(Machiavelli vs Ibnu Khaldun)
DALAM studi Ilmu Politik, kekuasaan merupakan satu konsep pokok, di antara beberapa konsep pokok lainnya, yaitu; negara, pengambilan keputusan, kebijakan umum, dan distribusi (kekuasaan). Sedangkan dari segi pengertian praktis, kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau kelompok orang untuk memengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan pelaku. Terkait dengan pengertian ini, maka politik menjadi adalah jalan untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan.
Menjadi dominan, atau mendominasi (lawan) merupakan cita-cita penguasa atau saat berkuasa. Tetapi simaklah kisah manakala Ibnu Sammak, orang yang dikenal jago memberi nasehat kepada orang-orang, datang menemui Harun al-Rasyid. Saat itu Harun sedang merasa haus dan meminta segelas air. Maka Ibnu Sammak bertanya: “Seandainya Anda dicegah untuk minum air itu, apakah Anda akan menebusnya dengan separuh kerajaanmu?”
Harun menjawab: “Ya”. Setelah selesai minum, Ibnu Sammak bertanya lagi: “Jika Anda dicegah untuk mengeluarkan air yang telah Anda minum dari perutmu, apakah Anda rela membayar dengan separuh kerajaanmu yang lain?” Harun menjawab: “Ya”. Ibnu Sammak pun berkata: “Tidak ada artinya sebuah kerajaan yang nilainya tidak lebih berharga dari segelas air.”
Bisa lupa diri
Tetapi, meskipun pada akhirnya harus rela menyerahkan kekuasaan agar bisa buang urine dari dalam tubuh, manusia bisa lupa diri dalam usaha untuk memiliki sebuah kerajaan, memiliki dan memangku kekuasaan. Dalam studi Ilmu Politik, dikenal dengan istilah Machiavellism, merujuk kepada pemikiran Nicollo Machiavelli (1469-1528), filsuf dan politikus berkebangsaan Italia yang menulis ide-ide bangunan sosial politik kenegaraan dalam bukunya yang terkenal, The Prince.
Dalam bukunya itu, Machiavelli mempropagandakan sistem baru yang liberal secara religi maupun moral, sehingga aliran Machiavellisme tidak peduli apakah tindakan politik yang dijalankan itu bermuatan trick-trick, tipu-daya, jujur atau tidak jujur asalkan tujuan tercapai. Kata Machiavelli: “Seorang penguasa yang ingin tetap berkuasa dan memperkuat kekuasaannya haruslah menggunakan tipu muslihat, licik dan dusta, digabung dengan penggunaan kekejaman penggunaan kekuatan.”
Machiavelli melihat kekuasaan sebagai tujuan itu sendiri. Dia menyangkal asumsi bahwa kekuasaan adalah instrumen belaka untuk tujuan mempertahankan nilai moralitas, etika atau agama. Bagi dia, segala kebaikan, agama, moralitas justru harus dijadikan alat untuk memperoleh dan memperbesar kekuasaan, dan bukan sebaliknya. Dengan lain kata, kekuasaan haruslah diperoleh, digunakan, dan dipertahankan semata-mata demi kekuasaan itu sendiri. Machiavelli menolak tegas doktrin Aquinas tentang gambaran penguasa yang baik. Aquinas dalam karyanya The Government of Princes berpendapat bahwa penguasa yang baik harus menghindari godaan kejayaan dan kekayaan-kekayaan duniawi agar kelak memperoleh ganjaran syurgawi. Machiavelli justru melihat terbalik; penguasa yang baik harus berusaha mengejar kekayaan dan kejayaan karena keduanya merupakan nasib mujur yang dimiliki seorang penguasa.
Bagi Machiavelli kekuasaan adalah raison d’etre negara (state). Negara juga merupakan simbolisasi tertinggi kekuasaan politik yang sifatnya mencakup semua (all embracing) dan mutlak. Bertolak dari pandangan-pandangan Machiavelli di atas beberapa sarjana berpendapat bahwa Machiavelli memiliki obsesi terhadap negara kekuasaan (maachstaat), di mana yang kedaulatan tertinggi terletak pada kekuasaan penguasa dan bukan rakyat dan prinsip-prinsip hukum.
Pandangan Ibnu Khaldun
Ibnu Khaldun, seorang filsuf Islam yang lahir pada awal Ramadhan tahun 732 H di Tunisia, mengatakan kekuasaan sebenarnya terbentuk melalui kemenangan suatu kelompok tertentu atas kelompok lainnya. Kompetisi kekuatan antarkelompok biasanya tidak dapat dilepaskan dari sikap-sikap arogan untuk memperoleh kekuasaan tersebut, di mana pemegang kebijaksanaan dari partai atau kelompok yang berkuasa senantiasa mencari legitimasi kemenangan dari massa dengan berbagai macam manuver siasat atas nama kelompok, profesi, bahkan agama.
Menurut Khaldun, kekuasaan merupakan kedudukan menyenangkan, meliputi berbagai kesenangan materi maupun maknawi, material maupun spiritual, visible maupun invisible. Tersebabkan fungsi dan sifat yang demikian, maka untuk mendapatkan kekuasaan, seringkali melalui kompetisi-kompetisi menggemparkan dan sedikit orang yang mau menyerahkannya. Kemudian, karena partai menjadi proses awal bagi justifikasi kekuasaan, maka Khaldun mengatakan bahwa partai acapkali menjadi proteksi, pembela, bahkan klaim untuk segala persoalanitu.
Khaldun mengaitkan kekuasaan dengan politik. Menurutnya, kekuasaan dan politik memiliki tujuan substansial yang seharusnya diformulasikan untuk kemanusiaan, karena keduanya secara naluri berkait dengan fitrah manusia dan pola pikirnya yang condong kepada maslahat. Dalam cakupan ini kebutuhan manusia terhadap perlindungan, keamanan, kesejahteraan dan lain-lain, adalah termasuk bagian tanggung jawab politik dan kekuasaan.
Rumusan kekuasaan dan politik seperti yang ditawarkan Ibnu Khaldun bermuara dari pemahaman bahwa kekuasaan dan politik merupakan tanggung jawab dan amanah dari Allah Swt dalam rangka implementasi undang-undang-Nya bagi segenap manusia untuk kemaslahatan. Membantu yang lemah, merangkul semua pihak, menjunjung hukum, mendengar aspirasi, mengentas para mustadh’afin, berprasangka baik terhadap pemeluk agama, menghindari tindakan makar dan lain-lain, adalah cermin etika politik yang semestinya menjadi pijakan praktis dalam setiap tindakan politik. Jelasnya, konsep yang ditawarkan Ibnu Khaldun ini adalah bagaimana agar kekuasaan maupun politik itu senantiasa direfleksikan bergandengan dengan rasa kemanusiaan.
Sebuah pukulan telak
Mari kita tautkan nukilan kisah Ibnu Sammak, Machiavelli dan Ibnu Khaldun itu. Kisah Ibnu Sammak ibarat sebuah pukulan telak kepada lawan. Bagi Ibnu Sammak, sehebat apa pun seorang penguasa, sang penguasa tak pernah akan mampu bertahan untuk tidak kencing. Seperti digambarkannya, jika penguasa itu harus menyerahkan kekuasaan yang telah diraihnya pun agar bisa kencing, maka penguasa itu akan melakukannya. Ibnu Sammak tentunya sangat sarkartis, “sedemikian menyepelekan” kekuasaan itu, namun tak ada seorang pun di antara kita yang waras, untuk tidak percaya kepada apa yang dikatakannya, bahwa air seni lebih penting dari pada kekuasaan.
Machiavelli sendiri, pada awalnya melihat kekuasaan sebagai hal penting, memiliki dimensi good politic. Tapi kemudian dia mencermati perilaku yang amoral di dalam masyarakat sehingga kemudian malah dia “menganjurkan” cara-cara yang tidak berperikemanusiaan, cara-cara yang sangat ekstrem, anti segala norma, bagi orang-orang yang ingin meraih, atau bahasa lain kemaruk kepada kekuasaan. Bagi dia, sepertinya, manusia yang disebut zoon politicon (binatang politik) oleh Aristoteles, sering berubah wujud saat mencari kekuasaan.
Tentusaja, takada yang salah dengan keinginan mencari kekuasaan. Politik sendiri memang alat mencari dan mempertahankan kekuasaan. Namun Ibnu Khaldun memberi panduan, bagaimana kekuasaan itu menuju kepada pencapaian tujuan bersama (common goal, public goal), alih-alih private goal (kepentingan pribadi atau kelompok). Bagi Khaldun, sangat penting mendorong politik yang berkemanusiaan, kekuasaan yang bertumpu pada keadilan.
Kekuasaan sendiri tidak akan kekal dimiliki oleh seseorang. Jika pun kemudian harus diserahkan kepada orang lain, atau jika kemudian kencing pun tak bisa lagi karena mempertahankan kekuasaan, maka serahkanlah kekuasaan itu kepada orang lain, jika dengan penyerahan itu kita bisa pergi ke toilet dengan rasa enak dan nyaman, dan buang air kecil di sana. Itu jauh penting dan menyenangkan. Selamat menyambut 1 Syawal; Maaf lahir batin!
* Saifuddin Bantasyam, Dosen Fakultas Hukum pada Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh. Dapat dihubungi melalui email: saifuddin_bantasyam@yahoo.com.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar