khususnya di Bali dalam bentuknya Syiwa Tantra atau lebih dikenal dengan Syiwa Bhairawa. Selanjutnya sesudah abad ke XIV tidak terdapat bukti-bukti lagi mengenai perkembangan Tantrayana itu. Kemungkinan bahwa setelah mengalami perkembangan yang meluas baik di Jawa, Sumatra, maupun di Bali Tantrayana setelah abad XIV mengalami kemunduran.
Pada akhir Majapahit abad ke-XV, sebuah naskah Kidung berjudul Sudamala menunjukkan kebangkitan ajaran Kapitayan di tengah hegemoni Tantrayana, di mana dalam naskah itu Tantraya diwakili Dewi Durga dan Kapitayan diwakili Semar. dalam naskah yang berakhir dengan kemenangan Semar, menunjukkan bahwa Kapitayan sebagai agama purba telah bangkit untuk melawan ajaran Tantrayana.
Lepas dari berbagai spekulasi tentang kemunduran Tantrayana, yang pasti, sebab-sebab kemundurannya itu mungkin pula disebabkan oleh kemajuan cara berpikir manusia sehingga orang-orang menyadari bahwa cara-cara yang demikian atau sama sekali tidak sesuai dengan kemajuan jaman selanjutnya. Jika dicermati banyak upacara-upacara Tantrayana yang sangat bertentangan dengan kesopanan, tata susila, kemanusiaan dan hal yang tidak pantas dilakukan oleh orang beragama lebih-lebih lagi pada saat sekarang dalam hal ini Bangsa Indonesia sudah menetapkan Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia, yaitu falsafah yang dijadikan dasar ideologi bangsa, maka cara-cara ritual Panca-Makara atau Ma-lima dan lainnya dari Tantrayana dinilai tidak sesuai dengan dasar negara Pancasila dan kepribadian bangsa Indonesia.
Sudah sepantasnya Tantrayana pada akhirnya lenyap dari bumi Indonesia karena cara-cara pelaksanannya upacara Tantrayana itu terlalu bebas memberi kesempatan bagi setiap orang untuk memenuhi nafsu keduniawian dengan ma-limanya. Kemungkinan para penganut Tantrayana itu memang melaksanakan ma-lima itu dengan penuh kesadaran dan tujuan untuk menyatukan dirinya dengan Tuhan Yang Maha Esa (Moksha), sehingga melakukan ma-lima itu dianggap bukanlah merupakan nafsu dan kenikmatan duniawi. Tetapi cara-cara itu sangatlah sukar bisa dilaksanakan bagi orang biasa. Demikianlah akhirnya Tantrayana itu hampir tidak ada lagi sisa pemeluknya baik di Bali maupun di Jawa dan Sumatera. Namun dalam beberapa hal faham Tantra hingga kini masih terlihat pengaruhnya, di Bali baik di bidang kesusastraan maupun seni pengaruh Tantrayana masih terlihat. Cerita Calon Arang, cerita yang sangat terkenal dan masih tetap digemari oleh masyarakat Bali.
Kemuning Lindra P –Elisa Qurrota’ayun – Neng Rini*)
*) Kemuning Lindra P –Elisa Qurrota’ayun – Neng Rini, mahasiswi Program Studi Sastera Cina FIB Universitas Brawijaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar