Sabtu, 20 Desember 2014

Linge Negeri Asal Orang Gayo

1374282056790105159
Nisan Reja Linge (Lingga) dan Istrinya di kampung Linge, Kec. Linge, Aceh Tengah. (Foto: Alfazri)

Lenge, begitu asal kata Linge. Dalam bahasa Gayo, Linge berarti “suaranya”. Jauh sebelum kerajaan Aceh Darussalam berdiri, Linge adalah sebuah kerajaan yang terpisah dan berdiri sendiri.
Kerajaan Aceh Darussalam dengan sultan pertamanya Mérah Johan adalah anak dari keturunan raja Linge yang pertama, Adi Genali. Setelah Aceh dapat ditaklukkan oleh Belanda secara dejure, Linge merupakan salah satu Kejurun di Wilayah Gayo. Kejurun adalah sebuah kerajaan yang mendapat legalitas dari kesultanan Aceh pada masa itu.
Dimata masyarakat Gayo khusunya, Linge merupakan negeri Asal orang Gayo dan negeri para raja. dalam pepatah Gayo, Keasalan Linge terungkap dalam pepatah Gayo yang tak asing lagi di telinga rakyat Gayo “Asal Linge Awal Serule.”
Linge secara wilayah dikenal dengan sebutan Gayo Deret . Setelah masa kemerdekaan, Linge adalah nama sebuah kampung dan juga salah satu nama kecamatan di kabupaten Aceh Tengah, dengan ibukota Isaq.
Kampung Linge memiliki tiga dusun, Kawe Tepat, Pengkudu dan Buntul dengan penduduk sekitar 100 KK (Kepala Keluarga). Mata Pencarian utama masyarakat Linge adalah bertani. Salah satu tanaman khas disana adalah kemili (dalam bahasa Indonesia disebut kemiri) sebagai sumber mata pencarian selain bersawah.
Selain pertanian, masyarakat Linge juga dikenal sebagai peternak hewan, khususnya kerbau. Menurut beberapa sumber yang sempat ditemui, mengaku, bahwa sebagian ternak itu ada juga milik orang-orang kaya di Takengon dengan sistem bagi hasil.
Bahasa Gayo masyarakat Linge dikenal dengan dialek Gayo Deret/Linge, perbedaan dialek ini tidak menyebabkan masyarakat Gayo yang berdialek Lut (wilayah Kabupaten Bener Meriah dan sebagian Aceh Tengah), Belang/Lues (Wilayah Kabupaten Gayo Lues) serta Lukup/Lokop Aceh Timur dan Kalul Aceh Tamiang sulit dalam melakukan komunikasi, karena perbedaan bahasa dari lima wilayah Gayo ini Kurang lebih hanya lima persen saja. Keadaan ini, tanpa disadari telah menambah kasanah dan kekayaan kata dalam bahasa Gayo itu sendiri.
Memiliki topografi berbukit (Delapan puluh persen wilayahnya ditumbuhi Pinus Merkusi), Linge menjadi wilayah yang special dan unik. Karena, walau daerah berbukit, namun kondisi di Linge tidaklah sedingin daerah Gayo (Takengon dan Bener Meriah). Keunikan lainnya, banyak tanaman yang tidak dapat hidup di dataran Gayo, justru disini banyak ditemui tanaman-tanaman yang umumnya hidup di daerah pesisir. Salah satunya adalah pohon kelapa. Di Linge, jenis tanaman ini dapat tumbuh dengan baik dan berbuah.
Menariknya, walau zaman sudah mengalami perubahan, daerah yang memiliki luas 2000 Km2 (kurang lebih setengah dari luas kabupaten Aceh Tengah) ini, sebagian penduduknya masih percaya pada hal-hal mistis didalam kehidupan. Sehingga tidaklah mengherankan apabila banyak kita temui praktek-praktek “perdukunan” disana.
Hal ini dibenarkan oleh sebagian masyarakat yang sempat penulis temui dalam beberapa kali kungjungan ke kampung Linge dan sekitarnya antara tahun 2010-2013. Bukan hanya dalam hal-hal kehidupan yang umumnya sering kita lihat dilayar kaca, dunia mistis juga kerap dilakukan dalam memenuhi kebutuhan hidup, seperti saat hendak turun ke sawah (Musim tanam dan musim panen).
Kondisi ini memang tidak dapat disalahkan. Karena, dari 8000 jiwa penduduk Linge (Data 2010), tingkat pendidikan masyarakat disana masih sangat rendah. Bukan hanya itu, kondisi alam yang tidak terlalu subur. Sehingga membuat sebagian besar masyarakat Linge masih berada dalam garis kemiskinan.
Hal ini semakin diperparah dengan berbagai masalah umum lainnya, seperti minimnya sarana dan prasarana yang harusnya diperoleh oleh masyarakat disana. Semuanya berbanding lurus dengan kondisi jalan yang belum beraspal, akses daerah yang sulit ditempuh, jarak yang jauh dari ibukota Takengon, termasuk kurangnya perhatian Pemerintah Aceh Tengah, membuat semuanya menjadi “babak belur”. Kehidupan di Linge adalah kehidupan kaum marjinal yang seharusnya tidak perlu terjadi, andai kata pemerintah lebih peduli.
Meski orang Gayo pada umumnya percaya Linge sebagai negeri asal orang Gayo berdasarkan Kekeberen (Tradisi lisan), namun Negeri Linge masih menyimpan segudang misteri dan pertanyaan. Mengapa daerah Linge begitu terbelakang dalam segala bidang. Jika memang benar Linge sebuah sejarah panjang Gayo, mengapa saat ini mereka seperti “kelompok” marjinal yang tak layak diperhatikan.

Alfa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar