Saya selalu mengagumi tokoh Aceh yang karismatik ini, Daud Beureueh. Dalam buku-buku pelajaran sejarah yang saya baca ketika duduk di bangku SMP dan SMA, ia selalu disudutkan dengan sebutan pemberontak. Gong pemberontakan itu ia pukul pada 21 September 1953.
Mantan gubernur militer untuk daerah Aceh itu menyatakan bergabung dengan Negara Islam Indonesia (NII) yang dicetuskan S.M. Kartosoewirjo di Jawa Barat. Sebagian pasukan TNI yang berada di bawah komando Beureueh akhirnya balik gagang menjadi pasukan Tentara Islam Indonesia (TII).
Kendati melawan kebijakan pemerintah pusat di bawah Soekarno, Beureueh tetap memiliki pesona tersendiri di mata saya. Saya melihat bukan tanpa alasan apabila pemimpin yang selalu berpakaian necis ini memberontak.
Beureueh menilai ekonomi rakyat kurang diperhatikan pemerintah dan pendidikan morat-marit. Ia juga memandang bahwa Jakarta hanya sibuk bertikai dalam sistem politik parlementer. Lebih jauh lagi, ia telanjur kecewa kepada Soekarno yang tak kunjung memenuhi janjinya: memberikan status otonomi khusus untuk Aceh.
Satu-satunya perwira yang mampu membujuk Beureueh untuk turun gunung dan menyudahi perlawanan adalah Kolonel inf M. Jasin, yang kala itu menjabat panglima Kodam Iskandar Muda. Pada November 1960, Jasin memang ditugaskan oleh Jenderal A.H. Nasution untuk memimpin Kodam Iskandar Muda sekaligus mengatasi pergolakan daerah yang dilakukan Daud Beureueh.
Pada 7 Maret 1961, Jasin mengirimkan surat kepada Beureueh yang juga ulama paling disegani di Aceh. Kendati seorang anggota militer, gaya bahasa Jasin dalam surat tersebut mengundang heran karena begitu santun. Tidak mengedepankan tekanan.
Berikut isinya sebagaimana dikutip dari TEMPO, ”Bahwa inilah warkatul ikhlas, yang datang dari M. Jasin, Kolonel Infanteri, Panglima Kodam Iskandar Muda. Dan mudah-mudahan Ayahanda Teuku dan keluarga dalam keadaan sehat walafiat. Amin ya Rabbal alamin.”
Jasin bahkan menawarkan keberangkatan ke Tanah Suci Makkah kepada Teuku Muhammad Daud Beureueh dan keluarga. Jasin sengaja memakai jurus sopan karena Beureueh tak takut ancaman dan tekanan.
Pada 6 Mei 1962, Beureueh dan ribuan pengikutnya akhirnya turun gunung. Mereka menghentikan perlawanan dan kembali ke pangkuan RI. Diplomasi tanpa bedil yang dilakukan Jasin terbukti berhasil. Jitu.
Semasa memimpin gerakan perlawanan, Daud Beureueh yang tidak bisa baca tulis kecuali dalam bahasa Arab tersebut dikenal sebagai imam salat yang dikagumi. Kegiatannya di luar jam kerja hanya dua. Yakni, memperhatikan kebutuhan rakyatnya dan beribadah. Ia mampu membuat makmumnya khusyuk ketika beribadah salat wajib berjamaah. Membaca Alquran dan berzikir melekat pada tokoh Islam kelahiran Sigli pada 1898 itu.
Di sisi lain, ia tak suka sepak bola karena dianggap mengingatkan akan nasib tragis Husein, cucu Nabi Muhammad SAW, yang tewas di Padang Karbala setelah dibantai Muawiyah. Leher Husein dipenggal dan kepalanya ditendang-tendang di tanah.
Bagi Beureueh, prinsip tepa selira dan kepedulian terhadap kaum marginal tidak bisa ditawar-tawar. Ia menilai, seorang pemimpin seharusnya dapat mengayomi dan melindungi rakyatnya. Tak heran, ia sangat menentang kehidupan hedonis. Ia pernah menentang adanya ruko biliar. Ia terbiasa hidup sederhana dan bersahaja. Padahal, kalau mau, ia bisa memanfaatkan kekuasaannya untuk hidup enak dan nyaman.
Ia tidak akan makan sebelum anak buah dan rakyatnya kenyang. Bagaimana saya tidak mengagumi kepemimpinannya dengan sikapnya yang merakyat tersebut? Apalagi di tengah krisis multidimensi dan krisis kepercayaan terhadap pemimpin saat ini.
Kota Delta, 20 Juli 2013
Eko P
Tidak ada komentar:
Posting Komentar