Jumat, 19 Desember 2014

Ketua Umum Muhammadiyah Dulu Sebutannya Presiden

Pada waktu organisasi Muhammadiyah direkomendasikan oleh Budi Utomo kepada Sultan Hamengku Buwono VII, untuk diperiksa oleh  Rykbestuur der Yogyakarta, Patih Dalem Sri Sultan dan Raad Agama yang dipimpin  Kiai Penghulu Masjid Gedhe Yogyakarta, Kiai Penghulu Muhammad Kholil Kamaludiningrat, konsep organisasi Muhammadiyah akan dipimpin oleh KH Ahmad Dahlan sebagai PRESIDENT.

Sultan HB VII dan Patih Dalem sebenarnya tidak berkeberatan dengan pengajuan pendirian persyarikatan keagamaan Muhammadiyah tersebut, namun formalitas usulan tersebut harus disetujui oleh Raad Agama, yang dipimpin Kiai Penghulu kamaludiningrat tersebut.   Ternyata Kiai Penghulu tersinggung dengan permohonan izin pendirian Muhammadiyah tersebut, disangkanya KH Ahmad Dahlan akan mengangkat dirinya menjadi RESIDENT agama di Kesultanan Yogyakarta, maka usulan tersebut ditolak oleh Raad Agama.

Mendengar laporan Patih Dalem bahwa permohonan izin pendirian Muhammadiyah ditolak Raad Agama, Sultan HB VII kaget, ia memerintahkan Patih Dalem menanyakan langsung ke Kiai Penghulu Kamaludiningrat, apa alasan pokok penolakan tersebut?   Selidik punya selidik ternyata gara-gara Kiai Penghulu tidak bisa membedakan PRESIDENT dan RESIDENT.  Padahal sebutan PRESIDENT artinya pemimpin tertinggi di persyarikatan Muhammadiyah, bukan RESIDENT khusus agama yang memimpin se-Karesidenan Yogyakarta.

Jadi Muhammadiyah pada saat didirikan dan mendapat persetujuan resmi Pemerintah Hindia Belanda, ditandatangani oleh Gubernur Jenderal  Alexander Willem Frederik Idenburg pada 18 November 1912 bertepatan dengan 8 Dzulhijjah 1330 H, dipimpin oleh seorang PRESIDENT yang bernama KH Ahmad Dahlan.

President KH Ahmad Dahlan, dikenal sebagai ulama cerdas dan kritis pada zamannya, telah khatam Al Quran pada usia 8 tahun, murid para Kiai terkenal di Tanah Jawa, lima tahun belajar agama Islam di Mekkah, dua kali naik haji, sekali atas biaya keluarga dan sekali lagi atas biaya Sultan Hamengku Buwono VII, yang juga bergelar Sayidin Panatagama Khalifatullah.   Saya tak tahu apakah hanya tiga kata saja gelar keagamaan Sri Sultan, seingat saya sedikit berbeda dengan gelar serupa untuk Pangeran Diponegoro, Sayidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jaw

Sang Pencerah, Novelisasi Kehidupan KH Ahmad Dahlan dan Perjuangannya Mendirikan Muhammadiyah. Akmal Nasery Basral, 2010.

    Sumber bacaan lain, khusus untuk gelar Pangeran Diponegoro.

Hendi S

Tidak ada komentar:

Posting Komentar