Pelatihan Santri Indigo di Pondok Pesantren Al-Muhajirin Purwakarta Jawa Barat
Kini terbuka akses bagi santri dan siswa madrasah melanjutkan ke sekolah unggulan dan perguruan tinggi bergengsi.
Saat ini, banyak pondok pesantren yang telah bertransformasi menjadi pondok pesantren modern. Sebagian sistem pembelajarannya menerapkan gaya sekolah umum. Dengan modernisasi tersebut, para santri yang lulus tak sekadar menjadi ustaz/ustazah ataupun guru agama.
Tak sedikit dari mereka yang berkesempatan melanjutkan ke kampus bonafide di Indonesia atau kuliah ke luar negeri, bahkan menjadi pegawai negeri.
Saat ini, jumlah pondok pesantren modern mencapai lebih dari 3.000. Sementara, pondok pesantren kombinasi tradisional-modern berjumlah lebih dari 10 ribu.
Tapi, jumlah pondok pesantren tradisional masih menempati nomor wahid, yakni lebih dari 13 ribu. Meski begitu, hampir 8.000 di antara pondok pesantren tradisional tersebut telah menyelenggarakan program wajar dikdas sembilan tahun.
Setiawan Djody dalam “Pemberdayaan Pesantren” mengatakan, dilihat dari perkembangannya, pesantren saat ini tidak kalah maju dengan institusi-institusi pendidikan lainnya, bahkan dengan sekolah-sekolah yang ditangani pemerintah sekalipun.
Ada pondok pesantren yang sangat maju, tapi masih banyak yang sangat terbelakang, tetap terpaku pada tradisi-tradisi lama dan tidak mau membuka diri atas perkembangan yang ada.
Prof Dr Azyumardi Azra dalam artikel Wajah Baru Pendidikan Islam: Pengarusutamaan dari prolog Etos Studi Kaum Santri: Wajah Baru Pendidikan Islam menuturkan, sejarah panjang pesantren sebelum kemunculan wajah barunya adalah sejarah tentang keterpinggiran dan keterbelakangan.
Tetapi, pada awal 1970-an, Menteri Agama Prof A Mukti Ali merintis jalan ke arah transformasi pesantren. Demikian pula dengan madrasah dan juga perguruan tinggi Islam.
“Momentum itu, dalam berbagai kesempatan saya sebut sebagai mainstreaming of Islamic education (pengarusutamaan pendidikan Islam). Tegasnya, dari yang semula berada di pinggiran menuju ke ‘tengah’, ke dalam arus utama pendidikan nasional Indonesia secara keseluruhan,” ujarnya.
Menurut Azra, transformasi pesantren dan madrasah paling fenomenal hampir bisa dipastikan terjadi di Indonesia.
Gejala paling jelas adalah pesantren dan madrasah dalam beberapa dasawarsa terakhir terlibat dalam pendidikan umum, bahkan juga dalam upaya pembangunan bangsa.
Atas dasar itu, sistem pendidikan Islam Indonesia termasuk ke dalam ranking sistem yang paling terbuka dan inovatif di dunia.
Hanya saja, hal tersebut masih kurang diketahui dan disadari banya kalangan dunia pendidikan sendiri maupun para pengamat dan peneliti asing.
Oleh karena itu, lanjut Azra, pemahaman dan apresiasi lebih baik terhadap madrasah Indonesia pastilah perlu dikembangkan terus, baik di dalam maupun luar negeri.
Dalam konteks sejarah dan perjalanan Islam di Indonesia, pesantren beserta lembaga-lembaga pendidikan Islam lainnya sudah terlalu lama berada pada pinggiran belaka dengan segala konsekuensinya.
Keterpinggiran tersebut, termasuk dalam hal kualitas, pendanaan dari negara, dan seterusnya. Karena itu, kata Azra, jika kita ingin konsisten dengan cita-cita dan harapan keumatan, santri juga harus unggul dalam berbagai bidang keilmuan, termasuk prospektif dan menjanjikan dari sudut lapangan kerja, akan pengembangan terkini pendidikan Islam haruslah banyak disyukuri.
''Bahwa masih banyak kelemahan, tentulah harus menjadi agenda yang perlu diperjuangkan secara terus menerus,” ujar Azra menjelaskan.
Dinamika pendidikan Islam
Asrori S Karni dalam bukunya Etos Studi Kaum Santri: Wajah Baru Pendidikan Islam menggambarkan dengan apik potret dinamika pendidikan Islam.
Menurutnya, selama beberapa tahun terakhir dinamika pendidikan Islam ditandai gejala makin besarnya peran negara sebagai motor penggerak yang secara gradual menggeser dominasi masyarakat.
Peran itu, terutama berupa dukungan alokasi anggaran dan berbagai program pemberdayaan. Gejala menguatnya peran negara itu memiliki makna tersendiri di lingkungan pendidikan Islam, sebagian besar ditopang elemen masyarakat. Baik perorangan, yayasan, maupun ormas Islam.
Menurut Azra, mayoritas mutlak madrasah berstatus swasta (97 persen). Sejumlah madrasah negeri sebelumnya adalah rintisan masyarakat yang dinegerikan. Seluruh pondok pesantren dan diniyah juga swasta.
''Sementara, pendidikan umum sebagian besar (65 persen) berstatus negeri. Karenanya, selama ini sudah biasa mendapat topangan negara,” ujarnya.
Lahirnya UU Sisdiknas 20 tahun 2003 telah berperan dalam menghapus diskriminasi satuan pendidikan negeri dan swasta, sekolah dan madrasah, serta memasukkan diniyah dan pesantren dalam sistem pendidikan nasional.
Peraturan tersebut, kata Karni, telah memaksa negara mengubah haluan kebijakannya terhadap pendidikan Islam. Alhasil, anggaran pendidikan harus didistribusikan secara lebih adil.
Dalam perkembangannya lahirlah akses baru segmen marginal. Gejalanya yang mencolok yang penting ditandaskan pertama adalah kecenderungan makin terbukanya akses bagi santri pesantren dan siswa madrasah pada sekolah unggulan dan perguruan tinggi bergengsi.
Selama ini, menurut Karni, segmen yang dikenal marginal itu tidak memiliki akses memadai pada jalur pendidikan formal yang menuntut kompetisi ketat.
Akses baru itu diakibatkan stimulus kebijakan afirmatif negara lewat Kementerian Agama yang memberi topangan akses, baik berupa dukungan beasiswa maupun penetapan kuota pada sekolah unggulan.
Kini terbuka akses bagi santri dan siswa madrasah melanjutkan ke sekolah unggulan dan perguruan tinggi bergengsi.
Saat ini, banyak pondok pesantren yang telah bertransformasi menjadi pondok pesantren modern. Sebagian sistem pembelajarannya menerapkan gaya sekolah umum. Dengan modernisasi tersebut, para santri yang lulus tak sekadar menjadi ustaz/ustazah ataupun guru agama.
Tak sedikit dari mereka yang berkesempatan melanjutkan ke kampus bonafide di Indonesia atau kuliah ke luar negeri, bahkan menjadi pegawai negeri.
Saat ini, jumlah pondok pesantren modern mencapai lebih dari 3.000. Sementara, pondok pesantren kombinasi tradisional-modern berjumlah lebih dari 10 ribu.
Tapi, jumlah pondok pesantren tradisional masih menempati nomor wahid, yakni lebih dari 13 ribu. Meski begitu, hampir 8.000 di antara pondok pesantren tradisional tersebut telah menyelenggarakan program wajar dikdas sembilan tahun.
Setiawan Djody dalam “Pemberdayaan Pesantren” mengatakan, dilihat dari perkembangannya, pesantren saat ini tidak kalah maju dengan institusi-institusi pendidikan lainnya, bahkan dengan sekolah-sekolah yang ditangani pemerintah sekalipun.
Ada pondok pesantren yang sangat maju, tapi masih banyak yang sangat terbelakang, tetap terpaku pada tradisi-tradisi lama dan tidak mau membuka diri atas perkembangan yang ada.
Prof Dr Azyumardi Azra dalam artikel Wajah Baru Pendidikan Islam: Pengarusutamaan dari prolog Etos Studi Kaum Santri: Wajah Baru Pendidikan Islam menuturkan, sejarah panjang pesantren sebelum kemunculan wajah barunya adalah sejarah tentang keterpinggiran dan keterbelakangan.
Tetapi, pada awal 1970-an, Menteri Agama Prof A Mukti Ali merintis jalan ke arah transformasi pesantren. Demikian pula dengan madrasah dan juga perguruan tinggi Islam.
“Momentum itu, dalam berbagai kesempatan saya sebut sebagai mainstreaming of Islamic education (pengarusutamaan pendidikan Islam). Tegasnya, dari yang semula berada di pinggiran menuju ke ‘tengah’, ke dalam arus utama pendidikan nasional Indonesia secara keseluruhan,” ujarnya.
Menurut Azra, transformasi pesantren dan madrasah paling fenomenal hampir bisa dipastikan terjadi di Indonesia.
Gejala paling jelas adalah pesantren dan madrasah dalam beberapa dasawarsa terakhir terlibat dalam pendidikan umum, bahkan juga dalam upaya pembangunan bangsa.
Atas dasar itu, sistem pendidikan Islam Indonesia termasuk ke dalam ranking sistem yang paling terbuka dan inovatif di dunia.
Hanya saja, hal tersebut masih kurang diketahui dan disadari banya kalangan dunia pendidikan sendiri maupun para pengamat dan peneliti asing.
Oleh karena itu, lanjut Azra, pemahaman dan apresiasi lebih baik terhadap madrasah Indonesia pastilah perlu dikembangkan terus, baik di dalam maupun luar negeri.
Dalam konteks sejarah dan perjalanan Islam di Indonesia, pesantren beserta lembaga-lembaga pendidikan Islam lainnya sudah terlalu lama berada pada pinggiran belaka dengan segala konsekuensinya.
Keterpinggiran tersebut, termasuk dalam hal kualitas, pendanaan dari negara, dan seterusnya. Karena itu, kata Azra, jika kita ingin konsisten dengan cita-cita dan harapan keumatan, santri juga harus unggul dalam berbagai bidang keilmuan, termasuk prospektif dan menjanjikan dari sudut lapangan kerja, akan pengembangan terkini pendidikan Islam haruslah banyak disyukuri.
''Bahwa masih banyak kelemahan, tentulah harus menjadi agenda yang perlu diperjuangkan secara terus menerus,” ujar Azra menjelaskan.
Dinamika pendidikan Islam
Asrori S Karni dalam bukunya Etos Studi Kaum Santri: Wajah Baru Pendidikan Islam menggambarkan dengan apik potret dinamika pendidikan Islam.
Menurutnya, selama beberapa tahun terakhir dinamika pendidikan Islam ditandai gejala makin besarnya peran negara sebagai motor penggerak yang secara gradual menggeser dominasi masyarakat.
Peran itu, terutama berupa dukungan alokasi anggaran dan berbagai program pemberdayaan. Gejala menguatnya peran negara itu memiliki makna tersendiri di lingkungan pendidikan Islam, sebagian besar ditopang elemen masyarakat. Baik perorangan, yayasan, maupun ormas Islam.
Menurut Azra, mayoritas mutlak madrasah berstatus swasta (97 persen). Sejumlah madrasah negeri sebelumnya adalah rintisan masyarakat yang dinegerikan. Seluruh pondok pesantren dan diniyah juga swasta.
''Sementara, pendidikan umum sebagian besar (65 persen) berstatus negeri. Karenanya, selama ini sudah biasa mendapat topangan negara,” ujarnya.
Lahirnya UU Sisdiknas 20 tahun 2003 telah berperan dalam menghapus diskriminasi satuan pendidikan negeri dan swasta, sekolah dan madrasah, serta memasukkan diniyah dan pesantren dalam sistem pendidikan nasional.
Peraturan tersebut, kata Karni, telah memaksa negara mengubah haluan kebijakannya terhadap pendidikan Islam. Alhasil, anggaran pendidikan harus didistribusikan secara lebih adil.
Dalam perkembangannya lahirlah akses baru segmen marginal. Gejalanya yang mencolok yang penting ditandaskan pertama adalah kecenderungan makin terbukanya akses bagi santri pesantren dan siswa madrasah pada sekolah unggulan dan perguruan tinggi bergengsi.
Selama ini, menurut Karni, segmen yang dikenal marginal itu tidak memiliki akses memadai pada jalur pendidikan formal yang menuntut kompetisi ketat.
Akses baru itu diakibatkan stimulus kebijakan afirmatif negara lewat Kementerian Agama yang memberi topangan akses, baik berupa dukungan beasiswa maupun penetapan kuota pada sekolah unggulan.
Reporter : afriza hanifa |
Redaktur : Damanhuri Zuhri |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar