Sabtu, 06 Desember 2014

Gajahmada Tidak Meninggal Dunia

Mereka datang dipimpin pendekar besar bernama Maulana Malik Ibrahim. Beritanya termuat dalam kitab Kanzul ’Ulum alias gudang ilmu karya Ibnul Bathuthah. Kitab ini kelak dilanjutkan pendekar Maulana Muhammad Al Maghribi alias Ki Ageng Gribig.

____________________

Selama ini banyak pakar sejarah atau para pemerhati sejarah Majapait telanjur menganuti tafsiran pakar filologi negeri ini, professor Slamet Muljana. Saya yakin yayasan Prapanca juga menganutinya. Itulah sebab sejarah Prapanca patut mendapat pemugaran.

Ketika merampungkan Decawarnanna, pada 1365M, Prapanca sudah menjadi petapa, bukan lagi sebagai Dharmmadhaksa ring kasogatan. Prapanca sendiri merupakan nama samaran atau paraban. Ia memiliki nama asli Pancaksara. Sementara dalam catatan resmi keraton bergelar Dang acarya Kanakamuni sang Arya Adhiraja. Sebelumnya yang menjadi dharmadhaksa ring kasogatan, ayahnya, Samenaka, dan setelah Prapanca jabatan dipegang Rengkanadi.

Nama Prapanca dipakai ketika ia meninggalkan keraton menuju desa Kamalasana. Pada waktu itu yang menjadi dharmadhaksa ring kasaiwan adalah Sang hyang Brahmaraja. Prapanca meninggalkan keraton karena ia beragama Buddha dan pada waktu itu terjadi perselisihan antara agama Siwa dan Budha. Perselisihan itu kemudian diungkapkan Prapanca dengan menulis tentang hilangnya arca aksobya dalam serat negarakertagama.

Dua paragraf kutipan buku Menuju Puncak Kemegahan: Sejarah Kerajaan Majapahit, Yogyakarta, LKIS, cetakan pertama. 2005 karya professor Slamet Muljana terdapat beberapa hal yang patut mendapat sorotan. Paragraf kedua tentang perselisihan antara agama Siwa dan Boddha akan kita bicarakan lain kesempatan. Pada kesempatan ini kita sementara menyoroti penyebutan Prapanca sebagai dharmadhaksa kasogatan atau pemuka agama Boddha Majapait, nama asli Prapanca, nama ayahnya, dan pengganti Prapanca.

Sebelumnya bandingkan dengan buku Negarakertagama dan tafsir Sejarahnya, dimana Slamet Muljana mengidentifikasi Dang Acarya Nadendra sebagai nama asli Prapanca dan menjabat sebagai dharmadaksa Kasogatan mengganti kedudukan ayahnya, Dang Acarya Kanakamuni!

Setelah membandingkan, kita tentu bingung.

Meski simpulan terakhir merupakan revisi atas simpulan pertama, bertujuan mengurangi kebingungan, namun sesungguhnya malah makin membingungkan.

Sejarah pujangga agung Prapanca menonyol perhatian saya. Selama ini banyak pakar sejarah atau para pemerhati sejarah Majapait telanjur menganuti tafsiran Slamet Muljana. Saya yakin yayasan Prapanca juga menganutinya. Demi perkembangan ilmu sejarah, sejarah Prapanca patut mendapat pemugaran. Supaya sesat pikir kita tidak jauh-jauh amat.

* * *

Ketika Sri Kertarajasa merajai Majapait, 1294-1309M, agama Siwa dan Boddha memang sama-sama memiliki pemimpin, dharmadaksa kasaiwan untuk agama Siwa, dan dharmadaksa Kasogatan untuk agama Boddha. Tapi hanya agama Siwa sajalah yang memiliki upapati atau hakim agama atau pembantu dharmadaksa. Ketika itu agama Siwa dipimpin dharmadaksa ring kasaiwan Dang Acarya Agraja dibantu 3 upapati, Pamegat Tirwan Mapanji Paragata, Pamegat Pamwatan Dang Acarya Hanggareksa dan Pamegat Jambi Dang Acarya Rudra. Sementara agama Boddha hanya dipemukai Dharmadaksa Kasogatan Dang Acarya Ginantaka. Para pembesar agama itu termuat dalam prasasti Kudadu bertarikh 1294M. Dalam prasasti Penanggungan, 1296M, agama Siwa mendapat tambahan dua upapati, pamegat pamwatan dang acarya Ragawijaya, dan pamegat kandamuhi dang acarya Mahanata. Sementara agama Boddha masih satu pembesar.

Kenyataan ini dapat dimaknai bahwa agama Boddha yang besar gagah di masa Kertanagara berubah sangat kecil atau dikecilkan masa awal Majapait. Dalam agama Boddha tidak banyak yang diurus, tidak perlu pengangkatan hakim agama Boddha. Segala perkara akan selesai di meja dharmadaksa kasogatan Ginantaka. Inilah sebab kenapa Majapait kelak lebih sohor sebagai kerajaan berhaluan Hindu —lebih tepatnya Siwa.

Ketika Sri Jayanagara berkuasa, 1309-1328M, agama Boddha belum juga berupapati, masih dipemukai seorang dharmadhaksa kasogatan yaitu dang acarya Kanakamuni, pengganti Ginantaka. Sementara agama Siwa tetap memiliki 5 hakim agama dipimpin darmadaksa kasaiwan dang acarya Smaranata [kelak tokoh ini tampil mengemuka dalam perang Bubat dan bertugas memimpin duta Majapait, mengantar maaf ke Pajajaran]

Kanakamuni bukan Prapanca, melainkan ayahnya. Prapanca baru muncul dalam prasasti Berumbung yang dikeluarkan maharani Tribhuwanatunggadewi bertarikh 1329M. Sang pamegat kandangan rarai [muda] dang acarya Munindra yang tercantum dalam prasasti Berumbung adalah nama asli Prapanca. Dang acarya Munindra mahir dalam pengetahuan kitab sastra Bodha seperti ayahnya, Kanakamuni. Ia sahabat karib Gajahmada. Gajahmadalah yang mengusulkan kepada Sang Maharani supaya sahabatnya diangkat sebagai hakim agama Boddha. Gajahmada penganut Boddha. Ia mudah mendesak kebijakan negara terkait agama Boddha. Pada waktu itu Gajahmada sedang moncer, memiliki pangkat tinggi sebagai patih Daha dan calon mahapatih. Kelak akan terbukti betapa Prapanca sangat berduka setelah Gajahmada meninggalkan keraton —Gajahmada tidak meninggal dunia, melainkan meninggalkan keraton! Tiada lagi sosok pelindung di keraton. Ini yang menyebabkan Prapanca meninggalkan keraton. Akan dibicarakan lebih jauh di kesempatan besok.

Setelah Hayam Wuruk mendaki tahta, agama Boddha mendapat angin semriwing. Pada 1355-1359M, agama Boddha memiliki dua hakim agama, dengan diangkatnya sang pamegat kandangan atuha dang acarya Kartaraja. Sejak awal, Hayam Wuruk bercita-cita menghidupkan agama Tripaksa, yaitu Siwa, Boddha, dan Brahma. Tapi memang yang lebih mengemuka tetap agama Siwa, dibuktikan adanya 5 upapati dalam agama Siwa. Agama Siwa masih sangat mendominasi di Majapait.

Prasasti Nglawang, 1355M, di Bangil, mencatat tiga pembesar agama Boddha, yaitu dharmadaksa kasogatan Sang Arya Adiraja dang acarya Kanakamuni dibantu sang pamegat kandangan atuha dang acarya Kartaraja dan sang pamegat kandangan rarai dang acarya Samantabhadra.

Pada prasasti Trawulan, 1358M, darmadaksa kasogatan Kanakamuni ditulis rungkawi padelegan dang acarya Nadendra, upapati kandangan atuha Kartaraja ditulis dengan nama dang acarya Srighna, sementara Prapanca ditulis dang acarya Samantabhadra.

Pada prasasti Bendosari, 1360M, ayah Prapanca kembali ditulis sebagai Sang Arya Adiraja dang acarya Kanakamuni. Prasasti yang ditemukan di Desa Jambu, Trenggalek ini menjadi dasar menyanggah analisa Slamet Muljana yang menyatakan Prapanca naik menjadi dharmadaksa kasogatan menggantikan ayahnya. Prasasti ini juga menjadi dasar menyanggah analisa Slamet Muljana yang menyatakan Kanakamuni adalah nama asli Prapanca.

Sampai di sini kita sesungguhnya sudah mencermati bahwa dang acarya Nadendra, Sang Arya Adiraja, dan dang acarya Kanakamuni merupakan satu tokoh. Begitu pula Munindra alias Samantabhadra adalah nama asli dan nama gelar yang dimiliki seorang Prapanca.

Sampai di sini kita mengerti siapa Prapanca, jabatannya, dan siapa ayahnya.

Dalam buku Negarakertagama Dan Tafsir Sejarahnya, Slamet Muljana sudah masuk akal, menyebut Kanakamuni sebagai ayah Prapanca. Sayang beliau bingung membedakan siapa Nadendra, Sang Arya Adiraja, dan Kanakamuni.

Kekeliruan menafsir sejarah Prapanca juga terjadi karena Slamet Muljana tidak dapat membedakan antara pembesar agama dan pemimpin atau pemuka agama kerajaan. Pembesar agama belum tentu pemimpin agama kerajaan. Tetapi pemimpin agama kerajaan sudah pasti pembesar agama. Prapanca alias Samantabhadra alias Munindra hanya salah satu pembesar agama Boddha, menjadi Sang Pamegat Kandangan Rarai, 1329-1360M, tidak pernah menjadi pemimpin agama Boddha atau Dharmadhaksa ring Kasogatan. Akan saya tampilkan betapa Slamet Muljana keliru menafsirkan Negarakertagama pupuh 17 bait 7-9 tentang awal perjalanan Hayam Wuruk ke Lumajang yang diikuti Prapanca.

Pupuh 17 bait 7: Tahun Saka seekor naga menelan bulan, 1281 [1359M], di Badrapada bulan tambah, Sri Nata pesiar keliling seluruh negara menuju Kota Lumajang naik kereta, diiringi semua raja Jawa serta permaisuri dan abdi, menteri, tanda, pendeta, pujangga, semua para pembesar ikut serta.

Pupuh 17 bait 8: Juga yang menyamar Prapanca girang turut serta mengiring paduka Maharaja. Tak tersangkal girang sang kawi, putera pujangga, juga pencinta kakawin. Dipilih Sri Baginda sebagai pembesar kebudhaan mengganti sang ayah. Semua pendeta Budha umerak membicarakan tingkah lakunya dulu.

Pupuh 17 bait 9: Tingkah sang kawi waktu muda menghadap raja, berkata berdampingan, tak lain. Maksudnya mengambil hati, agar disuruh ikut beliau ke mana juga. Namun, belum mampu menikmati alam, membinanya, mengolah, dan menggubah karya kakawin; begitu warna desa sepanjang marga terkarang berturut.

Kalimat ’dipilih Sri Baginda sebagai pembesar kebudhaan mengganti sang ayah’ dalam bait 8 ditafsirkan Slamet Muljana bahwa Prapanca diangkat sebagai pemimpin kebudhaan atau dharmadaksa Kasogatan menggantikan ayahnya. Ini jelas keliru.

Maksud sebenarnya bahwa Sri Baginda Hayam Wuruk memilih atau mengijinkan Prapanca sebagai salah satu pembesar kebudhaan kerajaan yang ikut rombongan mengganti tugas Dharmadaksa Kasogatan Kanakamuni. Pergantian ini bukan dalam arti pergantian jabatan, melainkan pergantian tugas mengiringi raja. Seharusnya Kanakamuni ikut, tetapi karena Prapanca merayu supaya diperkenankan raja, dengan alasan mencari bahan penulisan kakawin tentang desa-desa, sebagaimana termuat dalam bait 9, pada akhirnya raja merestui Prapanca mengganti tugas ayahnya mengiringi rombongan bersama para pembesar agama Siwa dan Brahma. Nama Kanakamuni masih tertulis sebagai dharmadaksa kasogatan dalam prasasti Bendosari bertarikh 1360M atau setahun setelah perjalanan ke Lumajang. Jadi sangat jelas bahwa pada 1359M, saat mengiringi Hayam Wutuk ke Lumajang, Prapanca masih sebagai sang pamegat kandangan rarai dan Kanakamuni masih sebagai pemuka agama Boddha Majapait. Sementara pamegat kandangan atuha masih dijabat sahabat karib Prapanca, dang acarya Kartaraja.

Hubungan Prapanca dengan Kartaraja adalah sahabat kerja, sama-sama pembantu dharmadaksa kasogatan. Ketika rombongan tiba di Keta, Kartaraja wafat dan Prapanca sangat berduka karenanya. Peristiwa ini kelak ditulis Prapanca dalam kakawin Decawarnana atau Negarakertagama Pupuh 29 bait 1-3:

Bait 1: Hanya pujangga yang menyamar Prapanca sedih tanpa upama. Berkabung kehilangan kawan kawi-Budha Panji Kertayasa. Teman bersuka ria, teman karib dalam upacara gama. Beliau dipanggil pulang, sedang mulai menggubah karya megah.

Bait 2: Kusangka tetap sehat, sanggup mengantar aku ke mana juga. Beliau tahu tempat-tempat mana yang layak pantas dilihat. Rupanya sang pujangga ingin mewariskan karya megah indah. Namun mangkatlah beliau, ketika aku tiba, tak terduga.

Bait 3: Itulah lantarannya aku turut berangkat ke Desa Keta. Melewati Tal tunggal, Halalang-panjang, Pacaran dari Bungatan. Sampai Toya Rungun, Walanding, terus Terapas, lalu bermalam. Paginya berangkat ke Lemah Abang, segera tiba di Keta.

Hayam Wuruk tidak segera mengangkat pengganti Kartaraja. Agama Boddha kembali satu upapati dan satu Dharmadaksa, hanya Samantabadra dan Kanakamuni. Sementara agama Siwa tetap lima upapati dan satu Dharmadaksa.

Pada prasasti Sekar, 1366M, tercatat dang acarya Nadendra Sang Arya Adiraja Kanakamuni sebagai dharmadaksa kasogatan, dang acarya Samatajana Sang Arya Samadiraja sebagai pamegat kandangan atuha. Nama pamegat kandangan rarai tidak tampil. Ini karena pada sekitar awal 1365M, terjadi pergolakan antara pemuka Siwa dengan Boddha. Dang acarya Munindra alias dang acarya Samantabadra tersingkir dari keraton menuju desa Kamalasana menjadi petapa, menggubah kakawin Decawarnanna atau Negarakertagama, dan mengambil nama samaran: Prapanca.

Sepeninggal Kartaraja dan Prapanca, juga Gajahmada, agama Boddha Majapait kembali dikecilkan lantaran hanya memiliki dharmadaksa kasogatan dan satu hakim agama. Dua pembesar itu adalah dang acarya Nagendra Sang Arya Adiraja alias Kanakamuni dan sang pamegat Kandangan Atuha Dang Acarya Samantajana Sang Arya Samadiraja.

Menunjukkan betapa agama Siwa lebih dikembangkan dan dimuliakan ketimbang Boddha. Ini lantaran Majapahit dibangun oleh Nararya Wijaya, keturuna Sang Putra Girinata Ranggah Rajasa Ken Arok yang mengaku sebagai titisan Siwa. Sementara, meski agama Tripaksa menjadi agama negara, Hayam Wuruk tetap teguh menganut Siwa.

Agama Boddha kembali moncer setelah Sri Wikramawardhana naik tahta menggantikan Hayam Wuruk pada 1389M. Agama Islam juga semakin berkembang pada masa ini.

Sebelum pecah perang paregreg, sekitar 1404M, Majapait kedatangan tujuh pendekar Islam utusan raja Turki Muhammad I [1394-1421M], mewarna-warni kehidupan agama Nusantara, utamanya tanah Jawa. Mereka datang dipimpin pendekar besar bernama Maulana Malik Ibrahim. Berita ini tertulis dalam kitab Kanzul ’Ulum [gudang ilmu] karya Ibnul Bathutah. Kitab ini kelak dilanjutkan Maulana Muhammad Al maghribi alias Ki Ageng gribig yang wafat 1465M.

* * *

Catatan: Sebenarnya judul tulisan sederhana ini : Prapanca Dan Tujuh Pendekar Islam Utusan Raja Turki Muhammad I. Ini Sesungguhnya bukan ide bagus, judul dan isi tulisan tidak nyambung. Tetapi akan saya sambung bahwa Gajahmada pada 1364M memang tidak meninggal dunia sebagaimana sangkaan banyak orang. Ini sangat menarik. Saya tentu akan bertanggungjawab dengan tulisannya. Nuwun.

Siwi S

Tidak ada komentar:

Posting Komentar