Rabu, 24 Desember 2014

Menuntaskan Dakwah Wali Sanga

Bagi banyak kalangan Muslim tradisionalis di tanah air, Wali Sanga telah menjelma sebagai mitos, model beragama hingga parameter sejauh mana tingkat ke-aswaja-an seseorang yang diukur berdasarkan kadar ketakziman terhadap mereka. Maka tak heran, sederet amalan menyangkut ibadah yang sejatinya tidak pernah dituntunkan oleh Nabi SAW dan para sahabatnya tetap dijaga, dilestarikan demi melanggengkan pengamalan “Islam Aswaja ala Nusantara”. Untuk itulah ritual-ritual yang dikenal sebagai wisata religi dengan konten menziarahi makam Wali Sanga selalu digalakkan berbagai majelis taklim pelestari Islam tradisionalis. Para peserta wisata religi tersebut umumnya berkeyakinan bahwa berdoa di samping makam wali jauh lebih mustajab dibanding berdoa di tempat lain. Maka dengan keyakinan semacam itu, sangatlah rawan seorang Muslim tergelincir kepada satu bentuk kemusyrikan. Bila mulanya sebagian orang sekadar berkeyakinan berdoa di samping kuburan wali lebih mustajab, di mana keyakinan itu pun sudah merupakan satu bid’ah, maka bisa jadi setan bakal menggelincirkannya pada satu keyakinan “menjadikan kuburan wali sebagai perantara berdoa kepada Allah” atau bahkan pada kemusyrikan yang lebih besar dengan meyakini bahwa arwah orang saleh yang sudah meninggal dapat memberikan pertolongan kepada mereka yang berhajat.

Pola pengultusan terhadap sosok Wali Sanga seperti contoh di atas, tak pelak bertransformasi pula pada pengultusan terhadap sosok kyai yang oleh sebagian golongan santri dan awam diyakini sebagai penerus estafet dakwah Wali Sanga. Tradisi ngalap berkah pada akhirnya turut pula dipraktekkan terhadap para kyai, baik ketika yang bersangkutan masih hidup atau ketika sudah meninggal. Maka kita lihat, tak jarang masyarakat awam memandang eksistensi sebagian kyai sebagai “pemilik ilmu putih” yang dengan “imu”-nya tersebut diyakini bisa menyeleseikan segala problematika hidup. Alhasil, tak jarang dijumpai satu model “kyai paranormal” yang membuka praktek perdukunan, yang berpenampilan islami hingga membuat banyak orang tertipu. Orang-orang awam tersebut berkeyakinan bahwa yang mereka datangi adalah “kyai beraliran putih”. Sayangnya, ternyata bukan hanya orang awam saja yang tertipu dengan fenomena demikian. Tak sedikit kalangan berpendidikan, berpangkat hingga selebritis yang terpedaya dengan praktek perdukunan berkedok pengobatan alternatif kyai A atau ustadz B. Kalau terorisme atau premanisme berkedok agama mungkin orang dengan gampang tersadar lantaran efek yang ditimbulkan berupa kerusakan fisik, sementara jika menyangkut ‘teroris dan preman akidah’ yang membalut dirinya dengan label islami namun hakikatnya adalah para penjaja kemusyrikan, tentu berpotensi mengelabuhi banyak orang.

Maraknya fenomena dukun berkedok pemuka agama, bahkan ada yang hilir mudik tampil di layar kaca, sejatinya tak dapat dilepaskan dari model keislaman sebagian (besar ?) masyarakat Indonesia yang cenderung mistis dan sinkretis. Hal ini sebagaimana ungkapan seorang peneliti Belanda, “sekiranya dada umat Muslim Nusantara ini dibelah, niscaya akan tampak bahwa dalam hati mereka masih lekat dengan keyakinan Hindu-Budha”. Gejala itu pun masih ditambah dengan karakter taklid buta dalam beragama, sehingga orang cenderung kehilangan nalar ilmiahnya, termasuk tatkala menerima kabar-kabar yang bersifat gethok tular turun temurun menyangkut biografi Wali Sanga. Sebagai contoh, hingga saat ini masih banyak yang percaya bahwa asal mula nama Sunan Kalijaga bermula dari ‘ritual’ taubatnya seorang brandal Lokajaya di bawah bimbingan Sunan Bonang. Konon sebagai salah satu syarat taubatnya, brandal Lokajaya disuruh bersemadi menunggui tongkat Sunan Bonang yang ditancapkan di tepi sungai. Sang brandal yang telah insyaf itu dilarang meninggalkan tempat tersebut hingga Sunan Bonang kembali. Celakanya, hari demi hari, minggu demi minggu Sunan Bonang belum kunjung balik ke pinggiran sungai di mana brandal Lokajaya diam bersemadi. Barulah setelah selang lebih dari tiga tahun, dikisahkan Sunan Bonang menengok kembali tempat tersebut serta mendapati brandal Lokajaya dalam kondisi berlumut, saking lamanya bertapa menjaga tongkat di tepi kali. Dari sinilah, menurut keyakinan sebagian orang awal mula nama Sunan Kalijaga. Sepintas lalu, bagi mereka yang berfikir kritis tentulah bakal dengan gampang mematahkan mitos tersebut. Sangatlah absurd dan naif seorang penyebar Islam sekaliber Sunan Bonang justru menyuruh seorang brandal yang hendak bertaubat untuk bersemadi menjaga tongkat, lantas meninggalkannya bertahun-tahun. Itu artinya, selama lebih dari tiga tahun Sunan Kalijaga tidak menjalankan shalat Jumat karena memang tidak diperkenankan beranjak dari tempatnya bersemadi. Sayangnya, pesan tersirat dari kisah fiktif tersebut justru menjadi landasan beragama kaum tradisionalis di kemudian hari. Sikap brandal Lokajaya yang taklid buta, turut manut terhadap titah gurunya dimaknai sebagai satu ajaran agar umat Muslim sepenuhnya “tunduk patuh terhadap ajaran kyai, tanpa membantah, tanpa bertanya dalilnya sahih atau tidak”, atau dengan kata lain “Dunia akhirat ikut kyai”. Aplikasinya, hubungan kyai-santri adalah satu relasi searah, di mana kyai diposisikan sebagai panglima tertinggi yang titahnya wajib ditaati. Maka apa kata kyai harus didengar, sampai-sampai tatkala seorang kyai besar pluralis berbasis tradisionalis di negeri ini mengeluarkan beragam statement guna membela bahkan melegalisasi praktek-praktek kesesatan, segenap pengagumnya hanya manggut-manggut. Meski komentar-komentar sang kyai acapkali bertentangan dengan dalil-dalil yang sahih, tetap saja mereka yang merasa sebagai pengikut, santri, dan pemujanya berkilah, “lha itu kan karena maqom Pak Kyai itu sudah sejajar dengan para wali sehingga ucapannya tidak akan akan mampu dipahami oleh kita-kita yang awam.” Lebih konyol lagi ada yang sampai mengarang cerita bahwa kyai tersebut menerima warisan ilmu dari Nabi Khidir, sehingga kebanyakan orang tidak bakal mampu menyelami alur pemikirannya. Ucapan semacam itu kerapkali diamini oleh para cendekiawan pemuja pluralisme yang turut menyumbang sederet ucapan sumbang bermakna “pemikiran kyai tersebut jauh melampaui zamannya”.

Alhasil beragam kerancuan beragama kaum tradisionalis negeri ini tak dapat dipisahkan dari sikap pendewaan berlebihan terhadap metode dakwah Wali Sanga dengan mengabaikan inti dakwah yang sesungguhnya. Akibatnya, media budaya yang awalnya hanya merupakan sarana dakwah islamisasi pribumi justru diyakini sebagai bagian dari ajaran Islam yang wajib dilestarikan. Maka untuk menjaga eksistensi “Islam ala pribumi Nusantara” dirumuskanlah satu corak beragama yang hakikatnya merupakan akulturasi Islam dengan budaya lokal (Jawaisme, Hinduisme, dan Budhisme), dipadukan dengan akidah Asy’ariah serta dibungkus dengan istilah Aswaja.

Padahal, mencermati dakwah Wali Sanga dalam menyebarkan Islam di Pulau Jawa, sejatinya tidak melulu berkaitan dengan “islamisasi budaya Jawa”. Ada satu fase tatkala para dai yang tergabung dalam dewan walisanga tersebut bersepakat atas pentingnya menegakkan hukuman keras terhadap penoda agama. Hal itu terjadi manakala Syaikh Siti Jenar menyebarkan ajaran sesat wihdatul wujud Manunggaling Kawula Gusti, satu aliran yang meyakini bersatunya manusia dengan Tuhan-nya seperti yang diajarkan oleh al-Hallaj. Hukuman mati terhadap Syekh Siti Jenar akhirnya terlaksana dengan mendapat dukungan sepenuhnya dari Raden Patah (Jin Bun) selaku Sultan Demak.

Satu hal yang sering luput dari catatan sejarah Wali Sanga adalah dialog antara sesama mereka menyangkut pro dan kontra seputar penggunaan media budaya sebagai sarana dakwah. Sebagaimana ditulis H. Lawrens Rasyidi, Sunan Ampel pernah melontarkan satu kekhawatiran atas metode dakwah yang dipakai oleh sebagian rekan-rekannya. “Apakah tidak mengkhawatirkan di kemudian hari, bahwa adat istiadat dan upacara lama itu nanti dianggap sebagai ajaran yang berasal dari agama Islam? Jika hal ini dibiarkan nantinya akan menjadi bid’ah?” Sunan Kudus menjawab bahwa ia berkeyakinan kelak di kemudian hari ada yang menyempurnakannya. Sementara itu, satu seruan menarik dilontarkan Sunan Bonang yang tertera dalam sebuah manuskrip yang tersimpan di Museum Leiden. Dalam nasehatnya tersebut Sunan Bonan mengungkapkan “Ee..mitraningsun! Karana sira iki apapasihana sami-saminira Islam lan mitranira kang asih ing sira lan anyegaha sira ing dalalah lan bid’ah (Wahai saudaraku! Karena kalian semua adalah sama-sama pemeluk Islam maka hendaklah saling mengasihi dengan saudaramu yang mengasihimu. Kalian semua hendaklah mencegah dari kesesatan dan bid’ah).”

Oleh karena itu bila kita menelaah sejarah dakwah Wali Sanga secara objektif, bakal didapat satu kesimpulan bahwa sesungguhnya dakwah mereka belum tuntas. Dakwah yang dilakukan para wali tersebut secara bertahap, belum mampu meletakkan satu fondasi akidah dan pemahaman Islam yang benar dan kuat. Ibarat kata, dakwah Wali Sanga baru sebatas memperkenalkan Islam kepada masyarakat yang secara kultur animism-dinamisme masih sangat mendarah daging. Dengan demikian berdasarkan harapan Wali Sanga sendiri, menjadi tugas para pendakwah sesudah merekalah untuk meyempurnakan dakwah dengan menjelaskan kepada umat perihal ajaran Islam sesungguhnya, sebagaimana dipahami generasi salafus salih. Bukan justru secara membabi buta mempertahankan ‘ajaran Wali Sanga’ yang senyatanya memang dakwah mereka belum tuntas, seraya melabelinya dengan predikat “Islam Nusantara, atau Islam Aswaja ala Indonesia”. Wassalam.

Karyono

Tidak ada komentar:

Posting Komentar