Jumat, 19 Desember 2014

Jusuf Kunto, Penculik Bung Karno

137424664762228154

Saya sungguh tertarik dengan peristiwa 16 Agustus 1945. Saat itu dua tokoh senior Indonesia, Bung Karno dan Bung Hatta, diculik sekawanan pemuda ke Rengasdengklok, 20 kilometer arah utara Karawang, Jawa Barat. Di antara mereka, ada Jusuf Kunto, Sukarni, dan anggota Peta (Pembela Tanah Air, pasukan tempur bentukan Jepang di Indonesia) lainnya.
Peran Jusuf Kunto dalam peristiwa bersejarah tersebut menyejajarkan dirinya dengan tokoh pemuda dan Peta lainnya. Padahal, sebelumnya ia adalah orang Indonesia yang menjadi anggota bala tentara Jepang dalam Perang Dunia II di Pasifik.
Salah satu literatur yang memberikan laporan ini adalah Kompas edisi 15 Agustus 1996. Disebutkan bahwa ia dilahirkan di Salatiga, 8 Agustus 1921, dengan nama yang sebenarnya adalah Kunto. Ia kemudian mengikuti ayahnya sebagai mantri kesehatan di Tambang Timah, Bangka, Pangkalpinang, Sumatera Selatan.
Lantaran kesulitan sekolah, Kunto kecil akhirnya belajar di Hollandsch Chinesche School, sekolah khusus anak-anak Tionghoa. Namun, perkenalannya dengan kaum pergerakan sehingga ikut menentukan jalan hidupnya di kemudian hari dialami ketika melanjutkan pendidikan di Hoogere Burgerschool (HBS) Semarang pada 1933.
Suatu ketika ia nyaris menikam polisi Belanda dalam sebuah pertikaian. Ia pun kabur dan bersembunyi di rumah salah satu familinya. Lantas, ia mengubah namanya menjadi Jusuf Kunto. Nama Jusuf tersebut diambil dari nama depan keluarga kakak sepupunya, Mr Jusuf Suwondo.
Buronan Politieke Inlichting Dienst (PID/polisi dinas keamanan negara) itu lalu diselundupkan ke Jepang sampai akhirnya menyelesaikan pendidikan di politeknik pada Waseda University di Tokyo. Ketika itu hampir bersamaan dengan persiapan Jepang memasuki Perang Asia Timur Raya.
Jusuf Kunto termasuk rombongan terakhir pemuda-pemuda Jepang yang direkrut menjadi pilot tempur Jepang di California, Amerika Serikat. Dalam laporan Kompas tersebut disebutkan bahwa Jusuf Kunto sangat boleh termasuk salah seorang pilot tempur pertama orang Indonesia.
Ia sempat bergabung di salah satu skuadron Jepang dan menyerang Kepulauan Hawaii serta beberapa pulau di Pasifik. Ia juga melakukan pengintaian dan pengeboman di Port Moresbi (Papua Timur). Ketika terlibat dogfight (pertempuran udara) di Morotai dan Halmahera, pesawatnya tertembak jatuh. Kapten Penerbang Jusuf Kunto terluka parah dan dibawa ke Jakarta untuk dirawat di RS Dr Cipto Mangunkusumo sekarang.
Di sanalah dia membina hubungan baik dengan para pejuang. Terutama kalangan mahasiswa Ika Daigaku (Fakultas Kedokteran). Di antaranya, Prof Dr Murtiningrum (alm), yang kemudian disunting menjadi istrinya pada 1942. Jusuf kemudian desersi sebagai tentara Jepang dan melakukan kegiatan di bawah tanah dengan banyak pemuda.
Pada 1944, misalnya, ia melakukan tindakan berbahaya dengan memasok amunisi dan senjata untuk para pemuda di Bandung. Jusuf juga melatih mereka bertempur. Ia juga tak jarang memecahkan sandi-sandi serdadu Jepang berkat kemampuan dan pengalamannya selama bergabung sebagai pilot Negeri Sakura.
Setelah kemerdekaan RI, Jusuf Kunto bergabung ke Badan Keamanan Rakyat (BKR). Karir militernya melambung ketika ia menjabat Staf Oemoem I (SO-I) di Markas Besar Tentara (MBT) di Benteng Vredenburg, Jogjakarta. Saat Agresi Militer Belanda, ia memindahkan markasnya dari Jogja ke Pakem.
Kesehatannya makin menurun ketika terkena radang paru-paru tanpa adanya bantuan dokter dan obat. Mayor Jusuf Kunto akhirnya wafat pada 2 Januari 1949 dalam usia 28 tahun. Kompas menuliskan bahwa ”sang penculik” itu di pekuburan Badran, dekat kuburan Cina di sebelah barat Stasiun Tugu, Jogjakarta. 
Kota Delta, 19 Juli 2013
Kompas
Di Antara Saksi dan Peristiwa (Maret 2009)
Eko P

Tidak ada komentar:

Posting Komentar