Sabtu, 06 Desember 2014

Polandia Jadi Polonia, KNIA Bisa Jadi Kania?

Rumah tempat Michalski pada tahun 1870-an di sekitar Polonia. Sumber : WikipediaJika saja Michalski, warga Polandia yang mendapat hak tanah  dari  pemerintah Belanda disekitar Polonia pada 1872 masih hidup, ia akan tersenyum lebar sekaligus terharu melihat lahan miliknya yang kemudian jatuh ke tangan NV Deli Maskapai (1879) telah memberi kontribusi besar terhadap kota Medan khususnya.

Mikael sendiri yang memberi nama areal tanah perkebunan tembakau miliknya itu dengan sebutan “Polonia” untuk memudahkan warga mengingatnya berkebangsaan Polandia.

Jika Mikael masih ada, mungkin ia akan tersenyum lebar karena sebagai orang swasta pertama yang memiliki tanah itu kemudian telah “sukses” memberi kontribusi positif terhadap pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara khususnya Medan sejak Polonia diresmikan pada 1971 sebagai bandar udara (bandara) urat nadi transportasi udara terlengkap di Sumatera dan menjelma sebagai salah satu bandara terpenting di Indonesia dan Asia Tenggara.

Mikael juga tersenyum ketika akhirnya lahan miliknya kemudian menjadi bandara khusus untuk Pangkalan Udara Militer terbesar dan terlengkap di Sumatera bahkan di Indonesia yang kini namanya berubah menjadi Pangkalan Udara “Soewondo,” salah satu penerbang angkatan udara RI yang gugur terkena tembakan Belanda di sekitar udara Pematang Siantar pada 1947.

Di sisi lain, Mikael akan terharu melihat lahannya yang telah memberi kontribusi dalam bidang transportasi udara dan berdampak hebat di segala bidang untuk Medan khususnya dan Indonesia pada umumnya sejak 1971 ketika dibangun secara representatif menjadi bandara domestik dan internasional.

Mikael juga ikut berduka tatkala melihat melihat sejumlah peristiwa kecelakaan yang menimpa Polonia sejak 1975 hingga kebakaran 2006 dan 2007. Sejumlah peristiwa kecelakaan pesawat yang akan mendarat dan take off ke atau dari Polonia telah merenggut nyawa sejumlah orang. Peristiwa naas yang belum lekang dari ingatan adalah saat pesawat Mandala Airlines yang ditumpangi oleh T Nurdin (Gubernur Sumut saat itu) pada 2005 gagal take off di run way sehingga terjatuh di jalan umum Jamin Ginting, menewaskan Gubernur dalam 145 orang kru dan penumpang lainnya.

Tepat 24 Juli 2013, pukul 23.00 pemerintah diwakili oleh Menteri Negara BUMN Dahlan Iskan mengumumkan secara resmi berhentinya operasional Polonia sebagai bandara komersial di Medan. Pada hari itu menjelang berkahirnya tanggal tersebut tercatat dalam sejarah pesawat terakhir landing dan take off di bandara yang fenomenal tersebut.

Pesawat terakhir landing adalah Lion Air nomor penerbangan JT 218 dari Jakarta. Tak lama kemudian yang paling akhir adalah Air Asia dengan nomor penerbangan QZ 783 dari Bandung.

Sementara itu, pesawat komersial yang paling terakhir menggunakan landasan pacu untuk take off adalah Garuda Indonesia Airways dengan nomor penerbangan GFO tujuan Jakarta. Pesawat itu lepas landas tepat pukul 23.35. Bersamaan dengan berkelebatnya sang  Garuda dan hilang di balik awan seolah menjadi simbol selamat tinggal sejuta kenangan dan segudang masalah akibat senyapnya Polonia dari aktifitas yang menderu-deru selama 41 oeprasionalnya.

Kini pandangan kita tertuju ke bandara yang tergolong salah satu terlengkap di tanah air bahkan di Asia Tenggara. Banyak sudah ulasan dan tulisan mendeskripsikan betapa megah dan mempesonanya bandara yang disebut Kuala Namu Internasional Airport disingkat KNIA.

Sepintas KNIA ada kemiripan soal nama saja dengan Polonia yang sama-sama berakhir dengan tiga huruf N, I dan A (NIA). Apakah ini menjadi tanda-tanda sebutan untuk KNIA pun suatu saat akan diubah atau displesetin dengan sebutan tertentu dengan alasan agar mudah menyeutnya atau bahkan agar kesannya mengingat jasa pendahulunya “Polonia?”

Beberapa nama yang diusulkan sebagai bandara tersebut telah diwacanakan beberapa tahun sebelum diresmikan. Pada Mei 2012, Pemprov Sumut telah menginventarisir 5 nama dari sejumlah usulan yang masuk. Ke Lima usulan nama yang disampaikan kepada pemerintah antara lain adalah :

    Bandara Sultan Serdang.

    Bandara Kualanamu.

    Bandara Raja Sisingamangaraja XII.

    Bandara Haji Adam Malik.

    Bandara Tengku Amir Hamzah.

Pemerintah akhirnya menyetujui nama Bandara Kualanamu (Kuala Namu) sebagai nama yang resmi dan digunakan untuk bandara internasional tersebut, lengkapnya Kuala Namu Internasional Air Port (KNIA).

Sekarang mata tertuju ke KNIA. Setiap penumpang yang akan menuju ke bandara tersebut akan melafalkan nama bandara tersbut dengan cepat dengan menyebut KNIA. Jika dieja satu per satu menajdi “Ka”, “En”, “I” dan “A” lalu secara cepat menyebut KANIA atau “Kania.”

Soal memberi nama tidak diragukan lagi orang kita mungkin salah satu yang tercepat dan tercanggih di dunia. Lihat saja dalam pemberian nama pasangan calon kepala daerah. Sebutannya kadang-kadang aneh-aneh dan membingungnkan.  Tapi semuanya katanya untuk memudahkan.

Lihat saja pemberian nama pasangan calon Gubernur Sumut yang menjadi pemenang pilkada Gubernur Sumut. Pasangan Gatot dan Erry supaya memudahkan penyebutan dalam pilkada itu disebut dengan “Ganteng.” Kalau disimak dalam-dalam dari mana akronim itu datangnya? Tapi itulah bukti dan faktanya semata-mata untuk untuk memudahkan dalam penyebutannya.

Lihat juga sebutan nama salah satu Kabupaten di Sumut, Serdang Bedagai, kemudian diplesetin menjadi ” Sergei.” Lihat juga nama kabupaten lainnya seperti di Aceh, Kabupaten Pidie Jaya, disebut dengan Pijay. Sementara di Provinsi Riau kita kenal provinsi Indragiri Hilir disebut dengan “Inhil.” Masih banyak contoh lainnya dalam segala bidang.

Lalu mungkinkah bandara Kualanamu ini nantinya juga akan disebut dengan bandara Kania? Apapun tujuan dan alasannya selayaknya nama adalah nama yang harus ditulis dengan baik, benar dan lengkap. Untuk apa diubah-ubah? Bukankah telah tersedia cukup waktu dan menerima sejumlah masukan tentang rencana pemberian nama yang baik? Jika harus diubah-ubah mengapa tidak dari awal saja mencari nama yang keren bin beken ke barat-baratan.

Jika harus pun harus diubah tidakkah sebaiknya bandara tersebut diberi nama salah satu pejuang atau diplomat yang berasal dari Sumut untuk mengabadikan dan menghormati jasa pahlawan atau tokoh tersebut? Jika nama itu terlalu sulit disebutkan oleh pihak asing atau pilot yang menyebutkan nama tersebut, gunakan saja nama bergenre barat sekalian supaya memudahkan pilot atau orang asing.

Cepat atau lambat rasa-rasanya hal itu akan terjadi. Kemungkinan yang amat besar terjadi dalam penyebutan bandara Kuala Namu adalah “Kania.” Mungkin dengan ini Mikael atau Michalski akan tersenyum  dari tempat persemayamannya. Ia tahu, paling tidak masih rada mirip dengan Polonia, tempatnya yang dulu telah diserahkan kepada perusahaan Belanda dan menjadi asses pemerintah Indonesia dan telah selesai digunakan untuk kepentingan orang banyak.



abanggeutanyo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar