Setelah naskah proklamasi selesai diketik dan ditandatangani di rumah Laksamana Muda Tadashi Maeda, rapatpun bubar. Bung Karno dan Bung Hatta santap saur sekedarnya. Sukarni melapor pada Sjahrir bahwa naskah proklamasi versi Sjahrir tidak disetujui dan Proklamasi akan dibacakan jam 10 pagi di Pegangsaan Timur. Sjahrir mengatakan tidak akan datang.
Selesai rapat di Maeda, Chaerul Saleh dan teman-temannya membawa salinan naskah proklamasi ke Prapatan 10 (asrama Mahasiswa kedokteran Ika Daigaku, tahun 1960-an dipakai sebagai Kantor Departemen Kesehatan, sekarang Kantor DJKN-Kementerian Keuangan). Lalu dibuatlah rapat persiapan untuk upacara “proklamasi cadangan” di Prapatan 10 untuk mengantisipasi seandainya proklamasi di Pegangsaan Timur gagal dilaksanakan karena diserbu Jepang. Di Prapatan 10 pula naskah proklamasi diperbanyak dengan stensil dan disebarkan ke seluruh penjuru kota. Empat mahasiswa dikirimkan ke gedung radio untuk memaksakan naskah proklamasi disiarkan.
Benar dugaan Bung Karno. Pagi itu, di Lapangan Ikada, Jepang pamer kekuatan. Lapangan tersebut penuh dengan tentara Jepang untuk mencegah proklamasi dan revolusi. Tetapi memang aneh, mengapa intelijen Jepang gagal (terlambat) mengendus kalau upacara proklamasi dipindahkan ke Pegangsaan Timur? Inilah mungkin salah satu maksud “atas berkat rahmat Tuhan yang Maha Esa” yang termaktub dalam konstitusi kita. Akhirnya, hari yang keramat itu, yang mistis itu, yang diberkahi itu, yang dinanti-nanti itu datang. Dengan didahului pidato pendek yang menggugah, dengan pengamanan dari PETA, Heiho, Barisan Pelopor dan pasukan mahasiswa dari Prapatan 10 yang dipimpin oleh Piet Mamahit, naskah proklamasi dibacakan oleh Bung Karno, Sang Putra Fajar :
“Proklamasi. Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Jakarta, 17 Agustus 1945. Atas nama bangsa Indonesia : Sukarno/Hatta.”
Saat prosesi proklamasi tersebut Bung Karno sempat melihat seorang prajurit PETA (Shodancho Arifin Abdulrachman) berada di dekat pesawat telpon. Piet Mahamit lalu menelpon sejawatnya di Prapatan 10 untuk memberitahukan bahwa upacara di Pegangsaan Timur akan dimulai. Dengan demikian upacara di Asrama Prapatan 10, yang dimaksudkan sebagai upacara cadangan, diputuskan juga harus dimulai. Salinan teks proklamasi yang sudah digandakan dibacakan. Bendera merah putihpun dikibarkan dengan diiringi lagu kebangsaan Indonesia Raya. Begitulah rekonstruksi yang dilakukan oleh Osa Kurniawan Ilham (hal.277) berdasarkan banyak sumber sejarah. Prapatan 10 menjadi saksi pengibaran bendera merah putih yang kedua secara resmi. Atau jangan-jangan yang pertama? Coba kita analisa.
Banyak buku rekonstrusi tentang proklamasi menyimpulkan bahwa upacara di Pegangsaan Timur No.56 itu dilakukan tanpa ada protokoler. Semua berjalan serba spontan bahkan kurang koordinasi. Lihat misalnya mikrofon yang dipakai Sukarno saat pembacaan proklamasi mati ditengah-tengah karena kabel terinjak oleh pengunjung. Karena itulah saat pembacaan teks proklamasi suara Bung Karno tidak terdengar dari speaker, jadi hanya orang yang berdiri dekat Bung Karno saja yang mendengar.
Juga saat pengibaran bendera. Seorang gadis berjalan bersama Suhud dari halaman belakang membawa nampan berisi bendera jahitan Bu Fatmawati. Seseorang berteriak, “Yu Tri – maksudnya SK Trimurti –, sampeyan saja yang mengibarkan bendera!”. SK Trimurti menjawab, “Nggak usahlah, biar laki-laki dan prajurit berseragam saja.” Melihat itu Suhud lalu membawa nampan bendera dan menyerahkannya pada Latief Hendraningrat. Latief kaget karena ia datang bukan untuk mengibarkan bendera, tetapi sebagai keamanan. Dalam buku yang diterbitkan Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI tentang Proklamasi ditulis bahwa Suhud kemudian mengambil bendera dari nampan lalu mengikatnya ke tali pada tiang bendera. Sementara Latief membantunya mengerek bendera. Sumber lain yaitu Mbah Sudiro mengatakan bahwa saat mengerek bendera Latief juga dibantu oleh mahasiswa Ika Daigaku Prapatan 10, catatan lain menyebutkan nama mahasiwa itu adalah Suraryo. (dikemudian hari muncul nama Ilyas Karim yang mengaku ditugaskan oleh Latief untuk mengerek bendera, yang kebenarannya ditolak oleh peneliti LIPI Asvi Warman Adam ). Dari kisah ini, prosesi pengibaran bendera di Pegangsaan Timur 56 dilakukan tanpa protokoler, kurang koordinasi dan agak tersendat.
Kita lihat kemungkinan pengibaran bendera di Prapatan 10. Pertanyaannya, apakah mahasiswa yang melakukan pengibaran bendera di Prapatan 10 sekaku itu? Penulis rasa tidak. Mereka sangat bersemangat. Mereka sigap. Mereka terstruktur karena mereka adalah mahasiswa kedokteran yang biasa berfikir ilmiah. Berdasarkan analisa ini Penulis berkeyakinan bahwa sang saka merah putih secara resmi (setelah pembacaan teks proklamasi) justru pertama kali berkibar di Prapatan 10, bukan di Pegangsaan Timur 56, walau tentu hanya berselisih beberapa menit saja.
Sang Saka Merah Putih akhirnya berkibar gagah di tiang bambo sederhana di Pegangsaan Timur Nomor 56 Jakarta. Semua yang hadir menitikkan air mata. Menurut rekonstruksi dari beberapa sumber yang hadir sekitar 500 sampai 1000 orang. Mr.Soebarjo tidak datang karena tertidur. Sjahrir tidak datang karena memboikot. Mr.Teuku Muhammad Hasan dan dr Rajiman Widyodiningrat terlambat datang sehingga tidak sempat mendengarkan proklamasi, tetapi masih sempat hormat bendera. Rakyat dan barisan pelopor yang sedari pagi berkumpul di lapangan Ikada – karena informasi pertama proklamasi akan dilakukan di Ikada – juga datang terlambat, jumlahnya 100-an orang dipimpin oleh S.Brata. Dengan suara lantang S. Brata mendesak agar Bung Karno mengulangi lagi pembacaan proklamasi. Bung Karno menjawab, tidak bisa, proklamasi hanya boleh diucapkan satu kali. S.Brata dan para pemuda bersikeras, tetapi bisa didinginkan setelah Bung Hatta memberi amanat singkat.
REFERENSI :
1. Osa Kurniawan Ilham, Proklamasi : Sebuah Rekonstruksi, Mata Padi Pressindo, Maret 2013;
2. Cindy Adams, Bung Karno : Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Yayasan Bung Karno, Media Pressindo, 2011;
3. Sekitar Proklamasi, www.sejarahkita.blogspot.com;
4. Robert Cribb, Para Jago dan Kaum Revolusioner Jakarta 1945-1949, Masup, Jakarta, 2010;
5. Asvi Warman Adam, Menguak Misteri Sejarah, Penerbit Kompas, Jakarta, 2010;
6. Soejono Martosewojo dkk, Lahirnya Satu Bangsa dan Negara (buku ini sebelumnya berjudul Mahasiswa ’45 Prapatan 10: Pengabdiannya I), dimuat di
7. Salam-online http://www.scribd.com/doc/148406494/Seputar-Piagam-Jakarta;
8. Mohammad Hatta, Sekitar Proklamasi. Jakarta: Tinta Mas, 1982.
9. http://www.belantaraindonesia.org/2011/08/inilah-pengibar-bendera-merah-putih.html
10. Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI, Hari-hari Menjelang Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Balai Pustaka, Jakarta, 1998.
margono dwi susilo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar