BELANDA mengultimatum Kesultanan Aceh pada 26 Maret 1873. Perang Aceh-Belanda dimulai. Sedikitnya 3.198 prajurit, termasuk 168 perwira KNIL yang dipimpin Jendral JHR Kohler mendarat di Pantai Cermin pada 8 April 1873.
Saat batalion-batalion mendarat di pantai Aceh, Belanda langsung menghadapi sistem perlawanan yang terorganisir dan rapi dari pasukan Kesultanan Aceh. Artileri pasukan Aceh lebih handal dari yang diperkirakan. Bahkan kapal perang Citadel van Antwerpen dihujani 12 tembakan meriam. Kendati bisa memukul mundur pasukan Aceh namun 9 prajurit Belanda tewas, 46 lainnya luka-luka akibat tebasan kelewang.
Sesaat Jenderal Kohler bersama ribuan prajuritnya berhasil menguasai muara Krueng Aceh dan mendirikan pangkalan militer di jalur masuk kerajaan itu. Dia kemudian bergerak menyerbu "Dalam" (Keraton dalam istilah Jawa) sebagai pusat pemerintahan Sultan Aceh di Banda Aceh. Belanda masuk dari jalur Krueng Aceh dan berhasil menduduki Masjid Raya Baiturrahman pada 11 April 1873.
Kohler berpikir bahwa Masjid Baiturrahman merupakan istana kesultanan karena letaknya berada di pusat kota. Belanda merasa sudah menguasai Aceh dan kondisi sudah bisa dikendalikan apalagi saat menyerang sama sekali tidak ada perlawanan.
Kohler mengambil kebijakan mengurangi jumlah prajuritnya dan meninggalkan masjid. Begitu dibiarkan kosong, pasukan Aceh di bawah pimpinan Panglima Polem dan beberapa pasukan dari tiga sagi bergerak menguasai tempat ibadah warga di ibukota tersebut.
Mengetahui hal ini, Kohler kembali mencoba merebut Masjid Baiturrahman. Hari ketiga pertempuran, 14 April 1873, Kohler tertembak oleh sniper Aceh pimpinan Teungku Di Lamnga saat berdiri di bawah pohon geuleumpang di halaman masjid. Sebutir peluru bersarang di kepala Jenderal Belanda itu.
Kematian Kohler membuat serdadu Belanda panik dan kocar-kacir. Posisi Kohler langsung diganti oleh Kolonel van Daalen yang menarik pasukannya ke pesisir pantai. Perang berkecamuk selama 10 hari di Pantai Cermin (Ulee Lheue).
Pasukan Aceh yang datang dari segala penjuru, seperti dari Peukan Aceh, Lambhuek, Lampuuk, Peukan Bada, Lambada, Krueng Raya, dari pelosok Aceh Besar lainnya turut dibantu oleh pasukan dari Teunom, Pidie, Peusangan dan wilayah Aceh lainnya.
Ribuan pasukan Aceh berhasil mendesak Belanda yang membuat prajurit mereka kewalahan dan moral pasukannya luntur. Belanda bisa dipukul mundur keluar dari pantai Aceh pada 25 April 1873.
Kekalahan ini membuat Belanda terkejut dan membuat publik Eropa serta Amerika gempar. Kekalahan Belanda dimuat dalam surat kabar London Times edisi 22 April 1873. Media itu memuat laporan lengkap dari Medan Perang Bandar Atjeh yang antara lain menulis: "Suatu kejadian yang luar biasa dalam sejarah penjajahan yang terjadi di Kepulauan Melayu. Kekuatan pasukan Eropa yang besar dikalahkan oleh tentara pribumi. Tentara Aceh berhasil dengan gemilang meraih kemenangan besar dalam peperangan yang menentukan. Musuh mereka bukan saja sudah kalah tetapi dipaksa berlari."
Dalam laporan itu, London Times juga menulis bahwa Aceh bukanlah tanah penjajahan Belanda, dan Belanda sama sekali tidak berhak menyerang Aceh. Sementara surat kabar Amerika, The New York Times pada edisi 6 Mei 1873 menulis: "Suatu pertempuran berlumuran darah terjadi di Aceh. Serangan Belanda berhasil ditangkis dengan penyembelihan besar-besaran terhadap tentara Belanda. Panglima Belanda dibunuh dan tentaranya lari tunggang langgang."
Di sisi lain Harian The New York Times pada 15 Mei 1873 mengomentari perang Aceh dalam artikel berjudul: Aceh.
"...Segera akan diketahui oleh masyarakat bahwa Aceh itu bukanlah bangsa biadab yang tidak sadar atau tenggang rasa. Mereka adalah bangsa islami yang baik dan menghormati nilai-nilai perjuangan pahlawan-pahlawan mereka..."
"Segera akan terbukti bahwa mereka sebagai musuh sekarang juga memiliki tanah jajahan sendiri pada suatu waktu dan ada waktu ketika mereka begitu kuat hingga dapat mengepung armada Portugis di Malaka. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa Sultan Aceh adalah sahabat karib Raja Inggris James I yang memberikan dua buah meriam besar kepada Sultan Aceh. Kini meriam itu turut mempertahankan istana penggantinya di Sumatera."
Berita-berita ini terus mengisi halaman utama media-media di Eropa dan Amerika. Arus informasi mengenai perang Aceh terus mengalir dari koresponden Reuters William Marshal di Penang yang memperoleh berita dari Stuart Herriot, pedagang asal Scotlandia. Herriot dikenal akrab dengan penduduk pribumi dan menjadi penasehat hukum bila berurusan dengan pengadilan atau orang Eropa. Dia juga menjadi anggota Dewan Kota Penang, dan mendukung sejumlah kegiatan serta kepentingan pribumi Melayu.
Herriot menjadi narasumber penting bagi Marshall dalam urusan orang pribumi Melayu dan Aceh. Keduanya dikenal sebagai anti Belanda, pro Melayu, menentang campur tangan Inggris terhadap negeri-negeri Melayu. Mereka tidak senang kepada Gubernur Harry Ord yang terlalu berpihak kepada Belanda dan membiarkan Aceh diserbu hingga merusak perdagangan bebas di Selat Malaka.
Pemberitaan itu sempat memaksa Perdana Menteri William Ewart Gladstone dan Menteri Luar Negeri George Granville untuk mempertimbangkan kembali sikap Inggris mengenai ekspansi Belanda terhadap Aceh. Namun, Den Haag tetap berharap sikap toleran dari London mengenai aksinya di Aceh, setelah keduanya mengikat perjanjian Persahabatan 1871.
Menteri Luar Negeri Belanda Gericke van Herwijnen menginstruksikan kepada Duta Besar Charles van Bijlandt di London untuk mendekati dan meyakinkan pemerintah Inggris agar selalu memperoleh dukungan. Negara kincir angin ini memerlukan peran serta Inggris untuk mengantisipasi tekanan internasional dari Amerika dan negeri-negeri Eropa lainnya.
Dukungan Inggris terhadap Belanda itu membuat mayoritas pedagang Inggris di Singapura membenci pemerintahannya sendiri. Menurut mereka kebijakan yang diambil pimpinan negaranya telah merugikan pedagang Inggris. Opini publik yang menjatuhkan kredibilitas penguasa Inggris kian hari semakin deras akibat perang Aceh. Mereka mencela kebijakan pemerintahan yang hanya berpangku tangan membiarkan Belanda melakukan agresi di Sumatera dan Aceh.
Hal itu mendapat perhatian konservatif pimpinan Perdana Menteri William Gladstone yang mengkhawatirkan bisa mempengaruhi citra kepemimpinannya. Akhirnya pemerintah Inggris menekan pemilik Kantor Berita Reuters yaitu Baron Paul Julius von Reuter untuk meredam pemberitaan tentang perang Aceh. Akibatnya berita-berita Aceh mulai hilang di koran-koran Eropa dan sejak Juni 1874, koresponden Reuters Marshall dilarang meliput serta berhubungan dengan orang-orang Aceh.[]
Referensi: Aceh dari Sultan Iskandar Muda ke Helsinki karya Harry Kawilarang.
Saat batalion-batalion mendarat di pantai Aceh, Belanda langsung menghadapi sistem perlawanan yang terorganisir dan rapi dari pasukan Kesultanan Aceh. Artileri pasukan Aceh lebih handal dari yang diperkirakan. Bahkan kapal perang Citadel van Antwerpen dihujani 12 tembakan meriam. Kendati bisa memukul mundur pasukan Aceh namun 9 prajurit Belanda tewas, 46 lainnya luka-luka akibat tebasan kelewang.
Sesaat Jenderal Kohler bersama ribuan prajuritnya berhasil menguasai muara Krueng Aceh dan mendirikan pangkalan militer di jalur masuk kerajaan itu. Dia kemudian bergerak menyerbu "Dalam" (Keraton dalam istilah Jawa) sebagai pusat pemerintahan Sultan Aceh di Banda Aceh. Belanda masuk dari jalur Krueng Aceh dan berhasil menduduki Masjid Raya Baiturrahman pada 11 April 1873.
Kohler berpikir bahwa Masjid Baiturrahman merupakan istana kesultanan karena letaknya berada di pusat kota. Belanda merasa sudah menguasai Aceh dan kondisi sudah bisa dikendalikan apalagi saat menyerang sama sekali tidak ada perlawanan.
Kohler mengambil kebijakan mengurangi jumlah prajuritnya dan meninggalkan masjid. Begitu dibiarkan kosong, pasukan Aceh di bawah pimpinan Panglima Polem dan beberapa pasukan dari tiga sagi bergerak menguasai tempat ibadah warga di ibukota tersebut.
Mengetahui hal ini, Kohler kembali mencoba merebut Masjid Baiturrahman. Hari ketiga pertempuran, 14 April 1873, Kohler tertembak oleh sniper Aceh pimpinan Teungku Di Lamnga saat berdiri di bawah pohon geuleumpang di halaman masjid. Sebutir peluru bersarang di kepala Jenderal Belanda itu.
Kematian Kohler membuat serdadu Belanda panik dan kocar-kacir. Posisi Kohler langsung diganti oleh Kolonel van Daalen yang menarik pasukannya ke pesisir pantai. Perang berkecamuk selama 10 hari di Pantai Cermin (Ulee Lheue).
Pasukan Aceh yang datang dari segala penjuru, seperti dari Peukan Aceh, Lambhuek, Lampuuk, Peukan Bada, Lambada, Krueng Raya, dari pelosok Aceh Besar lainnya turut dibantu oleh pasukan dari Teunom, Pidie, Peusangan dan wilayah Aceh lainnya.
Ribuan pasukan Aceh berhasil mendesak Belanda yang membuat prajurit mereka kewalahan dan moral pasukannya luntur. Belanda bisa dipukul mundur keluar dari pantai Aceh pada 25 April 1873.
Kekalahan ini membuat Belanda terkejut dan membuat publik Eropa serta Amerika gempar. Kekalahan Belanda dimuat dalam surat kabar London Times edisi 22 April 1873. Media itu memuat laporan lengkap dari Medan Perang Bandar Atjeh yang antara lain menulis: "Suatu kejadian yang luar biasa dalam sejarah penjajahan yang terjadi di Kepulauan Melayu. Kekuatan pasukan Eropa yang besar dikalahkan oleh tentara pribumi. Tentara Aceh berhasil dengan gemilang meraih kemenangan besar dalam peperangan yang menentukan. Musuh mereka bukan saja sudah kalah tetapi dipaksa berlari."
Dalam laporan itu, London Times juga menulis bahwa Aceh bukanlah tanah penjajahan Belanda, dan Belanda sama sekali tidak berhak menyerang Aceh. Sementara surat kabar Amerika, The New York Times pada edisi 6 Mei 1873 menulis: "Suatu pertempuran berlumuran darah terjadi di Aceh. Serangan Belanda berhasil ditangkis dengan penyembelihan besar-besaran terhadap tentara Belanda. Panglima Belanda dibunuh dan tentaranya lari tunggang langgang."
Di sisi lain Harian The New York Times pada 15 Mei 1873 mengomentari perang Aceh dalam artikel berjudul: Aceh.
"...Segera akan diketahui oleh masyarakat bahwa Aceh itu bukanlah bangsa biadab yang tidak sadar atau tenggang rasa. Mereka adalah bangsa islami yang baik dan menghormati nilai-nilai perjuangan pahlawan-pahlawan mereka..."
"Segera akan terbukti bahwa mereka sebagai musuh sekarang juga memiliki tanah jajahan sendiri pada suatu waktu dan ada waktu ketika mereka begitu kuat hingga dapat mengepung armada Portugis di Malaka. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa Sultan Aceh adalah sahabat karib Raja Inggris James I yang memberikan dua buah meriam besar kepada Sultan Aceh. Kini meriam itu turut mempertahankan istana penggantinya di Sumatera."
Berita-berita ini terus mengisi halaman utama media-media di Eropa dan Amerika. Arus informasi mengenai perang Aceh terus mengalir dari koresponden Reuters William Marshal di Penang yang memperoleh berita dari Stuart Herriot, pedagang asal Scotlandia. Herriot dikenal akrab dengan penduduk pribumi dan menjadi penasehat hukum bila berurusan dengan pengadilan atau orang Eropa. Dia juga menjadi anggota Dewan Kota Penang, dan mendukung sejumlah kegiatan serta kepentingan pribumi Melayu.
Herriot menjadi narasumber penting bagi Marshall dalam urusan orang pribumi Melayu dan Aceh. Keduanya dikenal sebagai anti Belanda, pro Melayu, menentang campur tangan Inggris terhadap negeri-negeri Melayu. Mereka tidak senang kepada Gubernur Harry Ord yang terlalu berpihak kepada Belanda dan membiarkan Aceh diserbu hingga merusak perdagangan bebas di Selat Malaka.
Pemberitaan itu sempat memaksa Perdana Menteri William Ewart Gladstone dan Menteri Luar Negeri George Granville untuk mempertimbangkan kembali sikap Inggris mengenai ekspansi Belanda terhadap Aceh. Namun, Den Haag tetap berharap sikap toleran dari London mengenai aksinya di Aceh, setelah keduanya mengikat perjanjian Persahabatan 1871.
Menteri Luar Negeri Belanda Gericke van Herwijnen menginstruksikan kepada Duta Besar Charles van Bijlandt di London untuk mendekati dan meyakinkan pemerintah Inggris agar selalu memperoleh dukungan. Negara kincir angin ini memerlukan peran serta Inggris untuk mengantisipasi tekanan internasional dari Amerika dan negeri-negeri Eropa lainnya.
Dukungan Inggris terhadap Belanda itu membuat mayoritas pedagang Inggris di Singapura membenci pemerintahannya sendiri. Menurut mereka kebijakan yang diambil pimpinan negaranya telah merugikan pedagang Inggris. Opini publik yang menjatuhkan kredibilitas penguasa Inggris kian hari semakin deras akibat perang Aceh. Mereka mencela kebijakan pemerintahan yang hanya berpangku tangan membiarkan Belanda melakukan agresi di Sumatera dan Aceh.
Hal itu mendapat perhatian konservatif pimpinan Perdana Menteri William Gladstone yang mengkhawatirkan bisa mempengaruhi citra kepemimpinannya. Akhirnya pemerintah Inggris menekan pemilik Kantor Berita Reuters yaitu Baron Paul Julius von Reuter untuk meredam pemberitaan tentang perang Aceh. Akibatnya berita-berita Aceh mulai hilang di koran-koran Eropa dan sejak Juni 1874, koresponden Reuters Marshall dilarang meliput serta berhubungan dengan orang-orang Aceh.[]
Referensi: Aceh dari Sultan Iskandar Muda ke Helsinki karya Harry Kawilarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar