SULTAN ini memerintah pada paruh pertama abad ke-15. Ketika itu Kerajaan Islam Samudra Pasai diperkirakan sedang gemilang. Lokasi makamnya berada di Desa Kuta Krueng, Kecamatan Samudera, Aceh Utara, kompleks kesultanan Samudra Pasai periode kedua.
Pada batu nisan makam sultan ini terdapat inskripsi yang pada bagian menyebut namanya, seniman pemahat membentuk huruf-huruf seperti gelombang. “Ini tampaknya dituju agar sepadan dengan makna gelarnya: Ra-Ubabdar yaitu penakluk gelombang,” ujar Taqiyuddin Muhammad, peneliti sejarah dan kebudayaan Islam, Minggu lalu.
Sebagaimana terdapat pada epitaf nisannya, kata Taqiyuddin, nama sultan ini adalah Sultan Zainal ‘Abidin bin Ahmad bin Ahmad bin Muhammad bin Al-Malik Ash-Shalih. Secara garis keturunan, Zainal ‘Abidin ini adalah putra dari paman Malikah (Ratu) Nahrasyiyah yang bernama Ahmad.
“Tidak diketahui persis sebab peralihan kekuasaan kepada sepupu Nahrasyiyah ini. Namun dapat dipastikan ia memerintah sampai dengan wafatnya pada 841 Hijriah atau 1438 Masehi. Samudra Pasai dalam masa itu, paruh pertama abad ke-15 tampaknya sedang berada di era paling gemilang,” ujar peneliti dari Central Information for Samudra Pasai Heritage (CISAH) ini.
Gelar Ra-Ubabdar atau penakluk gelombang untuk sultan ini punya makna besar. Diperkirakan, kata Taqiyuddin, dalam masa itu, Zainal ‘Abidin telah melakukan perluasan wilayah kekuasaannya sampai semenanjung Melayu. Membuka kota Mulaqat (Mulaqat berarti tempat perjumpaan kapal-kapal dari Timur dan Barat; Melaka), dan mendudukkan putranya, Manshur untuk memerintah di sana.
Ketika itu Samudra Pasai benar-benar menjadi tuan atas selat Melaka yang ramai. “Zaman tersebut adalah zaman keemasan bagi Samudra Pasai,” kata Taqiyuddin.
Selain bergelar Ra-Ubabdar, Zainal ‘Abidin juga bergelar Al-Malik Azh-Zhahir, sebagaimana terdapat pada inskripsi nisan salah seorang keturunannya. Para sultan Samudra Pasai sampai dengan tahun berakhirnya kerajaan ini, kata Taqiyuddin, adalah anak dan cucu keturunan Sultan Zainal ‘Abidin tersebut.
Itu sebabnya pada setiap dirham yang dicetak oleh para sultan disebutkan Malik Azh-Zhahir setelah nama mereka untuk memaksudkan bahwa mereka adalah anak-cucu keturunan Zainal ‘Abidin.
Adapun terjemahan inskripsi pada makam Zainal ‘Abidin Ra-Ubabdar:
"Inilah pembaringan yang bercahaya bagi orang yang dirahmati lagi yang diampuni Sultan Zainal ‘Abidin Ra-Ubabdar bin Ahmad bin Ahmad bin Muhammad bin Al-Malik Ash-Shalih. Semoga Allah mengampunkan ia dan kedua orangtuanya serta seluruh muslimin. Diwafatkan pada hari Jumat waktu Zhuhur (tengah hari) 21 bulan Syawwal tahun 841 dari hijrah Nabi yang terpilih, semoga kepada baginda itu dilimpahkan seutama-utamanya shalawat dan salam yang paling sempurna".[]
Pada batu nisan makam sultan ini terdapat inskripsi yang pada bagian menyebut namanya, seniman pemahat membentuk huruf-huruf seperti gelombang. “Ini tampaknya dituju agar sepadan dengan makna gelarnya: Ra-Ubabdar yaitu penakluk gelombang,” ujar Taqiyuddin Muhammad, peneliti sejarah dan kebudayaan Islam, Minggu lalu.
Sebagaimana terdapat pada epitaf nisannya, kata Taqiyuddin, nama sultan ini adalah Sultan Zainal ‘Abidin bin Ahmad bin Ahmad bin Muhammad bin Al-Malik Ash-Shalih. Secara garis keturunan, Zainal ‘Abidin ini adalah putra dari paman Malikah (Ratu) Nahrasyiyah yang bernama Ahmad.
“Tidak diketahui persis sebab peralihan kekuasaan kepada sepupu Nahrasyiyah ini. Namun dapat dipastikan ia memerintah sampai dengan wafatnya pada 841 Hijriah atau 1438 Masehi. Samudra Pasai dalam masa itu, paruh pertama abad ke-15 tampaknya sedang berada di era paling gemilang,” ujar peneliti dari Central Information for Samudra Pasai Heritage (CISAH) ini.
Gelar Ra-Ubabdar atau penakluk gelombang untuk sultan ini punya makna besar. Diperkirakan, kata Taqiyuddin, dalam masa itu, Zainal ‘Abidin telah melakukan perluasan wilayah kekuasaannya sampai semenanjung Melayu. Membuka kota Mulaqat (Mulaqat berarti tempat perjumpaan kapal-kapal dari Timur dan Barat; Melaka), dan mendudukkan putranya, Manshur untuk memerintah di sana.
Ketika itu Samudra Pasai benar-benar menjadi tuan atas selat Melaka yang ramai. “Zaman tersebut adalah zaman keemasan bagi Samudra Pasai,” kata Taqiyuddin.
Selain bergelar Ra-Ubabdar, Zainal ‘Abidin juga bergelar Al-Malik Azh-Zhahir, sebagaimana terdapat pada inskripsi nisan salah seorang keturunannya. Para sultan Samudra Pasai sampai dengan tahun berakhirnya kerajaan ini, kata Taqiyuddin, adalah anak dan cucu keturunan Sultan Zainal ‘Abidin tersebut.
Itu sebabnya pada setiap dirham yang dicetak oleh para sultan disebutkan Malik Azh-Zhahir setelah nama mereka untuk memaksudkan bahwa mereka adalah anak-cucu keturunan Zainal ‘Abidin.
Adapun terjemahan inskripsi pada makam Zainal ‘Abidin Ra-Ubabdar:
"Inilah pembaringan yang bercahaya bagi orang yang dirahmati lagi yang diampuni Sultan Zainal ‘Abidin Ra-Ubabdar bin Ahmad bin Ahmad bin Muhammad bin Al-Malik Ash-Shalih. Semoga Allah mengampunkan ia dan kedua orangtuanya serta seluruh muslimin. Diwafatkan pada hari Jumat waktu Zhuhur (tengah hari) 21 bulan Syawwal tahun 841 dari hijrah Nabi yang terpilih, semoga kepada baginda itu dilimpahkan seutama-utamanya shalawat dan salam yang paling sempurna".[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar