.
NAMA Paya Bakoeng memang diharumkan oleh kedua kakak beradik yang sama-sama ulama dan pejuang, Teungku Paya Bakoeng (Teungku Di Mata Ie) dan Teungku Chik Paya Bakoeng. Orang yang dikenal dengan Teungku Chik Paya Bakoeng ini memiliki gelar lain yang barangkali lebih kondang, yakni Teungku Seupoet Mata (tuna netra). Ia adalah abang dari Teungku Paya Bakoeng.
Sayang, selama ini riwayat hidup serta peran kedua tokoh besar ini dalam masa-masa perjuangan membela Agama dan bangsa masih sangat kurang diperoleh dari sumber lokal, sekalipun keduanya hidup sampai dengan awal-awal abad silam. Sebaliknya, pihak yang sejatinya adalah musuh dari kedua tokoh ini menulis tentang mereka dengan suatu penghormatan yang sama sekali tidak ditutup-tutupi. Keduanya adalah tokoh-tokoh agung dalam sejarah perang Belanda di Aceh.
Dalam tulisannya, Zentgraaff (1983:163) menyebutkan bahwa Teungku Seupoet Mata adalah seorang aulia dan berjuang di lapangan kerohanian, meninggalkan kebendaan. Bawarnya (sejenis keris lurus) yang bergagang emas merupakan benda keramat (?). Jika dalam keadaan bahaya, dan ia menghunus bawarnya itu, maka ia tidak dapat dilihat dan musuh-musuhnya menjadi lumpuh. Sekalipun ia tidak dapat melihat benda-benda duniawi lagi, tapi semangat juangnya teramat tinggi hingga tidak ganjil bila ada kalanya tali kendali perjuangan justeru berada dalam genggam tangannya.
Kala itu perjuangan rakyat Pasai melawan Belanda sedang memasuki babak baru. Setelah Teuku Chik Di Tunong syahid, istrinya, Cut Meutia, menikah dengan Pang Nanggroe sesuai pesan terakhir yang disampaikan Teuku Chik Di Tunong. Tidak lama setelah pesan itu dilaksanakan, Cut Meutia dan Pang Nanggroe yang telah bertekad melanjutkan perjuangan melawan Belanda pergi meninggalkan Keureuto dengan membawa serta Teuku Raja Sabi, satu-satunya pewaris Teuku Chik Di Tunong, yang pada waktu itu masih kecil.
Tujuan mereka adalah kubu pertahanan Teuku Ben Daud, ayah Cut Meutia, di hulu Krueng Jambo Aye. Kehadiran Cut Meutia dan putranya di kubu pertahanan Jambo Aye disambut gembira oleh para pejuang Aceh, dan merupakan satu faktor penyebab bertambah banyaknya kekuatan laskar muslimin.
Mereka didukung oleh ulama-ulama besar yang punya pengaruh luas dalam masyarakat, terutama Teungku Chik Paya Bakoeng atau Teungku Seupoet Mata dan saudaranya, Teungku Paya Bakoeng (Ahmad, dkk., 1993).
Kepergian Cut Meutia dan Teuku Raja Sabi dari Keureuto yang kemudian tersiar secara luas mengundang kemarahan Belanda. Agaknya, Belanda sudah meraba adanya suatu gelombang perlawanan baru terhadap pihaknya. Dari itu Belanda mulai mengadakan pemeriksaan dan melakukan siasat licik kepada pemimpin-pemimpin rakyat yang masih tinggal di kampung. Rakyat ditangkap dan dipenjarakan dalam sebuah tangsi, dan rumah-rumah yang dicurigai dibakar.
Kondisi ini kemudian diketahui oleh Pang Nanggroe dan Cut Meutia. Maka, dalam satu musyawarah pemimpin-pemimpin perjuangan yang dihadiri Teungku Chik Paya Bakoeng, Teungku Di Mata Ie, Teuku Ben Daud, Teungku Ben Pirak, Pang Nanggroe sendiri dan Cut Meutia serta lainya, diputuskanlah untuk melakukan penyerangan ke tangsi-tangsi Belanda di mana orang-orang muslimin ditahan.
Dibentuklah tiga pasukan yang masing-masingnya dipimpin oleh Teungku Ben Daud, Teungku Ben Pirak dan Pang Nanggroe. Di utara, Pang Nanggroe berhasil menimbulkan kerusuhan, dan pada saat bersamaan Teungku Ben Daud dan Ben Pirak menggempur tangsi-tangsi tempat penahanan orang-orang muslimin sampai akhirnya mereka dapat dibebaskan.
Sesudah operasi pembebasan tahanan itu berlangsung sukses, ketiga pasukan ini kembali menarik diri ke kubu pertahanan di hulu Jambo Aye. Para pejuang mengadakan kenduri syukuran atas kesuksesan tersebut. Inilah gerak perlawanan pertama yang dipimpin oleh Pang Nanggroe dan Cut Meutia untuk kemudian terus berlanjut sampai dengan lima tahun berikutnya, sampai 1910 (Ahmad, dkk., 1993).
Dalam perlawanan yang dipimpin oleh Pang Nanggroe bersama Cut Meutia ini, Teungku Chik Paya Bakoeng adalah tokoh ulama besar yang berkerja sama dengan Pang Nanggroe, sebagaimana ditulis Zentgraaff (1983:163). Kekukuhan keyakinannya dalam melawan Belanda inilah yang membawa dirinya untuk selalu setia mendampingi dan mendukung gerak perlawanan yang dipimpin Pang Nanggroe dan Cut Meutia. Ia selalu berada dalam barisan Pang Nanggroe dan Cut Meutia sampai semua mereka mencapai kesyahidan fi sabilillah.
1910 adalah tahun penutup bagi perjuangan ketiga tokoh ini; Pang Nanggroe, Cut Meutia dan Teungku Chik Paya Bakoeng atau Teungku Seupoet Mata. Pang Nanggroe menemui ajalnya sebagai syahid dalam satu pertempuran pada 26 September 1910.
Kepada Teuku Raja Sabi selaku pewaris kenegerian Keureuto dan simbol perjuangan, yang berada bersamanya dalam pertempuran itu, Pang Nanggroe sempat berpesan lirih: “Plueng laju, jak seutot Ma, loen ka mate.” (Larilah, ikuti bundamu, sebentar lagi aku akan menemui ajalku) (Zentgraaff, 1983:195). Sebaris kalimat yang walaupun sudah lama berselang waktu tapi masih saja terngiang di telinga Teuku Raja Sabi sampai menjelang tahun-tahun akhir hidupnya.
Adalah suatu keajaiban ketika Cut Meutia dan Teuku Raja Sabi berhasil menyelamatkan diri dalam penyergapan Belanda dan pertempuran yang menggugurkan Pang Nanggroe. Cut Meutia yang kini ditinggal sendiri untuk memimpin perjuangan tidak pernah putus asa. Ia berusaha untuk pergi menjumpai Teungku Di Mata Ie yang masih melakukan perlawanan terhadap Belanda di wilayah dataran tinggi Gayo.
Namun, adalah takdir semata ketika pada 25 Oktober 1910, yakni selang sebulan saja dari meninggalnya Pang Nanggroe, pasukan marsose yang dipimpin Sersan Mosselman dapat menemukan jejak para pejuang Aceh di dekat aliran Krueng Peuto. Suatu pertarungan sengit kemudian berlangsung antara kedua pasukan.
Dari pihak pejuang Aceh, seperti diceritakan Mosselman, isyarat untuk menyerbu diberikan oleh seorang wanita bertubuh ramping, berwajah putih kuning dengan rambut terurai yang mengayunkan kelewangnya seraya berteriak-teriak, dan mendadak menyerbu dari dalam hutan. Namun sesaat kemudian, wanita itu tersungkur ke bawah seperti halnya beberapa pemuda yang mengikuti jejaknya akibat peluru yang mengenai kepalanya ketika ia menyerbu sampai beberapa meter di depan pasukan Belanda (Zentgraaff, 1983:229).
Cut Meutia gugur sebagai syahid di jalan Allah, mempersembahkan nyawanya untuk Agama dan bangsa yang dicintai. Tapi bunyi tembakan masih bergemuruh dari arah para pejuang Aceh, bahkan lebih dahsyat dari sebelumnya. Adalah menit-menit yang sulit dan kritis bagi Mosselman pada saat itu.
Sampai kemudian letusan tembakan terdengar mengendur bersama suara mengucap La Ilaha Illa-Llah yang mulai melemah. Kesempatan itu digunakan Mosselman untuk menyerbu ke dalam hutan di mana pasukan muslimin berlindung.
Lalu, kata Mosselman, “Di depan kami terbaring laki-laki tua yang tadinya dipapah teman-temannya terkena peluru kami. Dari balik batu-batu besar dua pemuda melompat ke depan, melindungi tubuh laki-laki tua itu dengan tubuh mereka sambil menghunus kelewang dan rencong. Kedua mereka terpaksa ditumbangkan. Ketika saya melangkahinya saya melihat, bahwa laki-laki tua itu telah meninggal. Ia terbaring di tanah dalam keadaan tak bergerak. Sesaat saya melihat senjatanya yang dilapisi emas, senjata bawar yang terkenal itu, dan tiba-tiba terlintas di kepala bahwa ia tentulah seorang keramat.” (Zentgraaff, 1983:230).
Selesai pertempuran itu, Belanda mencatat tanda-tanda lahiriah yang terdapat pada pasukan pejuang Aceh yang syahid. Pakaian-pakaian mereka ditulis dan semua barang yang terdapat di tubuh mereka dikumpulkan secara terpisah-pisah. Catatan Belanda antara lain menyebutkan bahwa laki-laki tua itu adalah seorang tuna netra karena lapisan biji matanya yang berwarna kelabu; pada senjata dan cap yang terdapat di tubuhnya dinukilkan nama Teungku Syekh Di Paya Bakoeng, pada cap lainnya tertulis nama Teungku Blang Pidie. Mosselman lantas mengaku bahwa ia ternyata telah berhadapan dengan para petinggi laskar pejuang Aceh (Zentgraaff, 1983:232-3).
Teungku Chik Paya Bakoeng atau Teungku Seupoet Mata gugur sebagai syahid bersama Cut Meutia dan pejuang-pejuang lainya yang gagah berani. Nampaknya, mereka memang telah ‘menazarkan’ diri mereka untuk suatu perjumpaan dengan musuh seperti hari tersebut. Kesyahidan di jalan-Nya, dalam membela Agama-Nya dan tanah negeri muslimin adalah cita-cita yang tak pernah sebanding dengan yang lain. Adalah suatu cita-cita puncak dari sebuah perjalanan hidup yang amat bermakna.[]
* Taqiyuddin Muhammad adalah peneliti sejarah kebudayaan Islam
Sayang, selama ini riwayat hidup serta peran kedua tokoh besar ini dalam masa-masa perjuangan membela Agama dan bangsa masih sangat kurang diperoleh dari sumber lokal, sekalipun keduanya hidup sampai dengan awal-awal abad silam. Sebaliknya, pihak yang sejatinya adalah musuh dari kedua tokoh ini menulis tentang mereka dengan suatu penghormatan yang sama sekali tidak ditutup-tutupi. Keduanya adalah tokoh-tokoh agung dalam sejarah perang Belanda di Aceh.
Dalam tulisannya, Zentgraaff (1983:163) menyebutkan bahwa Teungku Seupoet Mata adalah seorang aulia dan berjuang di lapangan kerohanian, meninggalkan kebendaan. Bawarnya (sejenis keris lurus) yang bergagang emas merupakan benda keramat (?). Jika dalam keadaan bahaya, dan ia menghunus bawarnya itu, maka ia tidak dapat dilihat dan musuh-musuhnya menjadi lumpuh. Sekalipun ia tidak dapat melihat benda-benda duniawi lagi, tapi semangat juangnya teramat tinggi hingga tidak ganjil bila ada kalanya tali kendali perjuangan justeru berada dalam genggam tangannya.
Kala itu perjuangan rakyat Pasai melawan Belanda sedang memasuki babak baru. Setelah Teuku Chik Di Tunong syahid, istrinya, Cut Meutia, menikah dengan Pang Nanggroe sesuai pesan terakhir yang disampaikan Teuku Chik Di Tunong. Tidak lama setelah pesan itu dilaksanakan, Cut Meutia dan Pang Nanggroe yang telah bertekad melanjutkan perjuangan melawan Belanda pergi meninggalkan Keureuto dengan membawa serta Teuku Raja Sabi, satu-satunya pewaris Teuku Chik Di Tunong, yang pada waktu itu masih kecil.
Tujuan mereka adalah kubu pertahanan Teuku Ben Daud, ayah Cut Meutia, di hulu Krueng Jambo Aye. Kehadiran Cut Meutia dan putranya di kubu pertahanan Jambo Aye disambut gembira oleh para pejuang Aceh, dan merupakan satu faktor penyebab bertambah banyaknya kekuatan laskar muslimin.
Mereka didukung oleh ulama-ulama besar yang punya pengaruh luas dalam masyarakat, terutama Teungku Chik Paya Bakoeng atau Teungku Seupoet Mata dan saudaranya, Teungku Paya Bakoeng (Ahmad, dkk., 1993).
Kepergian Cut Meutia dan Teuku Raja Sabi dari Keureuto yang kemudian tersiar secara luas mengundang kemarahan Belanda. Agaknya, Belanda sudah meraba adanya suatu gelombang perlawanan baru terhadap pihaknya. Dari itu Belanda mulai mengadakan pemeriksaan dan melakukan siasat licik kepada pemimpin-pemimpin rakyat yang masih tinggal di kampung. Rakyat ditangkap dan dipenjarakan dalam sebuah tangsi, dan rumah-rumah yang dicurigai dibakar.
Kondisi ini kemudian diketahui oleh Pang Nanggroe dan Cut Meutia. Maka, dalam satu musyawarah pemimpin-pemimpin perjuangan yang dihadiri Teungku Chik Paya Bakoeng, Teungku Di Mata Ie, Teuku Ben Daud, Teungku Ben Pirak, Pang Nanggroe sendiri dan Cut Meutia serta lainya, diputuskanlah untuk melakukan penyerangan ke tangsi-tangsi Belanda di mana orang-orang muslimin ditahan.
Dibentuklah tiga pasukan yang masing-masingnya dipimpin oleh Teungku Ben Daud, Teungku Ben Pirak dan Pang Nanggroe. Di utara, Pang Nanggroe berhasil menimbulkan kerusuhan, dan pada saat bersamaan Teungku Ben Daud dan Ben Pirak menggempur tangsi-tangsi tempat penahanan orang-orang muslimin sampai akhirnya mereka dapat dibebaskan.
Sesudah operasi pembebasan tahanan itu berlangsung sukses, ketiga pasukan ini kembali menarik diri ke kubu pertahanan di hulu Jambo Aye. Para pejuang mengadakan kenduri syukuran atas kesuksesan tersebut. Inilah gerak perlawanan pertama yang dipimpin oleh Pang Nanggroe dan Cut Meutia untuk kemudian terus berlanjut sampai dengan lima tahun berikutnya, sampai 1910 (Ahmad, dkk., 1993).
Dalam perlawanan yang dipimpin oleh Pang Nanggroe bersama Cut Meutia ini, Teungku Chik Paya Bakoeng adalah tokoh ulama besar yang berkerja sama dengan Pang Nanggroe, sebagaimana ditulis Zentgraaff (1983:163). Kekukuhan keyakinannya dalam melawan Belanda inilah yang membawa dirinya untuk selalu setia mendampingi dan mendukung gerak perlawanan yang dipimpin Pang Nanggroe dan Cut Meutia. Ia selalu berada dalam barisan Pang Nanggroe dan Cut Meutia sampai semua mereka mencapai kesyahidan fi sabilillah.
1910 adalah tahun penutup bagi perjuangan ketiga tokoh ini; Pang Nanggroe, Cut Meutia dan Teungku Chik Paya Bakoeng atau Teungku Seupoet Mata. Pang Nanggroe menemui ajalnya sebagai syahid dalam satu pertempuran pada 26 September 1910.
Kepada Teuku Raja Sabi selaku pewaris kenegerian Keureuto dan simbol perjuangan, yang berada bersamanya dalam pertempuran itu, Pang Nanggroe sempat berpesan lirih: “Plueng laju, jak seutot Ma, loen ka mate.” (Larilah, ikuti bundamu, sebentar lagi aku akan menemui ajalku) (Zentgraaff, 1983:195). Sebaris kalimat yang walaupun sudah lama berselang waktu tapi masih saja terngiang di telinga Teuku Raja Sabi sampai menjelang tahun-tahun akhir hidupnya.
Adalah suatu keajaiban ketika Cut Meutia dan Teuku Raja Sabi berhasil menyelamatkan diri dalam penyergapan Belanda dan pertempuran yang menggugurkan Pang Nanggroe. Cut Meutia yang kini ditinggal sendiri untuk memimpin perjuangan tidak pernah putus asa. Ia berusaha untuk pergi menjumpai Teungku Di Mata Ie yang masih melakukan perlawanan terhadap Belanda di wilayah dataran tinggi Gayo.
Namun, adalah takdir semata ketika pada 25 Oktober 1910, yakni selang sebulan saja dari meninggalnya Pang Nanggroe, pasukan marsose yang dipimpin Sersan Mosselman dapat menemukan jejak para pejuang Aceh di dekat aliran Krueng Peuto. Suatu pertarungan sengit kemudian berlangsung antara kedua pasukan.
Dari pihak pejuang Aceh, seperti diceritakan Mosselman, isyarat untuk menyerbu diberikan oleh seorang wanita bertubuh ramping, berwajah putih kuning dengan rambut terurai yang mengayunkan kelewangnya seraya berteriak-teriak, dan mendadak menyerbu dari dalam hutan. Namun sesaat kemudian, wanita itu tersungkur ke bawah seperti halnya beberapa pemuda yang mengikuti jejaknya akibat peluru yang mengenai kepalanya ketika ia menyerbu sampai beberapa meter di depan pasukan Belanda (Zentgraaff, 1983:229).
Cut Meutia gugur sebagai syahid di jalan Allah, mempersembahkan nyawanya untuk Agama dan bangsa yang dicintai. Tapi bunyi tembakan masih bergemuruh dari arah para pejuang Aceh, bahkan lebih dahsyat dari sebelumnya. Adalah menit-menit yang sulit dan kritis bagi Mosselman pada saat itu.
Sampai kemudian letusan tembakan terdengar mengendur bersama suara mengucap La Ilaha Illa-Llah yang mulai melemah. Kesempatan itu digunakan Mosselman untuk menyerbu ke dalam hutan di mana pasukan muslimin berlindung.
Lalu, kata Mosselman, “Di depan kami terbaring laki-laki tua yang tadinya dipapah teman-temannya terkena peluru kami. Dari balik batu-batu besar dua pemuda melompat ke depan, melindungi tubuh laki-laki tua itu dengan tubuh mereka sambil menghunus kelewang dan rencong. Kedua mereka terpaksa ditumbangkan. Ketika saya melangkahinya saya melihat, bahwa laki-laki tua itu telah meninggal. Ia terbaring di tanah dalam keadaan tak bergerak. Sesaat saya melihat senjatanya yang dilapisi emas, senjata bawar yang terkenal itu, dan tiba-tiba terlintas di kepala bahwa ia tentulah seorang keramat.” (Zentgraaff, 1983:230).
Selesai pertempuran itu, Belanda mencatat tanda-tanda lahiriah yang terdapat pada pasukan pejuang Aceh yang syahid. Pakaian-pakaian mereka ditulis dan semua barang yang terdapat di tubuh mereka dikumpulkan secara terpisah-pisah. Catatan Belanda antara lain menyebutkan bahwa laki-laki tua itu adalah seorang tuna netra karena lapisan biji matanya yang berwarna kelabu; pada senjata dan cap yang terdapat di tubuhnya dinukilkan nama Teungku Syekh Di Paya Bakoeng, pada cap lainnya tertulis nama Teungku Blang Pidie. Mosselman lantas mengaku bahwa ia ternyata telah berhadapan dengan para petinggi laskar pejuang Aceh (Zentgraaff, 1983:232-3).
Teungku Chik Paya Bakoeng atau Teungku Seupoet Mata gugur sebagai syahid bersama Cut Meutia dan pejuang-pejuang lainya yang gagah berani. Nampaknya, mereka memang telah ‘menazarkan’ diri mereka untuk suatu perjumpaan dengan musuh seperti hari tersebut. Kesyahidan di jalan-Nya, dalam membela Agama-Nya dan tanah negeri muslimin adalah cita-cita yang tak pernah sebanding dengan yang lain. Adalah suatu cita-cita puncak dari sebuah perjalanan hidup yang amat bermakna.[]
* Taqiyuddin Muhammad adalah peneliti sejarah kebudayaan Islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar