Bukan hanya panorama alam yang menjadi primadona pelesir Biak, penelusuran sejarah melalui tempat-tempat historis Perang Dunia II yang terdapat di sana, juga menarik.
Tujuh puluh tahun silam, pulau yang berada dekat kepala burung alias utara Papua itu turut ambil bagian sebagai saksi bisu serangan demi serangan yang dilancarkan dalam Perang Dunia II antara kubu Jepang dengan Sekutu.
Di antaranya sebuah serangan udara 7 Juli 1944. Saya berkesempatan menapak tilas kembali hari naas yang mengakibatkan pemusnahan massal ribuan orang tentara Jepang itu.
1. Beranjak dari Pulau Owi, sebuah pulau mungil berpenghuni di Kepulauan Padaido. Pulau Owi, yang berada di sebelah selatan pantai Bosnik, berperan strategis bagi kemenangan pasukan Sekutu di wilayah Pasifik dan Asia Tenggara.
Pulau ini pernah menjadi basis kekuatan udara, pangkalan militer Sekutu yang mendarat di Biak pada akhir Mei 1944 dipimpin oleh Jenderal Douglas MacArthur. Tercatat, Owi berhasil ikut dikuasai sejak 2 Juni.
Sampai sekarang di Pulau Owi masih dapat ditemukan tiga landasan pacu pesawat tempur. Pun di sekitar perairan sini, pada kedalaman 30 meter, terletak bangkai kapal Catalina—yang kini jadi titik penyelaman sasaran diver untuk wreck diving.
2. Saya lanjutkan mengunjungi Monumen Perang Dunia Kedua. Monumen peringatan yang resmi berdiri pada 1994 ini dibangun persis di lokasi mulut gua, yakni di pantai di Desa Paray yang terletak antara Mokmer dan Bosnik, tujuh kilometer dari Biak Kota.
Kostan Koibur, penjaga dan pengurus monumen sejak tahun 2002, melanjutkan kinerja sang ayah. Kata Kostan, orang Jepang sering datang ke monumen untuk berziarah. Kostan dengan cukup fasih menceritakan kejadian, yang sudah didengarnya dari ayah dan nenek moyangnya secara turun-temurun tersebut.
"Hari itu, Jepang sudah kuasai daratan, area pesisir pantai. Gempuran Amerika Serikat (Sekutu) sampai tiga kali. Pesawat pertama pagi, tidak kena, disusul pesawat kedua dan ketiga," tuturnya,
"Pesawat ketiga ini—dengan pilot perempuan Amerika—pun menyapu habis tebing-tebing dan menghancurkan mulut gua." Menurut penduduk setempat lainnya, para moyang mereka saat peristiwa itu sebagian besar "diselamatkan" dengan lebih dahulu diungsikan ke pulau lain.
Tak jauh dari mulut gua, terdapat pula lubang gua lima kamar yang dulunya dipergunakan untuk "rumah sakit", tempat di mana tentara-tentara Jepang yang terluka dirawat. Disebut gua lima kamar karena memiliki lima buah rongga.
Berturut-turut, terdiri atas kamar pertama untuk menempatkan penjaga, kamar untuk pengobatan emergensi, kamar untuk pengobatan luka parah, kamar untuk mandi dan mencuci, dan terakhir kamar untuk pasien yang lewat kritis (bangsal inap).
3. Dalam Gua Jepang Binsari di Desa Sumberker, Biak Timur, sisa-sisa sejarah PD II mulai tersibak. Ini merupakan tempat berakhirnya gua, ujung pintu keluar (dari mulut gua di Pantai Paray) yang telah ada di wilayah daratan.
Agaknya Jepang di bawah Kolonel Kuzume Naoyuki tak menyukai ide melawan musuh di pesisir, maka memutuskan merancang taktik dengan jaringan gua bawah tanah di kawasan itu agar pihak tentara Sekutu mendarat ke pantai dan masuk ke perangkap. Situs Binsari merupakan salah satu guanya.
Gua alami ini dipakai untuk persembunyian, pusat logistik, dan pertahanan bagi tentara Jepang pada 1943-1945. Dari gua persembunyian, Jepang juga menembak jatuh pesawat-pesawat militer AS. Tetapi sebab itu jugalah, posisi mereka bisa diketahui.
Sejumlah 3.000 prajurit tewas terjebak dan terkubur di dalam gua yang dibombardir. Yusuf Rumaropen dan istrinya Matelda Maryen, pengelola situs gua Jepang selama 20 tahun terakhir, menerangkan, kini 850 hingga 1.000 jasad yang sudah dipulangkan ke Jepang.
"Setelah ditemukan, tulang-belulangnya diidentifikasi forensik, kemudian dikremasi dan abunya dibawa untuk dikembalikan kepada keluarga," ungkap Yusuf. Namun hingga sekarang, di dalam gua ini, masih banyak tulang belum tergali. Benda-benda peninggalan perang lain yang ditemukan, telah dikumpulkan serta diamankan di museum dalam kompeks situs.
(Gloria Samantha)
Tujuh puluh tahun silam, pulau yang berada dekat kepala burung alias utara Papua itu turut ambil bagian sebagai saksi bisu serangan demi serangan yang dilancarkan dalam Perang Dunia II antara kubu Jepang dengan Sekutu.
Di antaranya sebuah serangan udara 7 Juli 1944. Saya berkesempatan menapak tilas kembali hari naas yang mengakibatkan pemusnahan massal ribuan orang tentara Jepang itu.
1. Beranjak dari Pulau Owi, sebuah pulau mungil berpenghuni di Kepulauan Padaido. Pulau Owi, yang berada di sebelah selatan pantai Bosnik, berperan strategis bagi kemenangan pasukan Sekutu di wilayah Pasifik dan Asia Tenggara.
Pulau ini pernah menjadi basis kekuatan udara, pangkalan militer Sekutu yang mendarat di Biak pada akhir Mei 1944 dipimpin oleh Jenderal Douglas MacArthur. Tercatat, Owi berhasil ikut dikuasai sejak 2 Juni.
Sampai sekarang di Pulau Owi masih dapat ditemukan tiga landasan pacu pesawat tempur. Pun di sekitar perairan sini, pada kedalaman 30 meter, terletak bangkai kapal Catalina—yang kini jadi titik penyelaman sasaran diver untuk wreck diving.
2. Saya lanjutkan mengunjungi Monumen Perang Dunia Kedua. Monumen peringatan yang resmi berdiri pada 1994 ini dibangun persis di lokasi mulut gua, yakni di pantai di Desa Paray yang terletak antara Mokmer dan Bosnik, tujuh kilometer dari Biak Kota.
Kostan Koibur, penjaga dan pengurus monumen sejak tahun 2002, melanjutkan kinerja sang ayah. Kata Kostan, orang Jepang sering datang ke monumen untuk berziarah. Kostan dengan cukup fasih menceritakan kejadian, yang sudah didengarnya dari ayah dan nenek moyangnya secara turun-temurun tersebut.
"Hari itu, Jepang sudah kuasai daratan, area pesisir pantai. Gempuran Amerika Serikat (Sekutu) sampai tiga kali. Pesawat pertama pagi, tidak kena, disusul pesawat kedua dan ketiga," tuturnya,
"Pesawat ketiga ini—dengan pilot perempuan Amerika—pun menyapu habis tebing-tebing dan menghancurkan mulut gua." Menurut penduduk setempat lainnya, para moyang mereka saat peristiwa itu sebagian besar "diselamatkan" dengan lebih dahulu diungsikan ke pulau lain.
Tak jauh dari mulut gua, terdapat pula lubang gua lima kamar yang dulunya dipergunakan untuk "rumah sakit", tempat di mana tentara-tentara Jepang yang terluka dirawat. Disebut gua lima kamar karena memiliki lima buah rongga.
Berturut-turut, terdiri atas kamar pertama untuk menempatkan penjaga, kamar untuk pengobatan emergensi, kamar untuk pengobatan luka parah, kamar untuk mandi dan mencuci, dan terakhir kamar untuk pasien yang lewat kritis (bangsal inap).
3. Dalam Gua Jepang Binsari di Desa Sumberker, Biak Timur, sisa-sisa sejarah PD II mulai tersibak. Ini merupakan tempat berakhirnya gua, ujung pintu keluar (dari mulut gua di Pantai Paray) yang telah ada di wilayah daratan.
Agaknya Jepang di bawah Kolonel Kuzume Naoyuki tak menyukai ide melawan musuh di pesisir, maka memutuskan merancang taktik dengan jaringan gua bawah tanah di kawasan itu agar pihak tentara Sekutu mendarat ke pantai dan masuk ke perangkap. Situs Binsari merupakan salah satu guanya.
Gua alami ini dipakai untuk persembunyian, pusat logistik, dan pertahanan bagi tentara Jepang pada 1943-1945. Dari gua persembunyian, Jepang juga menembak jatuh pesawat-pesawat militer AS. Tetapi sebab itu jugalah, posisi mereka bisa diketahui.
Sejumlah 3.000 prajurit tewas terjebak dan terkubur di dalam gua yang dibombardir. Yusuf Rumaropen dan istrinya Matelda Maryen, pengelola situs gua Jepang selama 20 tahun terakhir, menerangkan, kini 850 hingga 1.000 jasad yang sudah dipulangkan ke Jepang.
"Setelah ditemukan, tulang-belulangnya diidentifikasi forensik, kemudian dikremasi dan abunya dibawa untuk dikembalikan kepada keluarga," ungkap Yusuf. Namun hingga sekarang, di dalam gua ini, masih banyak tulang belum tergali. Benda-benda peninggalan perang lain yang ditemukan, telah dikumpulkan serta diamankan di museum dalam kompeks situs.
(Gloria Samantha)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar